webnovel

I Have Kissophrenia

Kesal karena komik favoritnya yang terkenal tak kunjung mengunggah episode terbaru, Lily memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai asisten komikus komik tersebut meski sebelumnya tak ada lowongan dicari. Hal tersebut sedikit menguntungkan Lily. Tak hanya dapat membantu agar episode komik itu diunggah teratur, Lily juga bisa mendapatkan spoiler dari alur ceritanya. Tapi sepertinya ada yang salah dengan komikus itu. Lily mencoba mencari tahu dan akhirnya dia mendapati kebenaran. Kebenaran itu membuat Lily mencoba terikat dengan komikus itu agar bisa melepaskan belenggu siksa yang menjerat sang komikus. Jadi ... apa kebenarannya?

Puput_Kun · Urban
Not enough ratings
4 Chs

01. Sang Perancang Alur

Platform media sosial Twitta sedang dihebohkan dengan tagar populer teratasnya yaitu komik horor berjudul Haunted Store.

Kabar beredar, komik tersebut memiliki banyak pesan terselubung dan juga konspirasi-konspirasi mengerikan, namun sebagian berpendapat semua itu hanyalah gimik belaka. Namun terlepas dari itu semua, komik tersebut memang layak jadi yang terbaik tahun ini sebab diukur dari jumlah pembacanya di internet dan salinan yang diterbitkan sangat banyak dan membludak. Dengan kata lain, Haunted Store sangatlah laku keras.

Cerita bergambar itu mengisahkan tentang toko misterius yang banyak terdapat di berbagai tempat baik perkotaan bahkan di hutan sekalipun.

Narasi dan dialognya sangat natural dan kreatif. Gaya gambarnya juga khas dan indah. Benar-benar kriteria untuk sebuah komik kesukaan.

Apalagi setelah episode terbarunya dirilis baru-baru ini, yang menceritakan rahasia besar tentang karakter utamanya. Selama hampir seminggu komik itu terus jadi perbincangan hangat di sosial media.

Perilisannya dijadwalkan tiap hari minggu, itu berarti besok adalah jadwal update episode terbaru. Momen tersebut sangat ditunggu hingga kembali ramai di media sosial.

Namun ... ada yang lebih misterius dari komik itu.

Yakni komikusnya.

Publik bahkan tak dapat menerka apakah komikus Haunted Store adalah laki-laki atau perempuan karena nihilnya info. Namun sebagian besar pembaca yakin kalau dia adalah laki-laki, terlihat dari cara dia menyampaikan cerita pada komiknya itu.

Dan kalau benar dia adalah laki-laki, para pembaca Haunted Store yang mayoritas perempuan akan sangat heboh. Dijamin Haunted Store akan merampas kembali kedudukan pertama topik yang sedang tren.

"Yahhalo, guys! Apa kabar? Semoga baik-baik aja ya kayak berita yang ingin gue bahas di konten ini. Kalian tau 'kan sama Uebtoon Haunted Store? Nah, gue bakalan bahas itu!"

SiNN News Update

Kepopuleran komik digital 'Haunted Store' karya komikus jenius Indonesia semakin melambung setelah peluncuran episode ke 56-nya kemarin. Berkat itu, komikus komik tersebut menyetujui Haunted Store untuk diterjemahkan ke tiga bahasa lainnya, yaitu Inggris, Korea dan Spanyol.

"Lo udah baca episod terbarunya?"

"Iya. Gila, parah bener plot twistnya. Bengek banget gue ..."

"Iya loh, gak nyangka latar belakang Radit bener-bener nyeremin."

"Cerdas banget Authornya. Eh, emang bener dia itu cowok?"

"Rumornya sih gitu."

*

*

*

Dengan tergesa-gesa, pria itu memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam koper. Disusul barang-barang kebutuhan lainnya yang satu persatu ia masukkan.

Napasnya memburu seolah sedang benar-benar menahan kesal. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan seseorang memanggilnya.

"Rey, kamu gak apa-apa?" tanya seorang wanita dari balik pintu.

Pria bernama Rey itu berhenti mengemas barangnya. Dia terdiam menatap pintu. Menimbang cukup lama sebelum akhirnya menghampiri si pemanggil.

"Rey?" ucap wanita tersebut selepas pintu terkuak. Tangan gemetarnya langsung menangkup rahang Rey. "Ka-kamu ... pucat banget, Rey. Kamu gak apa-apa?"

Melepas tangan yang membingkai wajahnya, Rey berbalik lalu duduk di ranjang. Disusul wanita itu.

