webnovel

Pendekar Gunung Tengkorak

Seorang pemuda yang berusia sekitar 21 tahun tampak sedang memikul kayu bakar. Kedua bahunya yang kekar bermandikan peluh saat tumpukan kayu bakar dibawa olehnya. Jalan yang dilaluinya pun tampak menanjak. Kakinya yang kokoh menapak dengan langkah yang kian dipercepat.

Tidak hanya membawa kayu bakar di bahunya, pemuda itu pun membawa batangan besi yang diikat di kedua betisnya. Walau terlihat berat, tetapi pemuda yang terlihat gagah itu menganggapnya tak lebih seumpama lidi dari batang nyiur.

Sebuah gubuk berdinding bambu dan beratapkan pelepah daun nyiur menjadi tujuannya. Dia kemudian meletakkan tumpukan kayu bakar itu di atas sebuah perapian yang berada di belakang gubuk sederhana itu.

Belum sempat beristirahat, pemuda itu kemudian mengambil dua ember kayu dan berjalan ke arah yang dilaluinya tadi. Semua pekerjaan itu seakan-akan sudah menjadi hal yang biasa baginya. Padahal, jalan yang harus dia tempuh cukuplah jauh.

Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa air yang memenuhi kedua ember kayu itu.

Saat dirinya baru akan duduk sekadar untuk melepas lelah, tiba-tiba saja muncul seorang lelaki tua yang menyerangnya. Sontak, pemuda itu segera menghindar. Pertarungan antara keduanya pun tidak terelakkan.

Pemuda itu berusaha menghindar dari setiap serangan. Pukulan demi pukulan yang diarahkan kepadanya membuat pemuda itu harus mewaspadai diri agar tidak terluka.

Serangan dari lelaki tua itu rupanya tidak main-main. Dia melancarkan jurus-jurus yang mencoba untuk melumpuhkan lawannya. Bahkan, sebuah jurus andalannya dikerahkan tanpa ampun.

Kilatan cahaya berwarna biru melesat dari telapak tangannya. Sinar biru yang diarahkan ke pemuda yang kini berguling-guling di atas tanah untuk menghindar.

Tanah yang dipijak pemuda itu seketika retak saat kilatan cahaya biru mengenainya. Sesaat, dia menatap tanah itu dan bergidik ngeri. "Terlambat sedikit saja aku bisa mampus! Ah, Aki-Aki sialan! Apa dia benar-benar ingin membunuhku?" batin sang pemuda yang masih berusaha menghindar.

"Kenapa kamu terus menghindar dari seranganku? Ayo, serang aku!" Lelaki tua itu terus melancarkan serangan. Tak peduli dengan sang pemuda yang kini kewalahan.

"Jika terus menghindar, aku juga akan terus menyerangmu. Arya Satya, cepat serang aku!"

Lelaki tua itu terus mengoceh. Dia tidak terima jika lawannya hanya menghindar. Dia ingin pertarungan yang seimbang.

Pemuda yang bernama Arya Satya itu hanya mendengus kesal. Hatinya ketar-ketir saat berhadapan dengan lelaki tua itu. Bagaimana tidak, ilmu kanuragan yang dimilikinya tidak sebanding dengan lelaki tua itu. Salah sedikit saja, dia bisa mati mengenaskan.

"Kenapa kamu terus menghindar dariku? Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan?"

Lelaki tua itu terus saja mengoceh. Wajahnya yang tirus dengan tulang pipi yang sudah terlihat dan mata yang menonjol tampak menatap tajam. Tubuhnya yang kurus kerontang nyatanya tidak sebanding dengan kekuatannya yang bisa menghancurkan satu desa.

Kesal karena Arya Satya terus menghindar dari serangannya, lelaki tua itu tidak menyerah. Tubuhnya yang kurus seketika melayang ke arah sebuah kurungan ayam yang berada di halaman. Dia berniat mengambil seekor ayam jago yang berada di dalam kurungan itu.

