WARNING!!Dalam cerita ini mengandung muatan dewasa. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
Tiara memandangi belanjaan yang ada ditangan Mario bahkan beberapa belanjaan ada di tangannya sendiri. Dia sampe dibuat heran oleh perlakuan Jay hari ini.
"Jay...udah jangan dibeli lagi." Protes Tiara saat Jay membayarkan beberapa buku dimeja kasir. Kini Jay mengambil kantong plastik yang diserahkan kepadanya atas buku yang dibayarnya tadi.
"Kamukan pingin ini."
"Iya ini terakhir ya, aku bawanya gimana nanti pas pulang?"
"Ya udah nanti biaya kelebihan bagasinya aku bayarin."
"Bukan masalah itu, kamu aneh."
"Aneh?engga. Aku ga aneh. Udah ayo makan." Jay menarik tangan Tiara kemudian mencari makan didaerah sekitar mereka belanja. Jay dengan manis menarik kursi untuk diduduki kekasihnya. Jay dan Tiara segera memesan makanannya begitupun Mario yang duduk tak jauh dari mereka berada.
"Semalem aku ga bisa tidur."
"Kenapa?suara itu muncul lagi?"
"Iya tapi kata kamu, aku harus kalahin."
"Iyalah, yang kaya gitu ga penting."
"Tapi aku tetep ga bisa tidur, aku mikirin kamu."
"Ish apaan sih." Tiara segera mengambil segelas air.
"Saking senengnya aku nunggu hari ini aku ga bisa tidur."
"Aku tuh udah dengerin seurius omongan kamu tadi."
"Aku lagi coba sehat buat kamu jadi aku ga mau mikir-mikir itu."
"Iya makasih."
"Aku yang harusnya bilang makasih." Jay mengelus dengan lembut tangan Tiara.
"Besok aku pulang." Tiara sambil mengambil sendok dan garpunya.
"Kok cepet?"
"Papah, lupa mau ketemu temen bisnisnya dari arab udah jauh-jauh ke Jogja eh papah malah kesini jadi aja pesen tiket cepet-cepet."
"Jam berapa besok pulang?"
"Jam setengah 9 pagi."
"Oke, aku anter.."
"Ehm...ga usah, aku bareng papah aja."
"Kok gitu?"
"Supaya kamu ga cape."
"Kalo cuman anterin aku ga cape."
"Nanti aku bilang papah dulu."
"Emang papah kamu ga suka aku anterin?"
"Bukan, papahkan tahunya kondisi kamu lagi ga bagus jadi aku ga boleh ngerepotin makannya aku protes tadi ini belanjaan aku gimana."
"Nanti aku jelasin sama om Fahri."
"Mamah udah tahu kita pacaran, Tante Sica nelpon kemarin."
"Iya, kemarin Daddy sama mommy heran aku aneh. Aku bilang gara-gara kamu sampe Daddy bilang, kalo kamu pingin apa, butuh apa Daddy beliin."
"Iya, mamah juga bilang gitu."
"Kalo daddy sama Mommy seneng-seneng aja kita balikan."
"Orang tua aku juga seneng kok cuman mereka masih khawatir soal kondisi kamu aja." Perkataan Tiara membuat Jay sedikit menundukkan kepalanya dengan sedih.
"Jay..bukan berarti orang tua aku ga suka. Mamah suka sama kamu, papah juga apalagi papah sahabatnya om Kenan. Mereka cuman bener-bener pingin kamu fokus sama kesehatan kamu. Mereka takut kalo hubungan kita bakal ngaruh sama kondisi kamu."
"Iya emang ngaruh tapikan ngaruh jadi lebih baik."
"Iya, aku udah jelasin, orang tua kamu juga udah bilang makasih sama papah. Udah...ga usah dipikirin ini cuman masalah waktu aja." Ucapan Tiara disambut diam karena kini mata Jay berfokus pada pisau yang sedang digunakan tamu lain untuk memotong steaknya. Pisau itu menyayat daging dengan perlahan. Memotongnya menjadi beberapa bagian. Seketika Jay mengepalkan tangannya menahan sesuatu yang ingin meledak didalam dirinya.
"Liat aku Jay.." Tiara menyentuh tangan Jay untuk menyadarkannya. Jay kini berpaling sementara Mario sudah siap-siap berdiri jika terjadi sesuatu dengan anak bosnya itu.
