webnovel

Tongseng

"Baunya lezat sekali.."

Klontang!

Kania tersentak saat suara Devan masuk ke dalam indera pendengarannya. Devan bergegas menghampiri Kania saat melihat salah satu perabotan dapur dijatuhkan tanpa sengaja oleh Kania.

"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Devan sembari memandang tubuh Kania dari atas ke bawah setelah memutar tubuh Kania untuk menghadap ke arah Devan

Tubuh Kania membeku saat Devan menggenggam telapak tangannya saat ini. Menyadari tidak ada balasan dari Kania, Devan lalu menyentuh bahu Kania. Sinyal Kania terkesiap dengan apa yang dilakukan oleh Devan. Menyadari sikap Kania dengan apa yang dilakukan oleh Devan, lantas Devan melepaskan tangan yang kini berasa di bahu Kania.

"Maafkan saya.. Saya tidak ada maksud apa-apa sama kamu. Apa kamu baik-baik saja?" sambung Devan

"S-saya tidak apa-apa Pak. Saya baik-baik saja Pak," balas Kania setelah tersadar dari lamunanya

"Apa ada yang terluka?" tanya Devan memastikan keadaan Kania

"Tidak ada Pak. Maaf Pak saya menginjakan kaki di dapur Bapak. Saya merasa bosan di kamar. Saya juga haus Pak. Jadi saya menuju ke dapur untuk mengambil air. Tapi saya melihat ada daging beku. Jiwa memasak saya mengatakan untuk menholah daging itu menjadi makanan Pak. Saya minta maaf telah lancang masuk ke dapur tanpa izin dari Bapak," terang Kania tanpa ada yang ditutupi

Devan mengulas senyuman manis ke arah Kania yang tampak sedang ketakutan.

"Kenapa kamu ketakutan seperti itu?" tanya Kania

"S-saya takut kalau Bapak akan marah," jawab Kania

Devan mengangkat kedua sudut bibir melengkung membentuk bulan sabit ke arah Kania. Kania terkesima beberapa detik dengan senyuman Devan yang manis di wajah tampannya.

"Kamu jangan ketakutan seperti itu. Saya tidak marah kok

Kamu kan bebas melakukan apa saja disini sebagai bentuk dari rasa tanggung jawab saya yang telah menabrak kamu. Kondisi kamu kan belum pulih, lebih baik kamu istirahat saja. Makan malam bisa saya pesan nanti," balas Devan

Kania mengernyitkan dahi mendengar apa yang diucapkan oleh Devan, "P-pesan Pak? Lalu—" Kania tidak melanjutkan ucapannya karena dipotong oleh Devan

"Itu mama dan adik ipar yang mengisi lemari pendingin. Papa, mama, adik dan adik ipar saya akan datang kesini setiap satu minggu atau dua minggu sekali," terang Devan

"Nanti kalau keluarga Bapak datang terus saya ada disini bagaimana Bapak? Apa keluarga Bapak tidak akan curiga?" sambung Kania

"Saya bantu kamu menyiapkan masakan kamu di tempat dulu sebelum saya menjawab pertanyaan dari kamu." Devan mengambil alih penggorengan yang berada di depan Kania lalu menuangkan makan Kania ke dalam piring oval yang telah disiapkan oleh Kania di atas meja dapur sebelum memasak

Kania memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan oleh Devan dengan lekat tanpa berkedip sedikitpun.

Terampil..

Satu kata yang terlintas di benak Kania tentang Devan yang sedmag membawa hasil masakan Racejk ke meja makan. Devan dengan terampil menyajikan hasil makanan di meja makan lalu menyiapkan. Tongseng, tumis pokcoy, tahu dan tempe goreng sambal terasi telah siap disajikan oleh Faras di atas meja makan.

"Apa kamu masih tetap ingin disitu? Apa kamu tidak ingin istirahat atau membersihkan diri terlebih dahulu? Waktu makan malam masih cukup lama. Kamu bisa beristirahat terlebih dahulu. Adzan maghrib juga sebentar lagi berkumandang. Bagaimana kalau kita sholat maghrib berjama'ah?" ucap Devan

Kania terkesiap mendengar suara bariton Devan yang masuk ke indera pendengarannya, "I-iya pak," balas Kania mencoba melangkahkan kali namun berhenti di langkah kaki pertama saat merasakan sakit pada kaki yang terluka

Devan terkekeh melihat Kania yang sedang meringis kesakitan. Bukan Devan tidak simpati terhadap Kania, namun Devan merasa tingkah Kania menggemaskan bagi Devan. Kania mendengus kesal melihat Devan yang terkekeh melihat dirinya kesakitan.

