"Rel!" seru Verlyn yang dari tadi mencari keberadaan Zarrel karena ia baru saja ingat dengan kejadian tadi malam. Langsung saja ia mengampiri Zarrel yang lagi tidur dengan gaya kepompong di atas sofa.
Zarrel yang masih bergulung dalam selimutnya itu tidak sedikitpun bergerak untuk menandakan kalau dia sudah bangun. Hanya saja gumamannya yang masih bisa kedengaran, "Kamu berangkat duluan aja, Ver. Aku masih ngantuk," ujarnya dengan suara serak-serak.
"Ish, aku nggak mau tahu pokoknya kamu bangun sekarang!" seru Verlyn seraya menarik selimut yang menutupi tubuh Zarrel. Sontak membuat ringisan tertahan dimulut Zarrel.
"Zarrel, muka kamu kenapa?" seru Verlyn yang langsung berubah khawatir ketika melihat bentukannya Zarrel yang sudah tidak nyaman dipandang lagi.
"Verlyn, gue mau pulang!" seru seseorang dibalik pintu bawah yang hanya menyembulkan kepalanya saja. Zarrel memicingkan mata demi mengenali wajah dari hanya kepala saja yang menyembul tersebut.
"Kita ke rumah sakit sekarang, ya!" Verlyn hanya menoleh sejenak lalu kembali mengkhawatirkannya.
"Aku nggak apa-apa. Aku sudah terlalu bosan dengan suasana rumah sakit. Kamu berangkat sekolah sana, gih. Sudah jam 6 lho ini," ucap Zarrel yang ikut mengacuhkan seseorang yang masih menatap bengong ke mereka berdua.
"Nggak, aku libur aja," Verlyn kembali menoleh ke Ranja yang mau menurunkan kepala karena merasa dianggap iklan doang, "Ran, titip surat izin ya. Buatin sama Zarrel, juga," seru Verlyn sebelum akhirnya kepala Ranja tenggelam namun masih sempat mengacungkan jempolnya.
"Ran? Siapa dia?" tanya Zarrel.
"Ceritanya panjang. Nanti aku ceritain. Sekarang kita obati luka kamu dulu. Sebelum aku yang cerita, kamu yang harus dulu ceritakan apa yang sudah terjadi sama kamu,"
Zarrel hanya mengangguk, kemudian dibantu oleh Verlyn berdiri dan menuruni tangga untuk turun menuju kamarnya. Saat melewati lantai tiga Ranty keluar dari mushola keluarga. Ia terkejut saat melihat wajah anaknya yang memiliki banyak luka gores yang sebagiannya seperti ditusuk benda tajam namun kecil.
"Zarrel, kamu kenapa, Nak?" serunya dengan mengampiri Zarrel kemudian mengecek-ngecek bagian tubuh Zarrel yang lain yang tentu saja membuat Zarrel harus meringis menahan sakit. Bagaimana tidak, walaupun Audrey memukulnya dari balik pakaian, tapi tetap saja membuat bekas berwarna ungu yang begitu jelas dibalik punggung Zarrel.
"Aku nggak apa-apa kok, Ma," sahutnya.
"Ck, kamu ini kalau ditanya kenapa pasti jawabnya nggak apa mulu,"
"Tante mending kita langsung obatin lukanya aja, Tan," Verlyn menengahi.
________
"Sekarang ceritain apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ranty yang memutuskan untuk pindah jam tugasnya ke sore. Verlyn yang berada di sampingnya juga menuntut hal yang sama melalui tatapan matanya. Mereka saat ini tengah berada di ruang keluarga.
Zarrel mengirup napas sebelum berbicara, "Audrey datang lagi, Ma," lirih Zarrel.
Ranty dan Verlyn yang tidak mengenal siapa orang dari nama itu sontak memberikan tatapan bingung secara bersamaan. Lagi-lagi Zarrel menarik napasnya. Sudah saatnya mereka tahu tentang dirinya, apalagi mamanya sendiri. Sudah terlalu lama ia menyimpan bebannya sendirian. Dan menyembunyikan rasa takut di balik topeng ketenangannya itu.
"Zarrel itu pembunuh, Ma. Dan Zarrel juga sudah bohong sama Mama," lirih Zarrel dengan menundukan kepalanya.
Verlyn melihat wajah Ranty lalu ke Zarrel seolah tidak percaya dengan pengakuannya. Ranty mengelus punggung tangan Zarrel.
"Apa maksud kamu, Nak? Mama tahu mama sudah pernah melakukan kesalahan dan perbuatan keji itu.Tapi sekarang mama sudah menyesal, Nak." kata Ranty sembari menekankan setiap katanya dengan menatap dalam pada muka Zarrel.
"Waktu kita di Manila saat mama nyuruh aku kembali ngelanjutin pendidikan walaupun hanya home schooling, salah satu guru yang ngajarin aku namanya Josap. Dia...," Zarrel berat melanjutkan kalimatnya.
