webnovel

Puncak kesedihan Ara

Dariel baru saja pulang dari kantornya. Dia kini tampak keluar mobil dan bergegas masuk kedalam rumah sementara Ara seharian ini hanya menangis dikamar.

"Please...stop nangis..mami ga tahu harus gimana.." Gumam Ara sendiri dan membiarkan Ravin dan Karin menangis sementara Davin yang ada di tengah hanya diam. Ara terduduk dibawah dan menundukkan kepalanya diatas lutut. Dariel yang baru saja menaiki tangga langsung bergegas cepat saat mendengar anak-anaknya menangis. Dia membuka pintu dan melihat ketiga bayinya hanya dibaringkan di atas kasur. Tanpa banyak berbicara Dariel menggendong Karin sementara Ravin dia ajak bicara pelan.

"Ra...ini anaknya nangis Ra..." Dariel heran dengan sikap Ara yang hanya diam saja disana. Ara tak menjawab. Jelas suaminya pasti marah melihat anaknya ditelantarkan begitu saja. Ara bangkit sekarang mengusap air matanya. Dia langsung menggendong Ravin. Dia bawa keluar kamarnya.

"Kamu pingin apa sih Vin?" Ara mencoba menenangkan tapi Ravin masih menangis. Dia kini duduk disofa lalu menyodorkan payudaranya pada Ravin namun bayinya itu tidak mau. Dia malah tetap menangis. Ara mengecek celananya dan tak ada yang salah disana.

"Kamu ga pompa susu?ini Karin haus." Dariel yang sedaritadi mencari persediaan susunya tak ada. Mata Ara menatap Dariel sebentar tapi Ara tak berbicara.

"Jangan diam aja dong Ra, anak kok dibiarin. Tega banget ya kamu." Dariel mengomel kini Ravin Ara letakkan di sofa lalu tangannya mengambil alih Karin. Dibawanya lagi anak itu kekamar dan dengan satu gerakan dia mulai menyusui Karin sambil menepuk-nepuk pantai Davin yang masih anteng terdiam sambil mengemil jarinya.

"Kotor sayang." Ara menarik pelan jari mungilnya. Matanya tak berhenti berair. Dia sedih bukan main.

"Davin paling pinter emang. Bobo sayang." Ara sedikit menghapus air matanya sementara Karin tampak menikmati air susunya. Butuh waktu cukup lama bagi Ara sampai Karin benar-benar tertidur. Ara meletakkan secara perlahan anaknya di tempat tidur begitupun Davin yang kini ikut terlelap. Sejak Dariel memutuskan untuk tak tidur dikamar Ara selalu membiarkan anak-anaknya tidur di kasurnya. Diluar Ara tak mendengar suara tangisan Ravin. Mungkin dia juga sudah tidur. Ara membereskan semua barang-barangnya yang berantakan tadi. Kini Dariel masuk dengan Ravin dalam dekapannya. Benar saja anak itu sudah tidur. Dariel membaringkan anaknya di box bayi miliknya sementara Ara hanya diam. Kakinya kini melangkah keluar kamar. Membereskan semua kekacauan dirumahnya yang masih tersisa.

"Lain kali Abang ga mau ya liat anak-anak dibiarin gitu." Dariel mengikuti langkah Ara. Istrinya hanya diam.

"Kamu denger ga?"

"Aku denger."

"Kalo suami lagi nanya tuh dijawab, lagi ngomong tuh diliat!" Bentak Dariel. Kini Ara sudah terbiasa dengan nada bicaranya. Di awal-awal mungkin dia sedikit terkejut.

"Kamu bener-bener ya, udah ga ngehargain lagi Abang suami kamu?!"

"Abang sendiri mau ga denger aku?!aku ini istri Abang bukan patung!."

"Istri yang tukang selingkuh."

"Aku ga selingkuh bang!"

"Terus apa namanya?!Udah tahu salah masih aja ngotot. Ga malu apa kalo Daddy tahu?"

"Ya udah Abang kasih tahu."

"Kalau bukan gara-gara anak-anak Abang udah kasih tahu. Besok Abang suruh ibu kesini."

"Ga usah."

"Abang mau pergi keluar kota besok, ga mungkin Abang biarin kamu sama anak-anak. Mereka nangis aja kamu diemin."

"Anter aku aja kerumah mommy."

"Mau ngadu?"

"Ya..terus aku harus gimana?aku kesana ga boleh, aku sendiri ngurus anak-anak ga boleh. Aku harus gimana bang?!!" Ara dengan tangis tertahannya.

"Makannya mikir dong kalo berbuat sesuatu. Ga kira-kira selingkuh anak masih kecil-kecil."

"Terus aja nuduh aku. Kapan sih Abang ga mau dengerin aku?."

