webnovel

Bab 19 Jodoh Lo Jauh, Mas!

"Loh pagi-pagi udah rapi mau kemana?" tanya Dharma yang pagi ini melihat Arka dengan pakaian kasual, tapi tidak biasanya. Hari libur Arka hanya akan tidur sepanjang hari jika tidak ada kegiatan.

"Karena Papa udah balik jadi bisa dong Arka liburan 2 hari," kata Arka sembari menaikturunkan alisnya bersamaan.

"Liburan? Tumben, biasanya Mas tidur aja di rumah," sela Dini yang baru datang dari arah dapur.

"Kenapa deh? Syirik tanda tak mampu," kata Arka pada adiknya itu.

"Mana ada? Adik sih bisa pergi sendiri nggak perlu iri sama Mas," balas Dini tak terima.

"Awas aja lo nguntitin gue, ya." kata Arka lagi membuat Dini mencebik kesal.

"Gue doain jodoh lo jauh, Mas! Cowok kok judes," kesal Dini membuat Arka menyemburkan kopi yang baru masuk ke mulutnya.

"Dih mulutnya, Dik." Arka menatap kesal pada Dini yang tampak santai saja meski sudah mengatakan sesuatu yang bisa dikatakan pamali.

"Bukan urusan Adik. Mas Arka juga suka ngatain Adik bogel," jawab Dini membuat Dharma tersenyum.

"Diantara kita semua kan emang lo paling pendek," ejek Arka di sertai senyuman yang paling Dini benci.

"Terserah! Jodoh lo jauh, Mas, jauh banget sampe nggak ke kejar," balas Dini sembari berlari karena Arka siap menerkamnya. Ia tidak bisa melawan jika anggota tubuhnya sudah di pegang oleh Arka.

"Sembarangan banget tuh bocah kalau ngomong," kesal Arka yang kembali ke kursinya untuk menghabiskan sisa kopinya.

"Lagian kamu kalau ngomong juga seenaknya aja," bela Dharma. Ia tidak akan memarahi siapapun dalam hal ini karena mereka berdua memang sama. Sama-sama tidak mau mengalah dan saling melempar ejekan.

"Papa tegur kek Dini. Kan pamali ngomong gitu, Pa." Arka protes dengan sikap papanya yang tampak santai saja menanggapi perkataan adiknya itu.

"Terus kamu sendiri gimana yang ngatain adik kamu bogel?" Dharma menaikan sebelah alisnya demi melihat respon putra sulungnya. Ia yakin sekarang Arka juga tidak bisa menjawab pertanyaannya.

"Ya kan bercanda doang, Pa," kilah Arka. Ia tidak ingin di marahi papanya saat ini. Masih terlalu pagi jika harus mendengar ceramah apalagi kalau sang mama ada.

"Bercanda kayak gitu lucu? Kan itu pamali juga," sambung Dharma yang belum mau melepaskan Arka begitu saja.

Arka menghela napas. "Kenapa jadi Arka yang di omelin ya, Pa?" tanyanya dengan ekspresi yang dibuat memelas.

Dharma terkekeh pelan tanpa menjawab pertanyaan Arka. Ia sebenarnya tidak bermaksud begitu, hanya saja Arka-lah yang bertahan disana jadi sekalian saja ia mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini selalu ingin ia tanyakan ketika melihat dua anaknya itu bertengkarr.

***

Arka benar-benar menjalankan misinya untuk liburan. Tapi, liburan kali ini sangat berbeda dengan kisah sebelumnya. Jika sebelumnya ia mendatangi vila atau kota tertentu untuk menghabiskan waktu, sekarang ia justru harus pergi ke suatu tempat untuk menyelesaikan sesuatu. Sesuatu yang sudah mengganggunya beberapa hari belakangan ini.

Yaps! Arka mendatangi kampung halaman Maira berbekal alamat yang diberikan oleh Bi Ratih. Dalam hatinya sudah sangat ingin putar balik, tapi hal lain yang dipesankan sang Mama berhasil mengurungkan niatnya. Arka memang tipe anak yang takut Mama sejak duduk dibangku SMP. Bukan karena Witari galak, melainkan pelajaran Biologi yang membahas tentang reproduksi. Dulu, ia sangat penasaran hingga akhirnya mencari tahu lewat jejaring sosial lantaran rasa penasaran akan proses kehadirannya di dalam perut sang Mama. 9 bulan di dalam perut dan banyaknya hal yang harus Mamanya lewati selama itu membuatnya berpikir dua kali untuk melihat air mata sang Mama jika dirinya berulah.