'Bukannya nolongin malah meledek,' batin Kania

"Tidak usah bicara dalam hati. Saya bukan sedang menertawakan kamu. Saya merasa kamu itu lucu. Eh. Ajaib ding. Kamu bisa berjalan sendiri dari kamar menurunk anak tangga menuju ke dapur. Kenapa kamu sekarang kesakitan? Jangan bilang kamu sedang mencari perhatian ke saya iya," ucap Devan

Kania berdecak kesal dengan apa yang diucapkan oleh Devan. Kania menepis tangan Devan yang ingin membantu Kania berjalan. Devan menautkan kedua alis saat Kania menepis tangan Devan yang ingin membantu Kania. Kania mencoba berjalan sendiri sembari berpegangan dengan benda apa saja yang dapat digunakan Kania untuk berpegangan. Walaupun dengan langkah tertatih dan pelan, Kania tetap berusaha berjalan sendiri tanpa mengharapkan pertolongan dari Devan.

Devan memperhatikan Kania yang tengah berjalan tertatih. Perasaan bersalah mendera dalam diri Devan atas apa yang telah diucapkan oleh Devan kepada Kania. Tanpa basa basi Devan menggendong Kania ala bridal style. Kania terkesiap saat Devan menggendong dirinya.

"Pak Devan!" pekik Kania

Devan mengacuhkan pekikan Kania dan tetap melangkahkan kaki dengan menggendong Kania menaiki anak tangga.

"Kalau takut terjatuh bisa pegangan," ucap Devan sembari menatap sekilas kepada Kania

Deg..

Jantung Devan dan Kania berdetak dengan kencang kala atapan mata Devan dan Kania saling bersiborok beberapa detik sebelum Kania memutuskan pandangan dengan menatap ke arah lain. Devan tersenyum tipis dengan apa yang dilakukan oleh Kania yang tampak menggemaskan bagi Devan.

"Kamu lebih baik istirahat biar kaki kamu lekas pulih. Nanti akan saya bawakan makan malam kamu kesini. Kita sholat maghrib berjamaah disini saja tidak apa-apa. Saya ingin membersihkan dulu," ucap Devan setelah membaringkan Kania di atas tempat tidur.

Devan keluar dari kamar Kania menuju ke kamarnya. Tak lama kemudian Kania beranjak dari atas tempat tidur menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dengan langkah tertatih, Kania memaksakan diri berjalan menuju ke arah kamar mandi.

"Awww.." Kania merintih kesakitan saat kaki terasa nyeri

Devan yang sedang berjalan menuju ke kamar Kania mempercepat langkah kaki saat mendengar suara rintihan dari kamar Kania.

Ceklek..

Mata Devan melebar kalau mendapati Kania sedang duduk di lantai kamar.

"Kamu kenapa?" tanya Devan setelah mensejajarkan diri dengan Kania

Kania menutup mulut dan menundukan kepala tanpa membalas apa yang ditanyakan oleh Devan kepada Kania. Devan menghela nafas pelan melihat ekspresi Kania saat ini.

"Kamu mau ngapain sih? Saya kan sudah bilang kalau kamu istirahat saja dulu. Kalau ada yang diinginkan kamu panggil saya. Jangan seperti ini merasa masih bisa sendiri. Begitu saja susah sekali dibilangin. Kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana? Kalau luka kamu lama sembuhnya bagaimana?" ucap Devan kesal

Kania semakin menundukan kepala saat Devan berbicara dengan nada tinggi. Helaan nafas kasar terdengar dari bibir Devan sehingga rasa takut kepada Devan semakin bertambah dalam diri Kania.

"M-maaf.. Saya minta maaf jika merepotkan Bapak," balas Kania dengan menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk mata

Devan menggendong Kania ala bridal style menuju ke tempat tidur tanpa berbicara sepatah katapun. Kania yang masih diselimuti perasaan bersalah memilih menutup mulut tanpa berani menatap ke arah Devan yang tengah melangkahkan kaki ke arah tempat tidur. Devan membaringkan Kania di atas tempat tidur dengan pelan.

 

 

Next chapter