"Udah Abang bilang ya, Abang ga akan dengerin selama ucapan yang keluar dari mulut kamu itu kebohongan. Kamu tuh sama aja tahu ga sama ibu Abang. Tinggal bareng tapi malah nyiksa. Kamu tuh ga ada bedanya. Bisanya nyakitin Abang. Semua perempuan tuh sama aja!!" Perkataan Dariel membuat Ara bak tertusuk duri. Begitu kejam dan menyayat hatinya. Belum lagi tangan Dariel tak henti menunjuk-nunjuk kearahnya.

"Sekarang naik keatas beres-beres. Pagi-pagi kita berangkat." Dariel memerintah.

"Bang...kalo emang Abang ngerasa aku mengkhianati Abang, aku nipu Abang atau bahkan aku bisanya nyakitin Abang. Kenapa Abang ga tinggalin aku aja?Kenapa Abang ga biarin aku sendiri?emang Abang pikir aku ga kesiksa dengan kita kaya gini?Setiap hari aku sediain ini itu Abang ga pernah pake, setiap hari aku ngomong ini itu Abang ga pernah denger. Please stop bang. Aku udah cape. Aku udah ga kuat." Ara meraih bahu kursi dipinggirnya seolah menahan berat badannya sendiri.

"Kalau cuman karena anak-anak. Aku janji ga akan ngalang-ngalangin Abang ketemu atau apa. Aku janji. Aku cuman pingin hidup tenang aja bang. Setiap hari emang enak aku dibentak terus?disalahin terus?abangkan udah ga mau denger penjelasan aku. Sekarang mau ngapain kalo sama-sama cuman buat berantem?please..biarin aku hidup baik-baik. Kenapa semua orang ganggu aku?" Ara sudah mengeluarkan air matanya. Kini giliran Dariel yang terdiam. Ara tak perlu lagi jawaban Dariel dia segera menuruti perintah Dariel sebelumnya. Naik keatas dan mempersiapkan diri untuk kepergiaannya besok.

****

Sejak subuh Ara sudah siap dia bahkan sudah memandikan anak-anaknya seorang diri. Dia tinggal menunggu Dariel mengajaknya pergi. Kini semua koper yang berisikan baju-baju anaknya pak Nana masukkan kedalam mobil. Ara masuk dan duduk dengan Davin di gendongannya. Tak ada pembicaraan apapun sejak kejadian semalam bahkan dimobil pun mereka sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Ara sudah pasrah akan dibawa kemana yang jelas hatinya sepertinya butuh obat agar bisa menjadi seperti dulu. Mata sembabnya membuat Ara takut jika siapa saja yang melihat membuat orang bisa menebak apa yang terjadi makannya dia mulai menggunakan make up lagi setelah sekian lama. Tak disangka Dariel membawanya kerumah Kenan. Sebelumnya dia sudah mengirim pesan pada Kenan bahwa dia akan menitipkan Ara dan ketiga anaknya.

"Eh udah datang cucu-cucu opa.." Kenan menyambut dengan hangat ketiga anaknya. Ara tersenyum begitu Dariel seolah ingin menunjukkan tak ada yang terjadi diantara mereka. Dariel menyalami Jesica dan Kenan dan membantu Ara untuk meletakkan kopernya dikamar.

"Makin gembul aja nih.." Jesica gemas dengan mencubit pipi Ravin.

"Klis liat mom, Klis liat.." Kris penasaran. Kini ibunya duduk dan memperlihatkan keponakan Kris itu.

"Kamu berapa lama di Medan?"

"Semingguan mom."

"Riel jangan lupa loh acara gala dinner Sabtu."

"Iya mom, Sabtu malem Dariel pasti hadir. Ya udah Dariel langsung pergi ya."

"Dianter pak Kahar?"

"Iya dad..."

"Aku anter Dariel dulu ke depan." Ara berdiri lalu berjalan di belakang Dariel. Tak ada perkataan atau perbuatan apapun disana. Ara hanya berdiri di depan pintu sementara Dariel pergi begitu saja. Mungkin pemandangan itu yang akan Ara rasakan sebentar lagi dimana Dariel akan benar-benar pergi dari kehidupannya. Sejujurnya berat tapi Ara merasa sudah tak kuat lagi. Biarlah kesalahanpahaman ini hanya dia yang tahu. Jika Dariel tak mau mendengarnya tak apa yang jelas dia masih bertanggung jawab pada ketiga anaknya. Ara terlalu sakit hati dengan ucapan Dariel kemarin sore yang menyamakan dirinya dengan ibu yang meninggalkan Dariel begitu saja padahal Ara tak sekejam itu.

***To Be Continue

Next chapter