"Katakan, Sayang! Ada apa dengan dia?" ucap Ranty lembut membelai pipi Zarrel yang masih menunduk. Verlyn pindah duduk ke samping Zarrel, ia lalu menggenggam jari tangan kanan Zarrel dan mengusap-usapnya pelan.
"Bilang semuanya. Kamu punya kita. Jangan dipendam lagi," pinta Verlyn berbisik lembut namun masih bisa terdengar jelas oleh Zarrel dan Ranty.
"Dia sudah mengambil ke perawanan aku, hiks...," akhirnya air mata yang dari tadi ditahan oleh Zarrel gugur juga.
"S-saat itu mama lagi kerja. Dan aku cuma ditinggal berdua sama guru itu, aku diancam buat nggak ceritain itu ke siapa-siapa karena nyawa mama yang jadi taruhannya. Sampai untuk ketiga kalinya ia minta hal itu lagi, aku memilih untuk lari ke dapur dan aku khilaf mengambil pisau daging. Dan, dan aku-- aku-- aku membunuhnya dengan memotong kepalanya begitu saja. Aku sangat takut saat itu, tapi aku nggak mau buat mama khawatir dengan ulahku. Aku merogoh kantong bajunya mencari ponselnya. Aku mencari kontak salah satu keluarganya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang jelas aku hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Sampai akhirnya aku terhubung dengan Audrey yang aku pikir adalah kekasihnya. Aku memintanya untuk datang karena aku nggak tahu harus mengapakan mayat tersebut. Audrey datang tidak sendiri melainkan bersama polisi. Aku yang belum siap di penjara kemudian meminta Audrey untuk membebaskanku dan tanpa sengaja pisau yang aku pegang melukai lehernya ---makanya suaranya sekarang serak. Singkat cerita aku ditahan dan aku mengandung anak Josap diusiaku yang baru 10 tahun. Mama tidak mencariku karena terus disibukan sama dinasnya yang ke mana-mana," Ranty memeluk Zarrel sambil menggumamkan kata maaf berkali-kali."Aku tahu yang mama pikirkan saat itu hanyalah, bagaimana caranya mama lebih kaya dari papa, kan. Sampai akhirnya usia kandunganku memasuki bulan terakhir pihak polisi membebaskan aku dan membawaku ke rumah sakit bersalin. Saat hari itu tiba anak yang aku lahirkan tidak selamat. Dan semua diurus oleh pihak polisi. Aku kembali melanjutkan masa tahananku. Sampai akhirnya aku mendapat berita kalau aku dibebaskan karena dianggap sudah membantu pihak polisi dari negara lain yang juga hendak mengeksekusi Josap karena ia adalah ketua dari perdangan pasar gelap yang menjual belikan organ tubuh manusia di Asia tenggara."
"Ketika aku bebas, Audrey tidak terima dengan kenyataan yang jelas ada di depan matanya. Dan tetap menganggapku sebagai pembunuh dari orang yang selama ini ia banggakan. Sampai beberapa tahun kemudian aku ikut mama pindah ke sini, itu bukan karena alasan aku merasa sepi di sana. Tapi, karena aku mulai jenuh dengan aksi teror yang dilakukan Audrey. Dan sekarang ia datang lagi. Kita satu sekolah dengannya."
Verlyn menatap intens ke wajah yang ada di sampingnya itu. Ia tak dapat membayangkan seorang Zarrel yang memiliki wajah tenang itu bisa memendam sakitnya hanya sendirian. Ia mengapus air mata Zarrel yang menetes dari tadi. Tidak terlalu banyak. Lagi-lagi Zarrel menahannya.
Hening. Tak ada suara apapun lagi. Tiga orang yang saling berpelukan itu hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Yang pasti mulai detik ini Verlyn akan lebih intensif menjaga Zarrel dari makhluk bernama Audrey. Audrey sudah masuk dalam kategori orang paling berbahaya sekarang. Dan Ranty berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih fokus menjaga anak semata wayangnya itu. Ia tak mungkin bisa mengusut soal itu lagi karena pelakunya sudah meninggal.
***
Sementara itu di sisi lain, seorang cewek bertemu dengan satu orang yang bisa di bilang tante-tante pada sebuah caffe. Ia memberikan seamplop uang kepada cewek yang lebih muda darinya itu.
"Awal yang bagus. Pokoknya lo harus bisa dekatin dia, hancurkan hubungan mereka. Buat Verlyn jatuh cinta sama lo. Dengan begitu kita bisa hancurkan Verlyn bersama-sama,"
"Dengan begitu gue juga bisa hancurin Zarrel," ucap salah satu cewek yang seumuran dengan cewek tadi yang baru saja datang dan langsung ikut nimbrung.
"Setelah hancur kita bisa menjual organ tubuhnya," ucap salah satu laki-laki dewasa kakak dari si cewek yang ikut nimbrung.
"Demi uang dan masa depan kita yang lebih baik lagi!" ucap si tante dan si laki-laki hampir berbarengan.
Begitulah percakapan unfaedah yang terlontar dari mereka berempat yang tak lain adalah....