webnovel

Bab 8 Bad Mood

Dengan perasaan dongkol Arka meninggalkan rumahnya. Dan hal yang paling ia tidak suka adalah kebiasaan mamanya yang selalu menyiapkan bekal makan siang. "Lo aja yang bawa. Gue bisa beli makan diluar," kata Arka saat melihat Maira membawa tas bekal ke dalam mobilnya.

"Nanti nyonya marah kalau Aden nggak bawa bekal," jawab Maira yang sudah sangat hapal dengan Witari. Sifat keibuannya akan lenyap seketika jika tahu bekal buatannya tidak di bawa.

Arka berdecak kesal. "Ya jangan sampai mama tahulah. Mikir dong cari ide," kesalnya karena Maira sangat polos atau terlalu bodoh.

"Jangan cari masalah, Den. Saya takut sama nyonya," rengek Maira yang membuat Arka menghela napas. Siapapun pasti tahu bagaimana sikap ibunya untuk yang satu ini. "Bawa ya Den nanti sampai kantor terserah mau dikasih ke siapa," usulnya yang tidak ingin membuat keadaan menjadi kacau.

"Nggak guna banget sih, lo. Ya udah sini," ketus Arka sembari mengambil tas bekalnya dengan kasar. Ia kesal karena di rumah ini hanya tutur ibunya yang menjadi panutan penghuninya.

"Makasih, Den," kata Maira kemudian meninggalkan Arka yang sudah bersiap masuk ke dalam mobil. Ia tersenyum puas saat bisa memaksa Arka membawa bekal buatannya yang disiapkan Nyonya besar. Ya, bekal itu ia yang membuat atas suruhan Witari. Ia bahkan tidak bisa menolak permintaan wanita paruh baya itu.

Sepeninggal Maira, Arka menghela napas sekali lagi. Ia mulai berpikir akan memberikannya pada satpam kantor nanti, tapi kalau tas dan kotak makan tidak kembali? Ia mulai memukul setir dengan keras. Hidupnya tidak akan tenteram jika masih tinggal bersama kedua orangtuanya. Jika tinggal sendiri ia pun tidak akan tenang karena sang ibu pasti memaksanya untuk segera menikah dengan alasan ada yang mengurus kebutuhan sehari-harinya. Repot sekali. Ia mendesah lelah karena sudah banyak cara yang ia gunakan agar bisa hidup mandiri selalu gagal. Menuruti menikah? Arka belum seminat itu memiliki pendamping hidup yang hanya akan membuatnya memiliki beban tambahan, menurutnya.

Sepanjang perjalanan ke kantor Arka masih saja terus memikirkan cara agar ia bisa tinggal di apartemen dan jauh dari kerusuhan yang dibuat ibu juga adiknya. Mereka adalah dua wanita yang sama sekali tidak akan bisa ia tolak. Sekalipun dengan kesal, Arka akan tetap memenuhi permintaan keduanya. Ia juga masih ingat bagaimana ibunya itu memaksanya untuk menikahi Maira hanya karena keisengan sahabatnya. Ia tidak masalah jika harus di jodohkan asal tidak segera menikah. Tapi, kenapa harus Maira? Sepupu jauh dari IRT di rumahnya. Apakah tidak ada wanita lain yang lebih sesuai dengan seleranya? Maira bahkan baru beberapa bulan ini datang ke kota. Perangainya yang terbawa dari kampung juga logat medoknya membuat Arka bergidik ngeri. Memang wajahnya cantik tanpa polesan make up, tapi ia belum bisa menerima alasan harus menikahinya. Apalagi di jaman mereka hidup sekarang ini, ciuman dengan lawan jenis bukan lagi hal yang tabu. Bagi pergaulan dan lingkungan yang ia tempatu seperti sekarang. Bahkan saat pacaran pun banyak yang melakukan hal itu. Hanya sebatas ciuman walaupun dilarang tapi masih banyak juga yang melanggarnya.

Sampai di kantor Arka segera di hadapkan dengan meeting penting yang kembali menyita pikirannya. Hari ini ia memang berangkat lebih pagi karena ada klien penting yang bagaimanapun caranya harus bisa ia tarik agar mau bekerja sama. Begitu pesan sang ayah padanya beberapa minggu lalu saat mendengar kabar jika klien ini akan bertandang ke perusahaan mereka. Ia bukan tidak mampu, hanya saja jika harus mendapatkan satu orang dengan mengorbankan beberapa orang yang lainnya itu sangat tidak masuk akal. Pasalnya, ia harus memebatalkan beberapa pertemuan dengan klien yang sudah lebih dulu membuat appoinment dengan sekretarisnya.

