Kedua matanya menatap langsung mata bulat beriris hazel tersebut, Kaisar menatap gadis itu dengan tatapan tidak terduga. Seperti biasanya, ia akan bersikap sedikit sombong dan dingin pada semua gadis.
"Aku tahu kau pasti marah dengan kakakku, setidaknya kau tidak perlu memberikan hadiah kepadaku," kata Kaisar dengan wajah kurang bersahabat.
Leana mematung mendengar perkataan Kaisar, entah apa yang ia lakukan tangannya reflek menampar pria itu. Sejak ia kehilangan harapan pada ibunya, sejak saat itu juga ia memiliki sebuah kebencian pada wanita itu.
Gadis itu menatap nyalang pada pria yang mengaku sebagai adik dari ibunya, pria itu dengan tak sopan segera menerobos masuk ke dalam flat sederhana itu. Leana dengan cepat berusaha menahannya, tapi sayang sekali kekuatan seorang pria lebih besar darinya.
"Berhenti! Kau tidak bisa sembarangan masuk rumah orang!" Teriak Leana yang berhasil membuat pelayan Anne bergegas mengambil sapu.
Pelayan Anne mengayunkan gagang sapu tepat ketika Kaisar sudah berhasil menerobos pintu flat, pria itu hampir saja kembali menerima hadiahnya jika refleks tubuhnya tidak bagus.
Kaisar menahan gagang sapu tersebut, menariknya dengan paksa membuat pelayan Anne jatuh tersungkur. Kaisar membuat sembarang sapu tersebut.
"Leana, aku kemari karena ingin menjemputmu! Kau justru menganggapku seorang maling?"
"Kau memang seperti seorang maling! Aku tidak sudi pergi bersama dengan kalian, kau pikir setelah apa yang dilakukan mommy padaku, aku bisa diam saja begitu?"
Kaisar sepertinya mendapatkan kembali kejutan lainnya, gadis itu mengusirnya dari sana. Jeong-Won berusaha untuk menegur Leana, tapi Kaisar bergeleng kecil memilih meninggalkan gadis itu.
"Aku tidak akan datang lagi Leana, tapi kau yang akan mendatangiku untuk meminta bantuan. Dan saat hari itu terjadi, ikutlah bersamaku menemui seorang yang merindukanmu."
Kaisar pergi meninggalkan Leana dan pelayan Anne, Jeong-Won mengikutinya hendak protes tapi Kaisar tidak peduli. Pria itu memiliki cara lain untuk membuat Leana datang sendiri padanya besok entah hari apa.
"Kenapa Anda tidak segera membawa nona Leana? Bukankah Tuan memintaku untuk segera menemukannya?" tanya Jeong-Won yang masih bingung dengan keputusan Tuannya.
"Gadis itu akan datang sendiri kepadaku, suruh Jhon untuk membeli bangunan flat itu. Bagi yang tidak bisa membayarnya usir segera, termasuk flat milik pelayan itu."
Pria berwajah oriental tersebut mengangguk patuh, mereka sampai di Porsche putih yang masih terparkir rapi dipinggir jalan becek tersebut.
Jeong-Won mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, melewati jalanan yang sepi. Pohon-pohon dipinggir jalan terlihat berjalan karena efek gerak semu. Kaisar tidak terlalu memperhatikan jalanan, pria itu sibuk dengan tablet tipis berlogo apel yang tidak sempurna di bagian belakang tablet.
"Tuan, apakah kita langsung menuju Mansion?" tanya Jeong-Won yang dijawab dengan dehaman singkat oleh pria berwajah campuran Inggris dan Korea Selatan tersebut.
Porsche yang mereka tumpangi melewati The equestrian statue of Charles I di Charing cross. Sebuah patung perunggu yang dibuat oleh seorang seniman patung dari Perancis bernama Hubert Le Sueur, tempat yang dulu kerap Kaisar datangi untuk menunggu wanita dimasa lalunya. Kini, Kaisar tidak peduli. Pria itu terlalu lelah menjadi pria patah hati.
Setelah beberapa menit melewati jalanan yang ramai dengan hingar-bingar kota London, mobil memasuki kawasan permukiman elite Kengsinton tempat tinggal Kaisar sementara untuk menunggu gadis keras kepala itu datang. Selama menunggu ia juga tidak akan bersantai, atau justru berlibur panjang, pria bertubuh tinggi tersebut memiliki pekerjaan penting.
"Kita sampai Tuan," Jeong-Won mengatakannya setelah mematikan mesin mobil yang ia kendarai.
Sebuah rumah, bukan, lebih tepat dikatakan sebuah mansion dengan pelayan yang menyambut kedatangannya didepan pintu. Arsitektur bangunan tersebut sengaja dibuat dengan model kuno, warna putih dan abu-abu membuat bangunan tersebut terlihat elegan. Langkah kaki Kaisar menapaki lantai pualam yang mengkilap bersih.
Bunyi ketukan dilantai terdengar ketika Kaisar melangkah, sepatu pantofel ratusan dollarnya beradu dengan lantai.
"Selamat datang kembali tuan, kediaman Anda telah kami bersihkan. Semoga Anda merasa nyaman," Pria paruh baya yang membungkuk hormat didepannya adalah seorang buttler sejak ayahnya masih mudah.
