webnovel

Bab 28 Rumit

Maira sedang duduk berdua dengan Dini di halaman belakang. Dini yang merasa tidak enak badan hari ini memilih tidak masuk sekolah dan meminta Guru untuk mengirim tugas melalui email atau pesan singkat. Ia dan Maira sedang membahas masa peralihan dari SMA ke kuliah yang sebentar lagi akan Dini kenyam. Gadis cantik itu masih merasa ragu jika orangtuanya akan mengijinkan Daren mengambil peran untuk menjaganya meskipun mereka sangat dekat, terutama Arka.

"Mikirin apalagi sih, Dik?" tanya Maira. Ia memang tidak tahu masalah ini sebelumnya.

"Mas Daren sempat menawarkan untuk Dini tinggal disana pas sudah kuliah nanti, Mba. Mas Arka kayaknya masih belum ngomong sama Papa," cerita Dini. Entah mengapa bersama Maira ia bisa menceritakan semuanya dengan begitu saja.

"Mungkin Mas Arka juga mempertimbangkan banyak hal. Meskipun, Mas Daren itu sahabatnya, tapi menitipkan adik kesayangannya juga bukan perkara gampang. Apalagi, kamu saudara satu-satunya dan perempuan." Maira mencoba memberi pengertian pada Dini yang tampak menentang dan merasa tak habis pikir dengan sikap kakaknya itu.

"Rumah Mas Daren masih bisa di jangkau masalahnya, Mba." Dini menerawang ke depan. Maira ternyata memiliki pemikiran yang sama dengan Arka.

Maira menghela napas pelan. "Mba tahu. Tapi, bukan itu masalahnya. Kamu perempuan dan Mas Daren itu lelaki dewasa dengan semua peringai normalnya. Tinggal serumah dengan yang bukan saudara kandung apalagi tanpa ikatan darah apapun, menurut kamu bagaimana?" ia pun mencoba menggali pemikiran Dini tentang hal ini.

"Mas Daren itu baik, dia pasti bisa jaga Dini seperti Mas Arka, Mba." Dini masih mempertahankan argumennya kali ini. Entah mengapa semua orang dewasa tampak terlalu rumit dalam menganalisa berbagai hal menurutnya. Maira nampaknya salah satu dari orang yang terlalu banyak berpikir.

"Mba juga yakin Mas Daren bisa. Tapi, apa akan sama saat kamu tinggal sama Mas Arka yang emang kakak kandung kamu? Mba nggak bilang Mas Daren nggak tulus, tapi Mas Daren juga punya kesibukan lain selain harus menanggung kamu," terang Maira dengan lembut kali ini. Ia ingin Dini paham dengan kondisi ini, Daren baik, tapi lelaki itu juga punya kesibukan dengan kehidupan pribadinya.

Dini beranjak. Wajahnya tampak tak biasa. "Mba Mai, Mas Arka sama saja, Nggak pernah ngerti maunya Dini. Kalian pikir Dini bakal nyusahin Mas Daren?" Ia pun berlari meninggalkan Maira yang masih terdiam di tempat mencerna apa yang sudah terjadi.

Maira menghela napas pelan dan masih bertahan di tempatnya. Ia ingin memberi ruang pada Dini untuk menimbang kembali apa yang di ucapkannya barusan. Mengejar Dini dan kembali memberinya pengertian bukanlah hal yang tepat untuk saat ini. Pandangan Maira menyapu sekitar hingga tak sengaja bertemu pandang dengan Arka yang ada di balkon kamarnya. Seketika ia menghela napas untuk kesekian kalinya. Mungkin ia salah menempatkan diri kali ini, seharusnya ia tidak mengatakan hal seperti tadi pada Dini agar tidak salah paham. Dirinya hanya seorang pembantu rumah tangga yang sama sekali tidak ada hak mengatakan hal seperti itu, apalagi sampai menyinggung perasaan Dini, anak majikannya.

Malam harinya, semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan dengan banyak hidangan. Masing-masing sudah menduduki posisinya tanpa terkecuali.

"Wah banyak makanan hari ini, Ma?" tanya Dini yang nampak heran pasalnya tidak ada perayaan apapun seingatnya.

"Iya. Mama sudah minta Maira untuk masak banyak karena sebentar lagi kamu mau Ujian Sekolah," sahut Witari sembari tersenyum hangat menatap putri bungsunya itu.

"Baru mau, Ma, bukan setelahnya. Dini bisa gemuk kalau begini sih," kata Dini sedikit merajuk. Body goals-nya bisa berantakan jika sang Mama terus melakukan hal ini. "Tapi kok sepi, Ma. Mba Mai sama Bi Ratih kemana?" tanya Dini yang merasa kurang di ruangan ini.