Melihat ayam jago miliknya akan diambil, Arya Satya melesat. Kurungan ayam seketika hancur saat dirinya berhasil mengambil ayam jago kesayangannya itu.

"Ternyata, kamu lebih menyayangi ayam itu daripada dirimu sendiri. Baiklah, aku ingin lihat apa kamu bisa melindunginya. Sebaiknya, persiapkan dirimu jika tidak ingin ayam jago kesayanganmu itu masuk ke dalam kuali!" celetuk lelaki tua itu sambil terus mengarahkan serangan.

Sambil memegang ayam jago miliknya, Arya Satya terus menghindar. Walau sesekali dia membalas dengan serangan yang tidak terlalu mematikan.

"Anak ini rupanya tidak ingin menyakitiku. Walau dia mempunyai kesempatan untuk membalas, tapi dia lebih memilih untuk menghindar," batin lelaki tua itu.

Sekeliling tempat itu tampak hancur berantakan. Akibat dari serangan lelaki tua itu, beberapa pohon yang berada di sekitar tempat itu tumbang dengan bau hangus terbakar. Tak hanya itu, tanah yang semula rata kini berlubang-lubang karena terkena serangan cahaya biru.

Arya Satya berdiri tegap sembari memegang ayam jago miliknya. Dia mengelus jambul ayam berwarna merah yang berpadu warna hitam itu dengan kasih sayang.

Lelaki tua itu menatapnya. Dia bisa melihat kasih sayang dari tatapan Arya Satya. Dia lantas mengembuskan napasnya dengan kasar.

"Percuma aku mengajarimu ilmu kanuragan jika hatimu selembut itu. Arya Satya, apa kamu akan terus seperti ini?"

Lelaki tua yang bernama Ki Anom atau lebih dikenal dengan gelar Pendekar Tengkorak itu berjalan ke arah pendopo yang berada di depan gubuk. Ruangan tak bersekat itu tidak terlalu besar. Cukup untuk empat orang duduk di sana.

Arya Satya lantas mengikutinya. Dia tahu kalau lelaki yang sudah menjaganya sejak dirinya masih kecil itu tampak kecewa.

"Aki, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melawan perintah Aki, tapi aku hanya ...."

Satu pukulan mendarat tepat di kepalanya. Arya Satya melenguh sembari menahan sakit.

"Kenapa Aki memukul kepalaku?" keluhnya sembari menggosok-gosok kepalanya yang berdenyut.

"Itu hukuman buatmu! Kenapa kamu selalu saja menghindar? Seandainya kamu diserang orang, apa kamu juga akan terus menghindar tanpa perlawanan?"

Mendengar celotehan Ki Anom, Arya Satya hanya tersenyum. Dia lantas bersandar di tiang pendopo sembari mengelus jambul ayam jago yang belum dia lepaskan.

"Kalau ayammu masuk ke kuali dan aku jadikan semur, apa kamu baru mau bertarung denganku?"

Seketika Arya Satya berdiri. Dia memegang ayam jagonya itu sembari menyembunyikan di belakang tubuhnya.

Ki Anom lantas berdiri. Dia berjalan perlahan ke arah Arya Satya. Menyadari ayam jago kesayangannya dalam masalah, dia pun lari meninggalkan Ki Anom yang menahan tawa.

Ki Anom kembali duduk. Dia masih tersenyum di antara raut wajah yang terlihat menyeramkan. Lelaki tua itu bukanlah orang sembarangan. Dia sudah banyak mengalami halang rintang di dalam kehidupannya.

Ki Anom yang telah berumur hampir 100 tahun itu terlihat ringkih. Walau tubuhnya tampak kurus dengan tulang yang sudah terlihat, tetapi kemampuannya dalam bertarung tidak bisa dianggap remeh.