"Apa tamu sudah datang?" sapa Arka pada Sinta yang sudah sibuk dengan dokumen dan laptop.

"Belum, Pak. Anda juga masih memiliki waktu 30 menit untuk membaca ulang setiap poin kerjasama yang sudah saya letakkan di meja Anda," kata Sinta yang langsung berdiri begitu mendengar suara atasannya itu.

"Terimakasih, Sin," kata Arka kemudian melangkah menuju ruangannya. Perasaannya pagi ini sangat luar biasa. Belum lagi melihat tas bekal yang dengan setia berada di genggaman tangannya. Arka memang sudah biasa membawa bekal yang disiapkan sang mama jadi tidak akan ada karyawan yang bergosip tentang hal ini. Ia menghela napas begitu melihat sekretarisnya itu berlalu. Ia pun mengenang pertama kali bertemu dengan Sinta. Gadis itu lumayan mencuri perhatian selain karena cantik juga piawai dalam bekerja.

Dan tibalah waktunya Arka meeting dengan klien. Disana ia tidak benar-benar bisa fokus karena memang sejak pagi sudah bad-mood. Rencananya siang ini ia akan makan diluar dan meminta salah satu sahabatnya untuk menemani dan semoga saja tidak ada yang memberi alasan untuk tidak hadir. Beberapa kali ia meminta Sinta untuk mencatat apa saja yang sudah dibahas dengan klien karena saking tidak bisa fokus. Dan selesailah meeting yang berlangsung kurang lebih 2 jam itu. Arka bisa bernapas lega dan segera kembali ke ruangan setelah berbasa-basi sebentar sembari mengantar klien sampai lobi. Ia memandang ponsel yang sejak tadi ia letakkan diatas meja.

~E-Ca~

Arka~

Yang nganggur cung....

Restu~

Meeting diluar

Arka~

Gue menyusul

Restu~

Jam makan siang. Gue banyak kerjaan

Arka~

Yang lain mana?

Adrian~

Gue otw, Ka

Arka~

Kemana?

Adrian~

Meet up katanya. Nggak jadi?

Arka~

Gue 10 menit lagi otw. Daren mana?

Adiran~

Kayaknya di luar kota

Arka~

Whattt? Kenapa gue nggak tahu?

Restu~

Makanya jangan Maira aja yang lo urusin

Arka~

Setan lo emang

Restu~

wkwkwkwkwkwk

Dan perbincangan di pesan itupun berakhir. Arka menghela napas sembari membuka tabnya saat menerima email dari Sinta yang berisi pembahasan meeting hari ini. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri yang kini mulai mudah terusik tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Maira. Biasanya dia abai saja, tapi entahlah. Lagipula sejak pagi tidak ada gadis itu membuat perkara dengannya. Hanya saja saat akan berangkat Maira justru memaksanya membawa bekal yang disiapkan sang mama. Arka tidak suka ada yang memaksanya.

Arka mengangkat kepala saat mendengar pintu ruangannya diketuk. Ia menatap Sinta yang hendak menyampaikan sesuatu. "Ada apa?" tanyanya lebih dulu. Ia tidak sabar jika harus menunggu gadis itu bersuara lebih dulu. Lama.

"Saya boleh ijin makan siang diluar dan kembali sedikit terlambat pak?" tanya Sinta dengan sedikit ragu. Kadang Arka akan marah jika ia ijin terlambat kembali ke kantor setelah makan siang.

"Kau ada acara?" tanya Arka sembari menatap intes pada gadis cantik berlesung pipi itu. "Penting sekali?" tanyanya lagi saat Sinta mengangguk cepat. "Baiklah. Jangan lebih dari jam 2," putusnya kemudian ikut beranjak saat sekretarisnya itu pamit undur diri. "Saya juga akan makan siang diluar dengan sahabat saya. Jadi aktifkan ponsel kamu selama berada diluar," pesannya sebelum berlalu lebih dulu. Ia sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan para sahabatnya itu. Sudah sedikit lama mereka tidak pernah pergi bersama. Bahkan saling bertukar pesan pun tidak. Entah mereka terlalu sibuk atau memang sedang tidak ingin diganggu. Arka sama sekali tidak peduli dengan hal itu selama tidak ada kejadian yang menghebohkan dari salah satu sahabatnya. Ia memang terbiasa hanya sebagai penikmat jika ketiga sahabatnya sibuk berdebat tidak penting di group pada salah satu aplikasi pesan. Namun hal itu sudah bisa membuatnya tersenyum sendiri atau bahkan kadang ikut mengumpat kasar.