347 Tanda-tanda

WARNING!!Dalam cerita ini mengandung muatan dewasa. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini

"Apa kamu mau nikah sama aku Tiara?aku udah tahu kok caranya bikin anak." Ucapan Jay membuat Tiara langsung menjitak kepalanya. Dia benar-benar gemas dengan ucapan Jay yang sembrono itu. Jay selalu berpikir jika ingin menikah ada dua hal yang harus dia penuhi. Pertama sudah bekerja dan kedua sudah tahu bagaimana membuat anak.

"Aww...sakit.."

"Abang kalo ngomong tuh ya keluar seenaknya yang penting bunyi. Ini kalo di depan orang lain gimana?masa ada orang ngelamar pake acara tahu cara bikin anak?"

"Ya terus apa?aku ga tahu.."

"Ya ga usah diomongin.."

"Kaya minta cium?"

"Iya, itu hal yang ga sopan diomongin di depan umum."

"Ya udah jawab aja mau engga?"

"Ya... aku tunggu aja sampe orang tua Abang datang."

"Kok gitu?"

"Ya ga papa. Nanti aja."

"Jangan bikin aku penasaran nanti aku susah tidur lagi."

"Datang aja dulu."

"Ish...sebel banget." Jay lalu menghujani Tiara dengan ciuman-ciuman kecil di seluruh wajahnya.

"Ayo....jawab...ayo jawab Tiara..." Jay sambil menciumi kening, pipi dan hidungnya sementara Tiara hanya tertawa-tawa kecil.

"Aku tunggu sampe datang ke Jogja.." Tiara memeluk Jay kali ini. Dia sudah lelah untuk bermain-main.

"Aku pasti datang. Pasti sayang..."

"Kalo engga?"

"Itu ga mungkin." Jay segera menjawab dengan mantap. Dia lalu melepaskan pelukannya namun tetap tak ingin jauh dari Tiara. Kedua tangannya dilingkarkan dipinggang sang kekasih.

"Tiara, apa ke semua pasien, kamu selalu pegang tangan?"

"Maksud Abang?"

"Waktu kamu nenangin Kay, kamu pegang dia. Kamu elus-elus tangannya. Apa itu juga kamu lakuin ke pasien kamu?"

"Bang..baru juga dibahas tadi.."

"Aku ga cemburu, aku tanya. Aku pingin tahu."

"Engga. Ga semua. Tergantung situasinya dan pasti kalo ke pasien laki-laki aku ga pernah kaya gitu."

"Kalo ke perempuan?"

"Ya...karena sama-sama perempuan kadang gitu. Perempuan itu cenderung meluapkan emosinya pake nangis jadi aku berusaha nenangin aja. Ga mungkin ada orang nangis aku liatin aja."

"Kalo gitu aku sedikit tenang."

"Sedikit?"

"Karena sisanya aku masih khawatir sama semua temen kerja kamu."

"Apa sih, ga ada yang unik kaya Abang."

"Gimana kalo pasien kamu kaya aku dan kamu suka?"

"Ya ampun, apa sih yang Abang pikirin?jauh banget. Engga ada bang."

"Kalo ada aku bakalan sedih loh.."

"Ih nuduh terus...gemes..." Tiara menangkup pipi Jay dengan satu tangannya.

"Bang...belajar yuk."

"Belajar apa?"

"Belajar pake pisau."

"Engga. Aku masih takut."

"Mau sampai kapan?Abang janji mau coba."

"Kalo sekedar liat aku masih bisa tahan tapi kalo pisau itu gerak, aku ga bisa. aku ga bisa Tiara. Bayangin aja aku takut."

"Karena Abang selalu mikir ada tangan."

"Itu tangan Daddy Tiara, tangan Daddy ada dibawah pisau. Iya...itu tangan Daddy. Daddy sakit...Daddy berdarah.. dad...Daddy." Suara Jay mulai bergetar, kedua tangannya kini terlepas dari pinggang Tiara. Dia mulai panik lagi.

"Oke..oke...kita skip Bang. Tenang...tarik nafas. Kita di kantor. Kita di ruang kerja Abang." Tiara mencoba menyadarkan Jay jika mereka bukan di berada di tempat terkutut itu. Jay masih menarik nafasnya agar jauh lebih tenang. Tiara mendekatinya lagi.

"It's oke bang. Kita lupain pelan-pelan.." Tiara melingkarkan satu tangannya di pundak Jay sementara tangan yang lain dia gunakan untuk mengusap pelan mata Jay.