Di masa mudanya, Ki Anom dikenal sebagai penjahat yang tidak kenal ampun. Dia memiliki kesaktian yang tidak mampu dikalahkan oleh siapa pun. Dengan kesaktian yang dimilikinya, dia mulai merampok dan membunuh. Kesaktian yang dimilikinya tidak dia gunakan untuk kebaikan, tetapi dia gunakan untuk kejahatan hingga suatu hari dia mendapat peringatan melalui mimpinya.

Ki Anom terbangun dengan peluh yang membasahi sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal dengan dada yang bergemuruh hebat. Dia terbangun setelah bermimpi yang membuatnya ketakutan hingga sepanjang hidupnya.

Ki Anom merenung mencoba mengingat akan mimpinya itu. Di dalam mimpinya, dia melihat dirinya disiksa tanpa ampun. Wajah orang-orang yang pernah menjadi korbannya berteriak di depannya sembari mencakar dan mengeroyoknya. Darah bercucuran dari wajah dan sekujur tubuhnya. Rasa sakit akibat cakaran demi cakaran membuatnya berteriak.

Sekuat apa pun dirinya ingin melepaskan diri tidak membuatnya terlepas begitu saja. Kekuatan dan kesaktian yang dimilikinya tidak mampu untuk menghindar dari orang-orang yang mengeroyoknya. Kulit tubuhnya kini terkelupas, hingga terlihat tulang-tulang yang penuh dengan darah.

"Lepaskan aku!" teriaknya. Namun, semua percuma. Tubuhnya semakin melemah, hingga dia terbujur dengan darah yang membasahi sekujur tubuhnya. Saat dirinya mulai lemah dan pasrah, orang-orang itu pun menghilang. Di depannya kini berdiri seorang lelaki tua dengan mengenakan jubah hitam.

"Itulah yang dirasakan oleh korban-korban dari kejahatanmu. Apa kamu merasakan sakit? Itu juga yang mereka rasakan. Apa kamu ingin melepaskan diri, tapi tidak sanggup? Itu juga yang mereka rasakan. Kamu akan aku hukum atas perbuatanmu selama ini. Kamu akan menanggung karma yang akan menyiksamu selama hidup dan juga matimu," ucap lelaki berjubah dengan jenggot putih yang menjuntai. Wajahnya tampak menyeramkan.

"Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan padaku?"

"Aku adalah Dewa Kematian. Aku diperintahkan untuk memberikanmu hukuman. Kamu akan hidup walau sebenarnya kamu telah mati. Aku akan memberikanmu kesempatan untuk menebus dosamu, tapi aku tidak yakin kamu akan sanggup melakukannya."

"Katakan padaku! Apa yang harus aku lakukan? Aku mohon, aku tidak tahan dengan rasa sakit ini!" pintanya seraya memohon.

"Tebus semua kejahatanmu dengan melakukan kebaikan. Setiap kamu melakukan kebaikan, maka rasa sakitmu perlahan akan menghilang. Namun, bukan hanya itu. Kamu harus melakukan satu tugas dan itu yang akan menebus semua kesalahanmu."

"Tugas apa itu?"

"Kamu harus mencari tahu sendiri karena tugas itu akan datang padamu dengan sendirinya."

Lelaki yang mengaku sebagai Dewa Kematian seketika lenyap. Ki Anom terkejut dan terbangun dari mimpi buruknya. Dia lantas memeriksa sekujur tubuhnya. Rasa ngilu akibat luka yang dialami dalam mimpi menyisakan rasa sakit yang dia rasakan di sekujur tubuhnya. Sejak memimpikan hal itu, selama beberapa hari dia mengalami sakit yang membuatnya tidak mampu untuk bergerak.

Karena sakit misterius itu, tubuh Ki Anom mulai kurus kerontang. Hari demi hari bobot tubuhnya kian menurun. Dulu, tubuhnya gagah dan berisi. Namun kini, kegagahannya sudah tidak tampak. Tubuhnya kurus dan hanya dibalut kulit keriput yang menutupi tulang. Wajahnya tampak terlihat seperti tengkorak.

