"Ayo cepat kerja lagi! Masih banyak wadah yang harus kau isi," kata Steven wajah tampan itu menyebalkan sekali.
Aku hanya diam meski wajahku menggerutu. Sungguh aku lelah sekali. Terpaksa aku harus menjalani pekerjaan ini. Ya, karena aku mempunyai mimpi. Mimpi sukses di desa ini dan nanti aku akan pergi ke kota untuk mengunjungi ayahku.
Setelah semuanya selesai. Kini para pekerja mengumpulkan susu itu di tempat William berada. Ya tempatnya tidak jauh dari kandang sapi ini. Kabar buruknya kita harus berjalan sambil membawa wadah yang berisi susu ini. Ya Tuhan, aku membawa dua wadah dan ini sangat sulit bagiku.
Aku berjalan di baris terakhir. Mungkin karena aku tidak biasa melakukan ini. Jadi kakiku sangat pegal sekali. Apalagi aku tidak biasa memakai rok panjang seperti ini. Aku lebih nyaman dengan memakai celana.
Steven berada di belakangku. Bahkan dia tidak membantuku. Dia berjalan dengan santai sambil memegang kayu seukuran lengan yang tipis. Dia memainkan angin. Aku menengok ke belakang dengan kesal.
"Hei? Bisakah kita istirahat dahulu?" seruku dengan keras kepada wanita yang ada di depanku. Wanita sekitar empat puluh tahun ini melihat aku dengan heran. Dia bahkan berhenti sama sepertiku.
Lalu wanita ini melihat ke arah belakangku. Steven seolah tidak perduli denganku. Dia tetap bermain kayu dan udaran.
"Steven, kau tidak kasihan dengan Jihan? Bantu dia kek," sindir wanita itu dengan wajah kesal melihat Steven.
"Iya, iya oke baiklah," ucap Steven lalu ikut membawakan wadah punyaku.
Akhirnya dia mau juga bantu aku. Aku kira dia tidak akan peduli denganku.
"Aku membantumu, karena aku hanya ingin mengormati ibu tadi," seru Steven dengan sombong.
Aku hanya bisa manyun mendengarkan dia. Dasar menyebalkan sekali. Untung saja wajahnya tampan. Coba saja kalau tidak. Hm, sudahlah jangan memikirkan wajah tampannya terus.
Kami semua berjalan menyusuri jalan tanah yang berbelok. Sekitar dua puluh orang pekerja berjalan dengan kuat. Menenteng wadah berisi susu. Baik laki laki dan perempuan sangat bersemangat sekali. Ya mungkin karena mereka memang butuh uang. Sama halnya sepertiku.
Kini setelah sepuluh menit berjalan. Akhirnya sampai pada sebuah tempat. Tempat yang cukup luas. Alas disini keramik. Aku tidak lagi mencium bau kotoran sapi. Kali ini baunya seperti bau tempat yang bersih.
Kini william pria gendut itu memeriksa setiap wadah dan di temani oleh pekerjanya yang berada di sampingnya. Ada dua orang. Mungkin itu adalah pembantu William.
Steleha itu kami mendapatkan upah yang cukup banyak dan kami semua juga di persilahkan makan di halaman belakang tempat ini. Ternyata William baik juga. Kami semua makam disini dengan lahap. Aku makan sendiri dan tidak bergabung dengan para wanita yang umurnya di atasku. Entah aku tidak sering melihat gadis yang seumuran denganku di desa ini. Mungkin aku belum menyusuri sudut sudut desa ini. Ya aku sibuk bekerja dan tidak sempat menanyakan hal itu.
Aku sengaja makan sendiri. Karena aku menghadap ke sebuah bukit hijau yang tinggi sekali. Indah sekali rasanya. Aku melihat dengan perasaan yang bahagia. Awan juga sangat bersahabat kali ini warnanya begitu sempurna.
Aku memakan roti ini dengan lahap. Teksturnya sangat kasar. Tapi terasa sangat enak sekali. Benar benar berbeda dari yang pernah aku makan didesa.
