webnovel

Kesialan Kedua

"Ini, enggak ada yang mau jelasin?" tanya ibu kost sekali lagi.

Tiba-tiba ada Akmal turun dari tangga. "Saya, Bu. Saya bisa jelasin semuanya."

Semua mata tertuju pada Akmal termasuk aku yang terkejut, ternyata orang itu sudah pulang dari kegiatannya semalam.

Akmal berjalan ke arah ibu kost, segera memperlihatkan video pendek pada beliau. Kedua mata ibu kost otomatis terbelalak. Kulihat Joan makin tertunduk dengan jemari saling meremas.

"Ya ampun! Ini apa Akmal?" Ibu kost langsung merebut ponsel tersebut untuk melihatnya lebih jelas.

"Itu video mesumnya Joan bareng Christy yang tersebar di kampus, Bu," jelas Akmal sambil melirik ke arah Joan dengan senyuman puas.

Sementara amarahku yang sudah mencapai ubun-ubun tak kuasa untuk ditahan lagi. Aku berusaha menggapai kaos biru yang dikenakan Joan, tapi lagi-lagi teman kost menarik bahuku menjauh dari Joan.

"Sial! Lepas!" erangku sambil berusaha melepaskan diri.

Sementara Joan sama sekali tidak bergerak. Dia seperti seorang maling yang baru saja terbongkar kelakuan busuknya. Diam, membisu, dan tidak membela diri ataupun minta maaf.

"Diam aja lu set*n! Ngomong!" teriakku lagi, masih dengan emosi yang berkobar-kobar.

Ibu kost langsung bangkit mendengar teriakkanku. Awalnya kupikir dia akan membentak lagi. Namun ternyata dugaanku salah. Dia justru berucap, "Anak-anak tolong jauhkan dulu Rio sebentar. Ibu ingin bicara serius dengan Joan."

"Baik, Bu," kata anak kost baik yang laki-laki maupun perempuan.

Tubuhku dipaksa ke kamar. Tapi aku menolak dengan tegas, menghempaskan semua pegangan mereka. "Gue bisa sendiri!" kataku ketus, segera masuk ke kamar dan membanting pintu.

Di dalam kamar kost ini langsung kurebahkan diri di ranjang. Aku tak tahu apa yang ibu kost bicarakan dengan Joan, yang jelas semua ini terjadi bukan hanya karena Joan tapi Christy juga yang mau.

"Sial!" rancauku, entah mengapa kedua mata ini mulai berembun. Aku teringat masa-masa indah bersama Christy. Ketika mengingat video singkat itu, dada ini semakin sakit.

Izinkan aku untuk sebentar saja menumpahkan semua rasa yang menyesakkan. Dengan tanpa suara agar semua orang tidak tahu betapa lemahnya aku sekarang.

Setelah semua masalah yang terjadi. Joan memutuskan untuk pergi dari rumah kost tanpa pamit. Padahal ibu kost mengatakan padaku kalau Joan ingin minta maaf sebelum pergi. Namun sampai sekarang dia tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Kirim pesan chat pun tidak.

Untuk Christy, dia terus mengirimiku pesan, bahkan sampai menelpon. Tapi aku masih sulit untuk merespons-nya. Sementara besok, adalah hari natal, seharusnya aku sudah membeli perlengkapan natal bersama teman satu kostanku yang merayakannya juga. Dan tentu saja membeli hadiah natal untuk Christy. Tapi aku sama sekali tidak melakukannya.

Malam natal yang seharusnya dihabiskan bersama Christy, yang ada aku hanya ditemani segelas kopi panas sambil menatap layar monitor sampai bosan.

Mendadak, suara chat bergema dalam kamar. Aku mengintip isinya saat notifikasi muncul pertama kali.

"Rio, buat yang terakhir kalinya, aku pengen kita bicarain masalah ini sekarang. Aku udah gak bakal minta maaf lagi dan aku gak bakal ..."

Sepenggal paragraf yang setengah terlihat, refleks aku menggeser ikon kunci di layar ponsel. Terus kuklik ikon aplikasi berwarna hijau itu. Di sana Christy sudah sangat banyak mengirim pesan chat. Namun, aku hanya tertarik membaca pesan yang ia kirimkan terakhir kali.

Waktu aku membuka pesannya, layar ponsel langsung bergulir ke pesan paling bawah. Dan menunjukkan semua isi dari pesan tersebut.

"Rio, buat yang terakhir kalinya, aku pengen kita bicarain masalah ini sekarang. Aku udah gak bakal minta maaf lagi dan aku gak bakal nuntut kamu untuk maafin aku. Ayo ketemuan di tempat biasa? Aku tunggu kamu di sana," begitu pesan lengkapnya.