Dalam penyiksaan itu, Ki Anom kembali teringat dengan mimpinya. Dia harus melakukan kebaikan agar sakit yang dia rasakan bisa berkurang. Walau ragu, Ki Anom terpaksa melakukan seperti yang diperintahkan oleh Dewa Kematian.

Saat sakit, Ki Anom tinggal sendirian di atas gunung yang jauh dari pemukiman. Dia sengaja hidup menyendiri karena menghindar dari tatapan orang-orang yang ketakutan saat melihat wajahnya. Wajah yang kini menyerupai tengkorak.

Suatu hari, Ki Anom memutuskan untuk turun gunung. Dia tampak memakai caping untuk menyembunyikan wajahnya. Dia sengaja menyembunyikan wajahnya itu saat melewati orang-orang yang berpapasan dengannya.

"Sepertinya Ki Anom sudah mati. Dia tidak pernah muncul lagi sejak beberapa purnama yang lalu. Ah, semoga saja itu benar-benar terjadi. Rasanya desa kita akan aman jika dia benar-benar telah mati," ucap seorang lelaki yang berada di sebuah kedai pada beberapa temannya.

Tanpa mereka sadari, Ki Anom duduk tidak jauh dari mereka. Dia hanya mendengar percakapan mereka. Mendengar keluhan mereka tentang dirinya di masa lalu, Ki Anom hanya diam.

Sudah lima purnama Ki Anom tidak menampakkan diri. Dan sejak saat itu, penjahat kelas teri mulai menunjukkan diri. Saat dirinya baru selesai menyelesaikan makan siang, beberapa orang lelaki datang ke kedai makan dengan lagak yang membuatnya mengepal.

"Cepat serahkan uang kalian! Kami adalah utusan dari Ki Anom. Dia meminta kami untuk memungut bayaran jika kalian ingin tetap hidup. Kalau melawan, jangan salahkan kami jika kalian akan kami bunuh!" ancam salah satu lelaki sambil menunjuk ke arah semua pengunjung di kedai itu.

Karena ketakutan, seluruh pengunjung di kedai itu mengeluarkan uang dan memberikannya pada lelaki itu. Dia tersenyum sinis saat melihat keping-keping uang di tangannya.

"Serahkan uangmu! Kenapa kamu hanya diam saja? Ayo, berikan uangmu padaku!" bentak lelaki itu saat dirinya berdiri di depan Ki Anom.

Ki Anom hanya diam seraya menunduk. Walau mencoba menahan amarah, Ki Anom  tetap bergeming.

Karena tidak digubris, lelaki itu lantas mengeluarkan golok yang disisipkan di sela bajunya. Dia lantas menyerang.

Ki Anom menghindar saat lelaki itu menyerangnya bertubi-tubi. Serangan golok dari lelaki itu berhasil ditangkis dengan tangan kosong. Bahkan, golok itu patah terbelah dua saat berhasil direbut oleh Ki Anom.

Melihat kehebatan lawannya, lelaki itu mengerahkan teman-temannya untuk membantunya. Mereka lantas menyerang Ki Anom secara bersamaan.

Walau mendapat serangan beruntun, Ki Anom mampu mengelak. Walau tubuhnya tidak seperti dulu, tetapi kekuatan dan ilmu yang dimilikinya masih tetap sama. Hanya saja, ilmu yang dimilikinya tidak bisa digunakan untuk berbuat kejahatan.

Ki Anom melesat saat sebuah golok melayang ke arahnya. Dia berusaha untuk tidak membunuh lagi. Namun, semua lawannya berusaha untuk menghabisinya.