Kaisar mengangguk singkat, "Tentu saja, Ed. Terimakasih kau selalu banyak membantu. Ayah pasti bangga memilikimu."
"Tuan selalu berlebihan."
Ed, pria itu memberikan kode untuk pelayan lainnya kembali bekerja setelah tuannya berjalan menaiki tangga. Rumah besar itu memiliki lima lantai, dengan puluhan kamar termasuk kamar para pelayan.
Dan, tidak akan menyangka jika dibelakang rumah itu masih terbentang luas lapangan golf. Tetapi, sayangnya rumah itu tidak lagi menjadi rumah utama untuk keluarga Williams. Setelah berpindah hampir tiga kali, selain Torbay, kini keluarganya tinggal di Incheon salah satu kota metropolitan di negara Korea Selatan.
Kaisar memejamkan kedua matanya, menghirup aroma ruangan pribadinya sejak ia masih muda. Dilihat dari sudut manapun tidak ada yang berubah, termasuk gorden polos berwarna hitam.
"Tak ada yang berubah disini, selain ayah." Gumamnya sembari menatap foto keluarga besarnya.
.
"Kau tidak apa Anne?"
Pelayan Anne bergeleng kecil, tidak ada luka yang membekas hanya rasa sakit karena lututnya terbentur lantai.
"Mereka siapa Nona?" tanya Anne.
"Adik Mommy, Uncle ku."
Leana terlihat enggan membicarakan pria itu, alasannya sederhana saja. Kedatangan Kaisar terlambat dan karena ia sedarah dengan ibunya, tidak ada yang salah jika suatu hari nanti keluarga mereka akan sama saja menelantarkannya begitu saja.
Leana menuntun pelayan Anne untuk duduk di kursi meja makan, sup sayur yang dibuat oleh Anne bahkan mulai dingin.
"Kenapa nona tidak ikut dengannya? Setidaknya kau masih memiliki keluarga nona."
Leana menatap pelayan Anne yang sudah lebih baik, gadis yang lebih dewasa darinya tersebut mengambil piring. "Apa kau keberatan jika aku masih ingin disini? Setidaknya sampai aku bisa bekerja sungguhan."
"Eh, bukan maksudku seperti itu nona. Aku hanya tidak tega melihatmu bekerja dijalanan," kata Anne yang mengatakan maksud sebenarnya.
Gadis bermata bulat itu juga tahu maksud dari pelayan Anne, meskipun tetap ada perasaan tak enak. Ia hanya menumpang tanpa uang sepeserpun, bahkan ia tidak bisa melakukan apapun dengan benar.
Keduanya mulai menikmati makan malam mereka, hanya sayur sup dan telur. Tak ada roti, atau sereal, buah, dan susu. Kini Leana telah mulai terbiasa dengan kehidupan sederhananya. Sejujurnya dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia juga ingin mengakhiri semuanya. Ia rindu dengan kemewahan yang selalu mengelilinginya, ada satu impian terbesarnya juga, melanjutkan pendidikannya.
"Biar aku saja yang mencuci piring, kau beristirahatlah."
"Tapi Nona-" Leana bergeleng kecil, mendorong Anne menjauh dari wastafel tank di dapur yang terhubung langsung dengan ruang utama.
Anne menyerah, ia menjauh dari Leana tetapi tetap berada di sana untuk memastikan jika Leana memang bisa melakukan pekerjaannya.
Flat milik Anne sejatinya hanya sebuah tempat dilantai dua bangunan tak layak huni, hanya ada tiga ruangan disana. Satu kamar tidur, kamar mandi kecil, dan ruang utama yang juga berfungsi sebagai dapur dan ruang makan. Selain itu, bagian terburuk yang Leana benci adalah banyak tikus yang berkeliaran disana mengingat dimana tempat bangunan itu.
Leana mulai menuangkan sabun diatas spons dalam jumlah yang banyak, Anne menatap nanar sabun cuci piringnya. Gadis itu kentara sekali tidak pernah mencuci piring, terlihat bagaimana tangannya begitu kaku. Sebuah piring tak sengaja terjatuh dari tangannya yang licin karena sabun, Leana memekik terkejut.
Prang!!
"Astaga, aduh bagaimana ini," gumam Leana yang melihat pecahan piring berserakan didepannya.
Anne masih diam, menatap nanar piring keramik yang jatuh dan berserakan. Gadis itu menghela nafas berat, ia seharusnya sudah menduganya sejak tadi.
Ia berjalan mendekati Leana yang sudah berjongkok untuk memunguti pecahan piring tersebut, ia tidak ingin mengambil risiko membuat putri majikannya–setidaknya sampai beberapa hari yang lalu sebelum tuannya meninggal dunia– terluka.
"Biarkan aku saja nona, ini berbahaya. Kau tidak bisa terluka."
Leana kembali berdiri diam, raut wajahnya benar terlihat bersedih. Sepertinya ia tetap tidak bisa melakukan apapun selain merepotkan orang lain, ia tahu Anne pasti marah dengannya, hanya karena dulu aku majikannya ia pasti berusaha menahan kesal.
"Em, Anne. Maafkan aku, aku–"
"Tidak apa nona, aku tahu kau masih belajar melakukannya."
Leana mendesah lelah, bajunya juga basah karena air cucian piring tadi. Ia memilih untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan Anne yang membersihkan kekacauan.