Tiba tiba saja Steven menghampiri aku. Dia langsung saja duduk di sampingku sambil meletakkan sebuah botol berisi susu segar.
"Ini untukmu. Kau lupa mengambil susu jatahmu ya," seru Steven tanpa melihatku.
"Oh, ya aku lupa mengambilnya. Terimakasih banyak steven," ucapku melihat wajahnya dari samping. Sungguh aku mengagumi dia sekali kali ini. Aku tidak bisa berbohong dengan perasaanku.
"Oh, ya bagaimana keadaan Stella? Apa dia baik baik saja?" tanya steven kali ini melihatku dengan wajah penasaran.
"Oh, Stella baik baik saja. Dani pun juga. Tapi pagi tadi aku mengantarnya ke rumah dan ada Robert. Dia memarahi aku. Aku bahkan di katain wanita murahan," jelasku dengan sangat mendkngkal di hati.
"Hahaha, dasar bodoh. Kasihan sekali kau ini. Harusnya kau tidak usah mengantar Stella ke rumahnya," kata Steven tanpa bersalah tertawa sebebas itu.
"Aku ini harus bertanggung jawab. Jadi aku antar saja Stella sampai ke rumah," ucapku dengan yakin.
"Ya kau cukup berani juga ternyata. Nyalimu cukup besar," puji Steven melihatku dengan tersenyum
Aku tahan senyumku. Karena aku hampir saja salah tingkah mendapat senyuman itu. Sungguh senyuman Steven itu sangat manis sekali ya Tuhan.
Setelah beberapa saat. Kami semua sudah selesai untuk bekerja dan aku pulang hari ini dengan cepat. Biasanya ada banyak.pekerjaan setiap harinya. Tapi kali ini hanya memerah susu saja.
Aku segera mandi dan setelahnya membuat brownies kukus. Bahannya tidak serumit yang ada di kota. Karena aku hanya memakai bahan seadanya saja. Bahkan aku juga meminta beberapa bahan kepada Stella. Untung saja saat itu tidak ada Robert di rumah.
Bronis pisang sederhana milikku sudah jadi. Aku padukan dengan segelas susu segar. Aku duduk di halaman belakang sambil memandang senja. Aku nikmati gigitan demi gigitan. Lembut sekali dan rasanya juga tidak terlalu manis. Perpaduan yang sangat pas untuk sore ini. Kutatap langit orange yang begitu indah. Tanpa sadar aku menangis. Merindukan ayahku. Apa dia baik baik saja di penjara? Apa dia membenciku? Atau dia merindukan aku? Entahlah aku tidak tahu itu.
Meskipun aku memilih jauh dari kota. Bukan berarti aku membenci ayahku. Aku mencintainya. Sangat menyayanginya. Tapi aku hanya ingin bebas di desa ini. Aku takut dan trauma dengan hiruk pikuk kota. Aku yang di paksa menjadi kupu kupu malam oleh orang tuaku sendiri. Itu sangat sulit dan kelam bagiku. Aku ingin menemui ayah. Tapi aku juga takut akan bertemu orang orang kota yang pastinya juga kenal dengan ayahku dan aku takut akan di jerumuskan kembali dalam lubang hitam tanpa cahaya itu. Apalagi utusan walikota juga banyak. Aku takut ada seseorang yang mengintai atau balas dendam karena aku telah membuat walikota di penjara. Aku takut dengan itu.
Kali ini aku juga sangat merindukan Aslan. Apa dia tidak ingat denganku..apa dia sengaja membuat untuk tidak lagi berhubungan denganku. Apa dia sengaja tidak mencoba untuk menelponku. Meski aku belum mempunyai ponsel. Tapi setidaknya dia menelpon ke telepon rumah Stella. Tapi kenapa tidak ada kabar dari Aslan sama sekali. Sebenarnya aku sangat kecewa sekali. Tapi aku sama sekali tidak berhak untuk marah dengan Aslan. Karena kebaikan Aslan lebih banyak sekali.