"Orang itu bener-bener jah..."

"Sst....orang itu udah ga ada." Tiara menutup mulut Jay agar dia tak berbicara lagi tentang kejahatan yang membuatnya takut dan trauma. Jay menarik turun tangan Tiara dan membungkam mulut Tiara dengan bibirnya. Dalam jarak sedekat ini tak mungkin jika Jay membiarkan Tiara terlepas begitu saja. Jay membuka dan menutup mulutnya secara teratur. Dia merasakan licin sekarang. Bibirnya tak lagi kering seperti tadi. Matanya terpejam menikmati setiap peraduan bibir mereka. Tiara pun begitu, mencoba mengimbangi gerakan bibir Jay yang terkesan santai dan menggoda. Menarik ulur lidahnya dengan lincah tanpa menyakitinya. Selama ini hanya itu hal dewasa yang Jay pernah lakukan.

****

Dariel tampak begitu nyenyak dalam tidurnya. Matanya terpejam dengan sempurna. Dia tidur dengan terlentang dengan selimut yang hanya mencapai bagian dadanya. Sudah beberapa hari ini Dariel rasanya lelah sekali. Dia banyak mereview semua laporan keuangan restoran mertuanya sejak digabungkan dalam satu wadah yaitu Adelard Group. Dirumah pun Ara sedikit manja, ingin itu dan ini membuat Dariel harus ekstra sabar karena terkadang sesekali emosinya sedikit terpancing. Mungkin karena semakin membesarnya perut Ara, dia menjadi tak nyaman untuk melakukan apapun sehingga dia kesal dan melampiaskan pada Dariel yang sama lelahnya akibat pekerjaan.

"Bang..." Ara dengan satu tangannya mengguncang tubuh Dariel. Pria itu masih terlelap.

"Bang..." Panggil Ara lagi namun Dariel belum juga bangun. Kini Ara mencubit lengan Dariel.

"Emmm..." Dariel terkejut. Dia merasakan sakit. Matanya langsung terbuka dan melihat ke arah samping dimana Ara berada.

"Jangan dicubit dong, sakit.." Dariel mengusap pelan bekas cubitan Ara.

"Aku bangunin Abang ga bangun-bangun makannya aku cubit."

"Iya apa.."

"Ga jadi.." Ara kesal karena nada Dariel terkesan ketus. Kini dengan susah payah Ara membalikkan badannya. Dariel menghela nafas. Dia mengusap matanya sebentar kemudian terduduk. Diraihnya air diatas nakas dan dia minum beberapa tegukan.

"Apa sayang?kenapa?" Dariel bertanya lagi namun Ara tak menjawab.

"Dedenya belum tidur?" Dariel kini mendekat. Menghadapkan badannya pada Ara.

"Maaf sayang, Abang kaget tadi." Dariel kini mengusap lengan Ara.

"Mau apa?kamu pingin Abang gimana sayang?"

"Perut aku rasanya kenceng banget..." Ara terus mengelus-elus perutnya sejak tadi. Ara kini beranjak bersandar ditepi ranjangnya dan dengan segera Dariel membantunya. Dia kemudian memegang perut istirnya dan memang agak sedikit berbeda rasanya. Ini jauh lebih keras dari biasanya.

"Anak-anak papi, tidur dong...kasian mami sayang..." Dariel mulai mengajak ngobrol ketiga anaknya.

"Bentar, Abang seacrhing dulu ngatasinnya gimana." Dariel segera meraih handphonenya dan mencari cara untuk mengatasi perut kencang istrinya.

"Udah mendingan sekarang bang.." Ucap Ara lagi membuat Dariel sedikit lega.

"Bener?" Tanya Dariel membuat Ara mengangguk.

"Kamunya tidur dong.."

"Ga bisa tidur.."

"Minum dulu..." Dariel mengambil gelas Ara.

"Aku pingin berdiri.." Pinta Ara membuat Dariel membantunya. Kini Ara berdiri dan terdiam sementara Dariel di depannya memegangi Ara.

"Kenapa sayang?" Dariel melihat Ara menarik nafas dan menghembuskan ya lagi.

"Sakit.."

"Ke dokter aja yuk.."

"Ga usah, nanti kaya tadi lagi. Sakit terus hilang.." Ara menolak karena merasa bisa mengatasinya. Dariel kini hanya menurut saja. Dia hanya bisa menuruti keinginan sang istri.

***To Be Continue

avataravatar
Next chapter