"Dia pake buat makan, tenang. Tarik nafas..." Ucap Tiara membuat Jay patuh. Dia terus menarik nafas sambil berhitung. Setelah cukup tenang Jay mengambil air putih yang ada disamping tangannya. Meneguknya sampe habis.
"Apa perlu kita cari tempat makan lain?"
"Ga usah. Kita makan disini aja." Jay kembali menarik sendoknya sambil memasang senyum yang terkesan dipaksa.
"Aku ga papa kalo kamu ga nyaman disini."
"Aku bisa diem ditempat yang engga aku suka sekalipun kalo ada kamu didalemnya." Ucap Jay dengan romantis.
"Kayanya lebih baik kita lanjut makan lagi." Tiara dengan senyum-senyum sendiri mendengar gombalan Jay hari ini walaupun dalam hatinya juga berbunga-bunga.
"Ehm...aku denger sekarang dirumah kamu dipanggil Abang."
"Iya, aku kan udah punya adik. Aku kan udah jadi Abang buat Kris."
"Sama kaya mamah panggil papah."
"Kenapa?kan mamah kamu istrinya papah bukan adiknya papah."
"Itu panggilan sayang namanya, kaya Tante Sica manggil ayah kamu apa manggil Daddy?kan manggilnya Mas."
"Oh...berarti kamu juga boleh panggil aku Abang."
"Kamu pingin aku manggil kamu Abang?"
"Eh engga, itu cuman perumpamaan."
"Oke. Abang Jay." Tiara malah seurius dengan ucapannya tadi.
"A..Abang Jay?" Kekasihnya itu kini senyum-senyum dengan wajah memerah. Ternyata Jay sangat senang ketika panggilan itu keluar dari mulut Tiara. Hatinya bahkan berdebar sekarang.
****
Mario memarkirkan mobilnya tepat didepan pagar rumah Dena dulu. Tiara segera bersiap-siap turun dan memeriksa semua bawaanya termasuk Jay yang ingin berpamitan dengan Fahri dan Dena.
"Eh bentar."Jay menahan tangan Tiara.
"Om Mario, apa bisa tunggu diluar sebentar?" Jay yang belum nyaman sebenarnya dengan kehadiran Mario didalam mobilnya sejak tadi.
"Siap bos." Mario keluar dari mobilnya dan berdiri di depan mobilnya sambil melihat situasi di sekitar mereka.
"Kenapa suruh om Mario keluar?"
"Kamu hati-hati. bulan depan Aku yang kesana." Jay tak mempedulikan pertanyaan Tiara. tangannya mengusap-usap pelan pipi Tiara.
"Iya, telepon aku kalo ada apa-apa. Dalam situasi apapun coba tenang dan jangan lupa tarik nafas sambil berhitung, bilang 'semua akan baik-baik saja.'."
"Iya. Aku anter kedalem."
"Abang cepet sehat." Tiara membuat Jay merona lagi dengan memanggilnya Abang lalu dia mengecup pipi Jay seperti yang dulu dia pernah lakukan saat Jay mengantarnya ke bandara. Kali ini bagi Jay itu tak cukup, maka setelah Tiara selesai dengan ciuman singkatnya. Jay segera meraih bibir Tiara. Menciumnya seperti setahun yang lalu. Lembut dan perlahan. Secara otomatis Tiara melingkarkan tangannya dibahu Jay membuat lelaki itu lebih merapatkan diri. Ini ciuman pertamanya setelah beberapa lama dan tak ada wanita lain yang menyentuh bibirnya selain Tiara. Jay tak mau melepaskan tautannya, dia terus menempelkan dan menggerakkan bibirnya namun Tiara butuh oksigen jadi Tiara segera menjauhkan bibirnya dari Jay.
"Aku pasti ga bisa tidur lagi malem ini."
"Kalau aku bisa gantiin orang itu didalam pikiran Abang, aku ga papa Abang ga bisa tidur."
"Aku seneng kamu panggil Abang."
"Iya aku tahu, Abang senyum-senyum terus daritadi."
"Kamu selalu tahu suasana hati aku."
"Bukan tahu, Abang itu terlalu jelas ngasih tahu apa yang dirasain."
"Karena aku ga biasa bohong."
"Ya udah ayo, kasian om Mario."
"Iya sa...yang..." Jay dengan kaku seolah kata itu baru pertama kali dia ucapkan.
***To be continue