485 Perubahan Sachi

Selayaknya orang tua, Sachi dan Kay tampak mengunjungi sebuah toko mainan. Mereka kini sedang berkeliling mencari mainan yang diinginkan Ansel. Langkah kaki Kay hanya ikut kemana anak itu pergi. Dia tak peduli mau berapa banyak mainan yang Ansel beli, pikirannya sedang menerawang jauh memikirkan Keyla dan Kiran. Sejak tadi pesannya belum juga di balas Kiran. Apa Kiran sesibuk itu sampai belum sempat membuka handphone.

"Ansel pingin ini.."

"Engga, 2 cukup."

"Ga papa, beli aja." Kay segera menyodorkan tas belanjannya agar Ansel meletakkannya disana.

"Ga usah ga papa." Sachi langsung meletakkan mainan itu di rak.

"Beli aja." Kay mengambil lagi dari rak dan memasukkannya. Rasanya benar-benar aneh melihat Sachi selembut ini. Cara bicaranya yang selalu terkesan sombong kini tak tersirat sama sekali.

"Jangan nolak apapun, bukannya kamu yang pingin aku ngakuin Ansel sebagai anak aku?."

"Bukannya keluarga kamu belum bicarain apa-apa soal itu?."

"Kita bicarain hari minggu."

"Kalau gitu, aku ga akan nuntut apapun dulu…"

"Ga papa, kalo ternyata bener, aku kena dosa."

"Kalo?, jadi masih ragu?."

"Bukan ragu cuman…."

"Ga papa.." Sachi memotong dan memperhatikan lagi Ansel yang begitu senang.

"Ansel ayo udah.." Sachi mengarahkan Ansel ke arah meja kasir. Kay langsung mengeluarkan semua mainan Ansel untuk dihitung dan tak lama munculah angka yang harus dibayar.

"Aku yang bayar.." Kay langsung menghentikan aksi Sachi yang mencoba mengeluarkan dompetnya. Kay menepati janjinya karena Ansel menurut.

"Aku pulang naik taksi aja."

"Ga papa, aku anterin.."

"Nanti Ran nyariin."

"Masuk mobil aja, aku ga mau berdebat lagi cuman perkara pulang." Kay tak menanggapi perkataan Sachi. Bagaimana bisa Kiran mencarinya?, sekedar menanyakan kabar tentang dirinya saja tidak. Malam itu Kay mengantar Sachi ke alamat yang dia tunjukkan. Awalnya semua biasa saja sampai dia menyadari ada sesuatu yang tak biasa. Jalanan yang di tunjukkan Sachi bukan mengarah pada sebuah komplek rumah yang besar tetapi pada sebuah gang kecil dengan jalanan yang berlubang. Jelas mobil Kay tak bisa masuk dan Sachi sendiri meminta untuk diturunkan di depan gangnya.

"Aku parkir disana aja.."

"Ga usah, kamu langsung pulang aja." Sachi lagi-lagi menolak namun mengingat ada belanjaan yang cukup berat akhirnya Kay bersikeras untuk ikut. Dia kini berjalan dibelakang Sachi dan Ansel. Dari jalan tadi sebenarnya tak terlalu jauh, hanya belok ke kanan satu kali dan berjalan lurus sebuah rumah kecil yang merupakan tempat tinggal mereka terlihat. Kay makin dibuat tak percaya. Sachi yang dulunya hidup glamor harus tinggal disebuah kontrakan kecil yang hanya mempunyai ruang tamu kecil dan 1 kamar.

"Mau masuk dulu?."

"Ga usah, aku langsung pulang aja. Ansel sampe ketemu lagi nanti.."

"Om besok jemput lagi kan?."

"Hem?." Kay bingung menjawabnya.

"Om juga kerja Ansel, besok mama yang Anter jemput ya.." Sachi mencoba memberi pengertian.

"Nanti kalo bisa, aku kabarin, aku pulang.." Kay Kali ini benar-benar pergi. Dia menelusuri jalan tadi lagi sambil melihat kearah sekeliling. Suasana disini bahkan seperti perkampungan saja, terlihat beberapa ayam disekitar jalan, anak-anak bermain di lapangan yang tak jauh darisana. Ibu-ibu berdaster terlihat mengobrol dan mungkin saja ada nama Kay dan Sachi yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Kay kini jadi penasaran apa yang terjadi dengan kehidupan Sachi pasca keluar dari penjara.

