webnovel

I Don't Care About Love

Cinta? Satu kata yaitu BUTA! Cinta yang membuat ibuku yang super cerewet dan ayahku yang super dingin bersama. Cinta yang membuat perbedaan agama dipaksakaan untuk bersatu. Cinta yang membuat jarak antar kota atau antar pulau bahkan antar benua terasa dekat. dan Cinta yang membuat sahabatku, orang yang sudahku anggap saudara, bahkan orang yang aku percaya, orang yang gak bakal tega menghianatiku. Dengan tega MENGHANCURKAN KEPERCAYAANKU! Dan kesimpulanku cinta itu BUTA!

Quinwriter · Teen
Not enough ratings
184 Chs

Menuntaskan Kebencian

Malam ini aku sedang bersantai sembari membaca buku Bisnis Manajemen untuk mengisi waktu kosongku. Dari pada melakukan hal yang tidak bermanfaat mendingan aku membaca buku untuk menambah pengetahuan. Aku melirik ke arah ponselku yang bergetar, tertera nama panggilan dari salah satu orang yang mungkin bisa aku katakan sebagai sahabat.

'Drrttt ... drrrt ... drrtt ....'

Sebelum mengangkatnya, aku persiapkan suaraku, dan pada deringan ketiga, kuangkat telfon dengan tenang. "Hallo asalamualaikum."

"Walaikumsalam, Yun." Jawabnya dari sebrang sana, suaranya terdengar sedikit serius dari biasanya.

"Ada apa, Marsha?" Tanyaku.

"Yun lo udah bilang ke anak-anak kan—"

Bibirku tersungging begitu juga alisku saat aku potong ucapannya dengan berkata, "Aduh Marsha, gimana ya tapi—"

"Kenapa Yun? Lo lupa?" Suaranya terdengar berubah gelisah.

Aku masih tersenyum saat berkata,"Gak ... mereka gak bisa, Mar ... kalo bantuin lu. Tapi mereka pas hari-H nya datang, kalo gue sama Dera aja, gimana?" kubuat suaraku seakan terdengar merasa bersalah.

"Gak papa ... gak papa ... gak masalah, Yun. Alhamdulillah kalo lu bedua bisa. Tanggal 25 ya, Yun? Lu kerumah gue." Marsha terdengar sedikit legah, walau hanya Dera yang bisa memenuhi undangannya.

"Oke ... Wassalamualaikum, Sha," tutupnya.

"Walaikumsalam."

•••

"Jadi kita kemana dulu nih?" tanyaku pada Marsha yang duduk didepan; tepatnya disamping Evan— pacarnya yang sedang mengemudi mobil. Sedangkan aku, duduk di belakang bersama Dera, setelah kami janjian untuk bertemu.

Sesuai rencana yang akan dibuat. Hari ini rencananya kami akan membeli peralatan, untuk acara surprise-nya Mama Marsha.

"Kita cari kado aja dulu di Mall, gimana?" usul Dera.

"Oke." Evan menyetujui dan kami pun meluncur menuju Mall.

Setelah capek berkeliling mencari kado dan membeli peralatan yang dibutuhkan. Tenaga dan energi kami yang terkuras habis harus diisi kembali. Kami berempat pun memutuskan untuk mencari makan.

"Disana aja." Dera menunjuk salah satu restoran yang terlihat cukup ramai.

Evan yang sedang bercanda dengan Marsha pun, langsung menarik Marsha ke restoran yang ditunjuk Dera. Aku berjalan berdampingan dengan Dera mengikuti Marsha yang berada didepanku bersama Evan.

"Yang, aku pengen deh beli itu," ucap Evan kepada Marsha sambil menunjuk ke salah satu tempat stan penjualan Rumah Mewah.

"Lah untuk apa? Kamu kan udah ada rumah, Yang."

"Iya sih, tapi ada yang belum."

Marsha mengernyitkan bingung. "Apa?"

"Rumah Tangga Kita, Yang," jawabnya sambil terkekeh senang.

Marsha dengan malu-malu mencubit lengan Evan. "Adaw sakit, Yang ...," rengek Evan manja, yang buatku dengan terpaksa menontonnya mencebikkan bibir jijik.

Ternyata bukan cuma aku yang geli dengan tingkah dua pasang insan tersebut Dera pun juga merasakan hal yang sama. Bahkan ia menyindir dengan berkata, "edew ... sok sweet deh, ew...."