"Ibu khawatir sama kamu, Sayang. Kamu dan Ayahmu yang selalu berseteru bikin Ibu gak tega. Ibu hanya bisa diam aja, Ibu bener-bener bingung gimana caranya bikin kalian berhenti." Ibunya Rey terdiam sebentar, lalu dipandangnya kedua mata sayu Rey dengan cermat. "Kasih tau Ibu, Rey, kasih tau Ibu caranya supaya konflik antara kamu dan Ayahmu sirna. Ibu ... gak tahan liatnya."

Terlihat Rey sudah kembali normal napasnya. Memandang raut sedih Ibunya membuat Rey memeluk wanita paruh baya itu erat.

"Maafin Rey, Bu," ucap Rey di dekat telinga Ibunya.

Wanita itu menggeleng-geleng. Rey dapat merasakannya.

"Rey sayang Ibu."

"Rey ..."

"Tapi Rey harus pergi."

Isak tangis pecah. Wanita itu mendekap putranya makin erat seolah tak merestuinya pergi. Rey makin tak tahan mendengar tangisan Ibunya.

Sejujurnya, enggan sekali dia pergi jauh dari Ibunya. Rey sangat menyayangi Ibunya itu. Apapun akan Rey lakukan. Sejak dulu Rey selalu dimanja dan diperhatikan oleh Ibunya. Beliau adalah wanita yang bijak dan tidak pilih kasih antara Rey dan adiknya, itu sebabnya Rey sangat sayang Ibunya.

Masa kecil Rey dilimpahi kasih sayang dan kelembutan dari Ibu. Namun Rey juga merasakan kerasnya didikan Ayah. Tuntutan yang besar dan tak berkesudahan membuat Rey tak begitu suka berada di dekat Ayah. Harapan yang Ayahnya tumpukan pada pundak Rey begitu berat. Selama 25 tahun Rey hidup sesuai dengan apayang sudah Ayahnya rancang.

Tapi kali ini tidak.

Penderitaan yang membekas selalu Rey terima. Ayahnya yang perfeksionis membuat Rey kehilangan jati diri.

Rey ... semakin parah.

Karena tuntutan yang berat itu, Rey menemukan jati diri barunya.

Jati diri yang akan membawa Rey pada kehancuran.

"Rey ... kalau memang ini keputusan matangmu, pasti suatu saat kamu akan mendapati kebahagiaan yang selama ini kamu cari," Ibunya berujar lalu menyunggingkan senyum.

"Hati-hati, anakku."

*

*

*

Pandangannya memindai seluruh sudut ruangan ini.

Akhirnya Rey sampai di apartemen barunya. Dia rahasiakan alamat barunya ini dari siapapun. Mencegah bawahan Ayahnya untuk melacak dan mengikuti Rey seperti biasa. Rey bahkan mengganti nomor ponselnya agar orang rumah tak menghubunginya.

Pemuda ini benar-benar memisahkan diri dari keluarganya, tidak, dia hanya pergi dari Ayahnya. Sampai kapanpun Rey akan selalu bersama Ibunya meski tak lagi tinggal serumah.

Dia membuka tirai. Kamarnya berada di lantai delapan dari sepuluh lantai. Rey bisa melihat dengan jelas pemandangan urban dari jendela besar yang terhalang kaca transparan. Rey juga bisa duduk di sofa yang diletakkan tepat di depan jendela kaca.

Dapurnya memang tak tersekat, bergabung dengan ruang tamu kecil yang terhalang oleh pantry kayu. Untuk kamar tidur, kamar mandi dan toilet, ruangan dibuat terpisah. Ada juga sebuah mesin cuci dan tali jemuran di balkon. Rey suka apartemen minimalis karena akan meminimalkan tenaga yang dikerahkannya untuk menjaga kebersihan apartemen.

Rey hampir lupa! Dia buru-buru mengorek kopernya dan mengambil semua obatnya, lalu dia letakkan di lemari kecil yang menempel pada dinding. Rey juga menggeser dispenser agar dekat dengan lemari obatnya.

Semenjak diagnosa itu, Rey jadi harus minum obat. Dia tak bisa melalaikan obatnya setelah banyak hal buruk terjadi akibat terlambat minum obat.

Tring ... tring ... tring ...

Rey mengambil ponselnya yang berdering dari saku celananya. Sebuah panggilan masuk dari editornya.

"Iya, halo?"