Seketika kuhempaskan punggung pada sandaran kursi. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih saja. Ingatanku kembali berputar, menunjukkan kenangan-kenangan indah yang kurasakan bersama Christy. Dia wanita ideal bagiku, semua kepribadiannya aku suka.

Akan tetapi, saat melihat video singkatnya dengan Joan. Aku merasa dia bukan Christy yang sesungguhnya, atau jangan-jangan selama bersamaku Christy hanya mengenakan topeng?

Jalan satu-satunya agar aku tidak penasaran lagi adalah menemuinya langsung. Semestinya aku sudah melakukan itu dari awal.

"Baiklah, ayo temui dia untuk yang terakhir kali," kataku mantap, langsung bangkit dari duduk. Segera mengganti pakaian dari kaos dan celana pendek menjadi kaos, celana jeans, dan bomber cokelat. Untuk rambut yang acak-acakan aku menyamarkannya dengan topi hitam saja.

Saat aku keluar malam untuk yang pertama kalinya, setelah hanya keluar untuk mencari makan dan kuliah saja, anak-anak kost yang menonton TV langsung menoleh ke arahku.

Sial, kenapa rasanya memalukan? Untuk apa juga mereka melihatku serentak seperti itu? Memangnya aku ini buronan? pikirku semakin menutupi wajah dengan topi dan menunduk.

Lantas aku melangkah cepat ke depan pintu dan membukanya untuk keluar. Syukurlah, mereka tidak sempat bertanya. Buru-buru kukeluarkan motor dari bagasi rumah kost dan langsung tancap gas ke tempat yang biasa aku dan Christy kunjungi setiap kali berkencan. Sekarang malam natal, jadi seharusnya banyak dekorasi natal yang sangat indah di sana.

Dan benar saja, penampang luar dari kafe yang sering aku kunjungi tidak bisa diremehkan. Dekorasi yang elegan tidak membuat suasana natalnya hilang. Kemudian aku mencoba masuk, ternyata Christy memilih tempat duduk yang langsung terlihat olehku.

Aku lekas mendekatinya dan duduk. Christy tampak biasa saja, tidak terlihat murung apalagi depresi.

Bisa-bisanya aku mengharapkan sesuatu yang tidak pasti.

Tentu saja karena kami sudah menjalin hubungan selama setahun lebihnya mohon maaf lahir dan batin yang! Masa tidak ada rasa bersalah sedikitpun dari wajahnya yang cantik itu?

Aku berdecih kesal sambil menatap ke bawah. "Jadi apa? Kamu mau bilang kalau aku yang salah lagi?"

"Enggak, aku cuma mau ngungkapin apa yang aku rasakan selama pacaran."

Kalimatnya membuatku menatap serius kearahnya. Sudah tak sabar, apa yang akan dia ucapkan selanjutnya.t

"Rio, kita pacaran udah hampir dua tahun, kan? Selama ini apa yang udah kamu kasih ke aku?"

Refleks keningku berkerut dengan tajam. Pertanyaannya membuatku bingung bukan main. "Kita pacaran seperti pasangan kebanyakan. Kencan, nonton film, kasih hadiah kalau ada hari yang spesial. Bukannya begitu?"

"Bagiku masih kurang. Memang, semua perhatian yang kamu kasih itu beda dari cowok lain. Kamu tulus, dan aku bisa ngerasain itu. Tapi, aku masih merasa ada yang kurang, sesuatu yang bikin aku bucin ke kamu itu gak ada, Rio."

Bahkan alisku sampai ikut menukik juga. Aku rasa alasannya makin tak masuk akal sekarang. "Maksudnya?" tanyaku pada akhirnya karena tak bisa mencerna apa yang dia maksud.

"Maksudku, kamu itu gak seperti Joan. Kamu terlalu pasif, kamu gak bisa bikin aku pengen banget hidup bareng kamu, itu yang aku cari. Kamu gak bisa, Rio," jelasnya makin mengada-ngada bagiku.

Alasan apaan itu? Sama sekali tidak masuk akal. Bahkan ketulusanku tidak bisa membuat hatinya luluh, begitu maksudnya? Sial!

"Jadi aku harus gimana?"

"Aku juga gak tahu, mungkin kita emang gak jodoh," jawabnya sambil menatap jemarinya yang ada di meja.

Aku tercengang dibuatnya. Jawaban yang sangat klise, tapi begitu krusial bagi orang yang percaya. Seketika aku tersenyum kecut karena merasa semua yang kuperjuangkan ternyata sia-sia. Tidak ada hasilnya dan percuma.

"Dan sekarang aku lagi hamil anaknya Joan. Makanya kenapa aku pengen ketemu, buat ngasih tahu kalau sebenarnya aku yang salah bukan kamu. Maaf, aku udah sejauh ini gak setia sama kamu."