***

- Hallo cantik, lagi apa?.

Kay dengan sumringah melakukan video call dengan Keyla. Sejak tadi dia sangat menantikan kabar darinya. Kiran yang menghubunginya sempat membuat Kay senang bukan main tapi…ternyata wajah Keyla yang ada disana sepertinya Kiran langsung memberikan handphonenya pada Keyla.

- Lagi Nonton tv.

- Baru mandi ya, cemong gitu bedaknya.

Kay tersenyum kecil memperhatikan wajah anaknya.

- Yayah ga mandi?.

- Udah dong, kamu udah makan sayang?.

- Udah, Yayah makan?.

- Hm..udah.

Kay melihat piringnya yang terletak dibelakang Handphonenya. Nasi goreng yang tadi dia masak bahkan masih banyak, Kay baru saja makan dua sendok itupun rasanya sudah kenyang.

- Keyla lagi sama siapa?.

- Oma...

- Bunda mana?.

- Ada tamu..

- Tamu?, siapa?.

- Om Bas.

Keyla dengan lancar menyebutkan nama pria yang selalu membuat Kay cemburu. Kay kini diam sejenak. Kenapa mereka bertemu lagi?, ada apa?. Apa ini soal kerjaan?. Berani-beraninya Baskara main kerumah istrinya. Rasanya Kay ingin segera berlari kesana tapi apa daya kalau itu terjadi maka hanya ada kekacauan.

- Yayah kapan pulang?.

- Pulang?, sabar ya..ayah juga pingin pulang.

Kay berbohong pada anaknya. Jika boleh jujur, Kay juga ingin menemui anaknya dan membawa Keyla kerumah.

- Kapan?.

- Hm... secepatnya sayang. Eh nanti ayah pulang kita beli mainan ya..

- Mau, mau, mau...

- Keyla mau beli apa?.

- Keyla pingin beli baju buat Barbie..

- Iya sayang boleh, nanti ayah beliin juga baju buat Keyla, udah lama kita ga shopping.

- Keyla suka shopping.

- Sayang jangan tidur malem-malem ya,

- Engga, Yayah tidur malem.

- Engga, ayah tidurnya cepet. Keyla tidur, ayah tidur.

- Buna?.

- Buna juga tidur.

- Engga, Buna nangis.

Keyla dengan lancar mengatakan apa yang dilihatnya.

- Nangis?.

- Iya, Buna nangis malem-malem.

Keyla bercerita lagi, Kay jadi merasa bersalah. Itu pasti gara-gara dirinya. Kay menunduk lagi bisa gawat juga kalau hal yang dikatakan Keyla dikatakan pula pada Arbi. Eh.. Ngomong-ngomong tadi Keyla bilang dia bersama Oma, apa Mertuanya itu mendengar yang dikatakan Keyla?. Kay melihat sudut pandang kamera namun disana Marsha masih duduk sambil tertawa karena tontonan di tv.

- Ya udah, Keyla nonton lagi sama Oma, ayah mau beres-beres dulu ya.

- Yayah cepet pulang.

- Iya sayang, salamin buat bunda, bye..

- Bye...

Keyla melambaikan tangannya dan seketika gambar Keyla di Handphonenya lenyap. Kay masih memandangi layar itu dengan sedih. Wallpaper Handphone yang menunjukkan potret mereka bertiga membuat Kay ingin mengakhiri permasalahannya dengan cepat. Padahal jarak rumahnya dengan rumah mertuanya begitu dekat tapi rasa rindu itu harus Kay tahan dulu. Bukan hanya rindu, rasa kesal karena ada baskara disana pun menyelimuti hati Kay. Rasanya pria itu bisa membaca situasi, disaat seperti ini dia datang. Disaat Kiran jauh darinya, lagi-lagi pria itu datang seperti seorang Hero. Jangan-jangan kondisi ini justru dimanfaatkan oleh Baskara. Memang, sejak dulu Kiran di Australia, Kay pun tahu jika Baskara masih berhubungan dengan Kiran dengan memakai alasan urusan pekerjaan padahal Kay tahu itu bukan hanya soal bisnis tapi...ada niat yang lain. Ah...sudahlah, Kay lebih mempercayai Kiran saat dia bilang tak tertarik dengan Baskara dibanding berpikir yang macam-macam.

***To be continue

avataravatar
Next chapter