"Halo, Rey. Apa kamu sibuk? Saya cuma mau nanyain tentang episode lanjutan komikmu itu. Deadline 2 hari lagi, apakah draftnya udah kamu lengkapin?"

"Iya, Pak. Cuma lining dan coloring doang, juga dialognya."

"Hmm ... iya iya. Oke, 2 hari lagi tenggatnya, ya. Jangan ngaret kayak sebelumnya."

Rey tersenyum. "Siap, Pak."

Rey menutup panggilan. Dia memandangi kopernya yang masih belum dibongkar. Rey membuka sebuah koper yang berisi perangkat-perangkat digitalnya untuk menggambar kemudian menghela napas panjang.

"Aku lupa sama studio kerjaku."

*

*

*

Rey membiarkan tirai jendelanya terbuka, sehingga pemandangan kota di malam hari terlihat jelas.

Lampu-lampu gedung, pertokoan, jalan dan kendaraan bagai kunang-kunang dilihat dari atas sini. Rey tersenyum ringan, tak pernah terbayang kalau pemandangan ini sangat indah.

Rey menaikkan temperatur pendingin udara. Dia sedikit kedinginan dengan hanya memakai jaket hitam tanpa dalaman dan celana pendek.

"Baiklah, kita mulai kerjanya."

Pria bersurai hitam ini membaca kembali draft komiknya sebelum dia eksekusi ke tahapan berikutnya. Dia sedikit nekat dengan menyisakan hanya 2 hari sebelum tenggat untuk merampungkan episode komiknya itu. Harusnya Rey sudah melengkapi 90% kesiapan 3 hari sebelum merilis episode terbaru, namun sekarang dia bahkan belum mencapai 50% kesiapan dalam tenggat yang hanya bersisa 2 hari.

Sebetulnya kecerobohan ini bukan pertaama kali. Rey juga sering menangguhkan perilisannya. Karena desakan editor dan juga kemarahan pembaca setianya, Rey berjanji akan berusaha lebih keras lagi.

Tapi ternyata Rey tidak sekomitmen kelihatannya.

Paras tegas dan rupawannya itu cukup meyakinkan beberapa orang kalau Rey berpegang teguh pada norma. Seperti Najwa Shihab yang memancarkan aura khas yang membuat orang-orang langsung mempercayai bila Najwa berjanji.

Ini merupakan salah satu pembuktian untuk Don't Judge A Book By Its Cover.

"Tinggal 2 hari lagi. Gue pasti bakal selesaikan episode ini tepat waktu," gumam Rey sambil menggores pena stylus-nya pada layar tablet pena. "Tanpa asisten pun gue bisa memenuhi ekspektasi pembaca. Episode sebelumnya bener-bener menyulut ledakan besar, dan episode yang lagi gue kerjain ini bakal jadi ledakannya. Lalu episode berikutnya bakal jadi kepulan asap yang membutakan."

Rey tak bisa menahan tawanya.

"Ngomong sama diri sendiri emang best lah buat penyemangat kerja."

"Ngomong sama diri sendiri?"

Tawa Rey lenyap seketika.

"Maksudnya dia itu gila."

"Bukannya kamu lagi ngomong dengan kami?"

Mendadak Rey berdiri. Badannya sangat tegang dan gemetar. Rey lalu merasakan kepalanya ngilu hebat dan membuatnya oleng.

Mata Rey langsung melirik lemari obatnya. Ketika hendak berjalan ke sana, sesuatu menghalangi kaki Rey.

Itu adalah kepulan asap hitam yang tak menguap. Perlahan asap itu memandang dan membentuk sebuah kepala di bagian puncak. Kepala itu menghadap Rey dan wajahnya pun mulai nampak. Benar-benar mengerikan.

Rey menghindar. Dia melangkah tersendat-sendat menuju lemari obat karena kepalanya sangat sakit. Namun bayangan itu kembali menghalangi langkahnya.

"Menyingkir!" sergah Rey.

"Hihihi apa kau takut?"

"Beraninya kau membentak!"

"Hey, apa kau masih berpikir kalau kami ini nyata? Tidak, kami tidak nyata."

"Omong kosong. Kami ini nyata!"

Dia kembali berjalan menuju lemari obat. Dengan penuh perjuangan akhirnya Rey berhasil sampai dan mengambil obat-obatnya. Dia keluarkan kaplet-kaplet itu dari botolnya dengan gemetar dan tergesa-gesa, lalu menelan beberapa butir tanpa air. Rey lalu terduduk bersandar pada dinding. Peluh segera mengucur deras. Rey merasa sangat lemas.

BERSAMBUNG.