"Kalau bukan Mama, yakin deh sekarang gue beneran liburan di Vila." Arka menghela napas pelan usai mengatakan hal itu. Dalam bayangannya, liburan kali ini akan sangat menyenangkan karena ketiga sahabatnya bahkan tidak mengetahuinya. Ia sengaja merahasiakan kepergian dari siapapun karena ingin menenangkan diri. Pekerjaan di kantor dan urusannya dengan Maira membuat dirinya yang awalnya tidak peduli menjadi melowati. "Kenapa harus gue juga sih jemput kesini? Dia kan balik karena kemauan sendiri bukan di usir," kesalnya lagi. Bukan tidak menyadari kesalahan, hanya saja jika Arka yang datang dan meminta Maira kembali seolah memang dia yang bersalah dan sudah mengusir Maira dari rumah, padahal bukan begitu ceritanya. "Cewek emang banyak banget dramanya," pungkasnya saat melihat gadis yang di carinya sedang bersenda gurau dengan seseorang di halaman depan rumahnya. "Itu ketawanya lebar banget kayak nggak ada beban hidup aja," cibirnya, masih bertahan di dalam mobil sembari mengamati. "Lagian siapa sih cowok itu? Kayaknya Maira deket banget sama dia," sambungnya. Dengan gerakan cepat ia pun mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi nomor Maira. Tersambung memang, tapi tak kunjung di jawab. "Sibuk banget," sinisnya. Ia pun memutuskan turun dari mobil dengan memasang wajah datar seperti saat pertama Maira masuk ke dalam rumahnya. Wajah yang selalu membuat Maira enggan untuk berdekatan dengan dia.

"Mas Arka!" pekik Maira saat melihat anak majikannya itu turun dari mobilnya. Bagaimana ia bisa tidak mengenali mobil itu? Maira merutuki dirinya sendiri yang terlalu asyik berbincang dengan teman lamanya itu. "Maaf ya, Agas. Ada anak majikan Mai." Ia pun beranjak menghampiri Arka yang menatapnya tanpa ekspresi membuatnya susah payah menelan saliva. Apalagi Arka yang tak bersuara mulai membuka mobil dan mengeluarkan tas ranselnya. "Mas, kok nggak ngabarin dulu mau kesini?" sapanya dengan sedikit canggung. Arka kembali ke mode awal.

"Sibuk banget, lo!" ketus Arka sembari beranjak memasuki pekarangan rumah minimalis yang terasa sangat nyaman itu.

"Nggak, Mas. Kebetulan ada teman lama yang main ke rumah," aku Maira. "Mas Arka sama siapa kesini?" sambungnya saat tak mendapat respon dari Arka.

"Lo nggak lihat gue sendirian?" suara Arka kembali ketus membuat Maira menghela napas.

Ia pun mengikuti Arka dan sesekali bersuara. Sampai di teras ia memperkenalkan Arka dengan teman lamanya dengan sedikit canggung, pasalnya Arka sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Ia pun merasa tidak enak hati saat Agas memilih pamit dibanding harus berbaur dengan lelaki sombong dari kota itu.

"Duduk dulu, Mas. Mai buatin minum," kata Maira mempersilakan tamunya itu untuk duduk di ruang tamu.

"Orangtua lo kemana?" tanya Arka saat melihat rumah begitu sepi.

"Ibu di belakang, kalau bapak masih di ladang," sahutnya sembari beranjak menuju dapur untuk memanggil sang ibu.

"Loh Den Arka kok cepet banget sampainya. Saya baru dikasih tahu Mbo Ratih tadi pagi," sapa Ibu Maira yang menyambangi ruang tamu rumahnya.

"Selamat pagi, Bu. Maaf Arka nggak ngabarin Ibu kalau mau kesini," kata Arka, sungkan.

"Nggak apa, Den. Maaf kalau rumahnya masih berantakan," kata Ibu Rianti dengan sungkan.

"Rumah ibu ini terbilang rapi dan nyaman padahal." Arka tersenyum kikuk. Ibu Maira ternyata sangat ramah dan sopan.

"Ini minum sama kue seadanya ya, Mas." Maira datang dari arah dapur dan mendapati pandangan tidak seperti biasanya dari ibunya. "Nyonya yang minta Mai panggil Mas Arka, Bu," jelasnya kemudian.

"I-ya, Bu. Mama saya yang minta." Arka ikut menjelaskan sembari memandang ragu pada Maira.

"Oh ya sudah. Ibu takut itu nggak sopan,Den." Tampak ibu Maira menghela napas lega.

"Panggil Arka aja, Bu." Arka sekali lagi menatap Maira meminta bantuan.

"Nggak apa-apa?" Ibu Rianti menatap Maira dengan perasaan tidak enak.

"Nggak apa, Bu. Kan Bi Ratih sebenarnya juga diminta gitu sama Mama, tapi nggak mau. Arka sih santai, Bu." Arka mengembangkan senyum usai mengatakan hal itu.