"Maira pergi ke toko buku, Bi Ratih makan di belakang," Witari menjelaskan sembari mengambil makanan untuk sang suami kemudian untuk Dini. Ia memandang Arka yang masih diam saja. "Mau Mama ambilin makannya, Mas?" tawarnya kemudian.

"Arka ambil sendiri aja, Ma." Ia pun mulai mengambil nasi dan lauk pauknya dalam diam. Pikirannya entah kemana saat ini. Banyak hal yang ingin ia selesaikan dan salah satunya tentang rencana kuliah Dini beserta tempat tinggalnya.

"Papa sudah dengar tawaran Daren dari Mama. Menurut kamu bagaimana, Ka?" tanya Dharma usai menerima piring berisi makanan dari Witari.

"Arka sih setuju sebenarnya, Pa. Arka sudah kenal Daren lama dan kita juga pernah titip Dini sama dia," timpal Arka mengutarakan pemikirannya. "Tapi Dini juga harus bisa ngerubah kebiasaan yang susah bangun, ngeyel dan makan sembarangan." Sambungnya sembari menatap sang adik. "Daren banyak kerjaan, jadi nggak mungkin bisa sedetail itu ngawasin Dini," pungkasnya membuat Witari maupun Dharma ikut mengangguk paham.

"Adik nggak seceroboh itu kali, Mas." Dini tidak terima saat Arka mengatakan hal demikian. Selama ini ia tidak pernah makan sembarangan apalagi sang Mama yang terus mengawasinya bahkan Arka.

"Semua juga udah hapal sama kelakuan kamu, Dik. Untuk persiapan kuliah mending tanya Maira, kalian sesama perempuan pasti lebih enak sambil ngobrol," kata Arka membuat Dini menghela napas. "Kenapa?" Arka menatap heran pada adiknya itu.

"Nggak apa. Nanti adik cari-cari di Internet," sahut Dini menguatkan dugaan Arka tentang kejadian yang dilihatnya kemarin.

"Terserah kamu aja, kalau ada yang kamu butuhin bilang sama, Mas." Arka menatap sekilas pada Dini. "Oh ya Ma, nanti tolong tanya Maira kapan pembayaran semester di mulai, Arka belum kasih dia uang," sambungnya yang mendapat anggukan sekali lagi dari Witari.

Suasana kembali hening saat terdengar suara pintu terbuka. Semua mata memandang kecuali Arka.

"Maaf Nyonya, Tuan kalau saya mengganggu pembicaraan," lirih Maira sembari memandang tidak enak keluarga majikannya yang hari ini lengkap tengah menyantap hidangan malam buatannya.

"Nggak apa, Mai. Ayo sekalian makan," sambut Witari yang melihat wajah tidak enak Maira.

"Arka selesai, pamit ke kemar dulu, Ma, Pa," kata Arka tanpa menoleh membuat Maira menghela napas sangat pelan.

"Maira makan di belakang sama Bi Ratih aja, Nya." Maira berlalu lebih dulu saat Arka baru berdiri dari duduknya. Ia menunduk sopan kemudian menghilang di balik pintu kamarnya yang sangat dekat dengan dapur.

"Kalian ada apa sama Maira?" Witari menatap putra-putrinya bergantian. Ia memandang Dini yang tampak menunduk saja sejak tadi. "Adik ada masalah sama Mba Mai?" tanyanya kemudian.

"Nggak ada, Ma," sahut Dini cepat membuat Witari menghela napas.

"Arka?" kali ini mengalihkan pandangan pada putra sulungnya.

"Nggak usah bawa-bawa Arka, Ma." Ia pun beranjak meninggalkan meja makan. Entah mengapa perasaannya belakangan ini sering tidak enak dan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Ia ingin bebas dan tidak beban, tapi masih mencoba mencari caranya.

"Pada kenapa sih?" Witari menatap Dharma dengan heran.

"Mungkin mereka masih ada masalah yang belum selesai. Sudah mama nggak usah ikutan," kata Dharma mencoba membiarkan anak-anaknya menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tidak ingin ada yang ikut campur, termasuk istrinya. Mereka sudah dewasa jadi sudah sewajarnya menyelesaikan masalah sendiri. Dan pula, ia juga tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi. Sejauh ini Arka juga tidak membahas apapun dengannya yang itu artinya ini masalah pribadi yang tidak ingin dibagi dengan siapapun.