Jiwa pembunuh yang semula ingin disingkirkan tiba-tiba muncul kembali. Ki Anom menatap mereka dengan tajam. Matanya liar dengan jiwa pembunuh yang mulai bergejolak. Selama lima purnama dia menahan diri untuk tidak melakukan pembunuhan. Namun, di depan matanya dia dihadapkan pada situasi yang memaksanya untuk membunuh. Terlebih saat dia melihat seorang anak yang kini menjadi tameng dari lelaki yang tersenyum sinis ke arahnya.

"Menyerahlah! Jika tidak, bocah ini akan mati di depanmu. Kamu akan melihat lehernya terlepas dari raganya!" ancam lelaki itu seraya mengarahkan golok tepat di leher bocah itu.

Seorang wanita yang merupakan ibu dari bocah itu tampak menangis. Dia mengiba dan memohon agar anaknya dilepaskan. Namun, mereka tidak memedulikannya.

"Tunjukkan wajahmu! Aku ingin lihat rupa dari orang yang berani menentang perintah Ki Anom. Apa kamu tidak takut padanya?"

Ki Anom mendengus kesal. Dia sudah terlalu bersabar karena mereka menjadikan namanya sebagai ancaman untuk menakut-nakuti warga.

"Apa kalian pikir aku takut dengan ancaman kalian? Apa Ki Anom yang kalian maksud adalah aku?"

Ki Anom lalu membuka caping yang menutupi kepalanya. Wajahnya terlihat begitu mengenaskan. Tulang pipi terlihat timbul. Begitu pun dengan tulang hidungnya. Kedua matanya menatap tajam dengan seuntai senyuman sinis yang terlihat menakutkan.

Melihat wajahnya, seketika orang-orang berseru ketakutan. Bocah yang berada di tangan lelaki itu seketika menjerit. Dia pun akhirnya terlepas ketika lelaki yang memegangnya terkejut saat melihat wajah dari musuhnya.

Saat bocah itu terlepas, saat itu juga Ki Anom melesatkan sebuah pisau kecil ke arah lelaki itu. Pisau beracun itu tepat mengenai dadanya. Lelaki itu terkejut sambil memegang dadanya yang mengeluarkan darah. Tak hanya itu, dia kemudian memuntahkan darah hitam seiring tubuhnya yang kini tumbang.

Teman-temannya terkejut saat melihat kematiannya yang mengenaskan. Lelaki itu seketika mati dengan sekujur tubuh yang membiru.

Ki Anom menatap mereka yang kini ketakutan. Melihat teman mereka mati mengenaskan, mereka berniat melarikan diri. Akan tetapi, Ki Anom tidak membiarkan hal itu terjadi.

Ki Anom melesatkan batu kerikil ke arah mereka. Satu per satu seketika tumbang saat batu yang sudah dilumuri racun itu menghantam bagian tubuh mereka.

Sebelum menemui ajal, tubuh mereka bergeliat hebat. Darah hitam mengucur dari mulut mereka dan akhirnya mati dengan sekujur tubuh yang membiru.

Melihat kematian mereka yang tragis, warga yang ada di tempat itu tampak ketakutan. Mereka menatap Ki Anom dengan tatapan penuh ketakutan.

Ki Anom memakai capingnya kembali. Dia lalu meletakkan beberapa keping uang di atas meja dan pergi meninggalkan tempat itu.

Mereka menatap kepergiannya dengan rasa penasaran. Lelaki yang berwajah layaknya tengkorak hidup, kini menjadi buah bibir. Namun, akibat dari perbuatannya itu, Ki Anom harus merasakan penderitaan.

Di dalam gubuknya, Ki Anom menjerit kesakitan. Tubuhnya yang kering kerontang seakan ditindih oleh batu yang sangat besar. Tubuhnya tidak bisa bergerak dan hanya bisa menahan rasa sakit yang membuatnya memilih untuk mati.

"Ini adalah hukumanmu. Setiap kamu membunuh, kamu akan merasakan sakit seperti yang mereka rasakan. Tak peduli dengan alasan apa pun. Selama kamu masih membunuh, maka selama itu pula kamu akan tersiksa!"