"Idih ... iri ye lu? Wu ...!" Marsha bersorak tak terima.

"Gak kok, gue biasa aja! Gak iri! Kalo lu tanya Yuna mungkin dia iri. Kan dia jom-blo!" Dera melirik ke arahku dengan senyuman jahanamnya. Ia jahanam!

Aku membalas diawali dengan tersenyum sinis. "Gak apa-apa iri, yang penting gak pacaran sama bekas pacarnya sahabat sendiri!" Setelah mengatakan itu aku melenggang pergi lebih dahulu memasuki restoran yang dipilihkan Dera.

Situ pikir, situ oke? Ngeledek gue?!

•••

Beberap hari setelah kami pergi berempat, Dera datang mengunjungiku di rumahku. Ia duduk di sofa kamarku dengan tenang, menungguku yang sedang menyelesaikan tugas-tugasku yang sudah bertumpuk.

"Yun?" panggil Dera.

Aku yang tengah sibuk mengetik hanya miliriknya sekilas. "Hmm ...."

"Soal yang waktu kita di Mall itu. Hmm ... itu kata-kata gue ... nyinggung lo, yah Yun?"

Jari-jariku yang sedang menari-nari diatas keboard mematung dengan sendiri. Aku juga merubah posisi yang tadinya telungkup dengan duduk menghadap ke arahnya. "Yang mana?" tanyaku sedikit bingung. Sangking banyaknya lo nyinggung gue. Gue jadi lupa, Der!

"Itu ... loh yang waktu gue bilang lo ir—"

Mendengar clue yang ia berikan, aku pun langsung menepuk tangan sekali membuat Dera menghentikan ucapannya. "Oooo ... ituu, iya gue inget. Alah ... biasa aja deh, Der. Gak apa-apa! Gue tau lo bercanda ...." Tapi kelewatan SETAN!

Aku mematung saat ia berlari memelukku sembari berkata, "God lo emang peri gue yang paling baik."

Iya dan lo peri jahatnya!

Dera melepas pelukannya. "Yun ... gue kebelet, nih." Tiba-tiba saja ia ngacir ke kamar mandi yang ada di kamarku

Sebelum ia berhasil membuka pintu kamar mandi, aku langsung berteriak melarangnya, "Der itu rusak, ke bawah aja!"

Karena mungkin sudah tak tahan lagi Dera refleks mengambil ancang-ancang kakinya memutar arah, berlari keluar kamar.

•••

Marsha meletakkan beberapa cemilan dan soft drink diatas meja. "Jadi, ada apa Yun?" tanya Marsha yang duduk di sampingku karena kedatanganku yang tiba-tiba tanpa memberi tahunya terlebih dahulu.

Aku menggigit bibir bawahku dan menatapnya dengan ragu. "Hmm ... gimana ya Sha?Gue sebenarnya takut mau bilang ini." Aku tertunduk seakan takut mengatakannya.

"Kenapa, sih? Bilang aja ke gue."

Perlahan kutegakkan kepalaku, memberanikan diri menatapnya. "Sebenarnya gue mau ngasih liat ini." Tanganku pun terulur menyerahkan ponsel ke Marsha.

Awalnya Marsha bingung menatap ponsel yang aku sodorkan. Namun, setelah aku mengangguk saat ia menatapku, Marsha pun langsung mengambil dan melihat isinya seketika itu juga ia terlihat terkejut dengan apa yang dilihatnya.

"Gue ... sebenarnya gak mau ngasih tau lo. Gue pengen lo tau sendiri aja, Sha. Tapi ...." ucapku sengaja gantung. Marsha menatapku, memintaku untuk melanjutkan ucapan dengan tatapannya. "Tapi gue takut, lo bakal ngalamin hal yang serupa dengan gue, Sha. Lo tau? Rasanya di tikung sahabat sendiri itu sakit, Sha. Jadi sebelum semuanya terlambat. Gue mutusin untuk ngasih tau ke lo, kalo Dera godain pacar lo dan untungnya pacar lo gak nanggepin, Sha."

Tak satu kata pun yang keluar dari bibir Marsha, ia hanya diam menahan amarahnya sambil meremas bantal sofa. Seperti Marsha yang aku kenal.

"Tapi ... gue takut Sha. Se-setia apapun cowok, kalo digoda pasti bakal tergoda juga," ucapku memperingati dia.

Marsha menghela nafasnya dengan kasar.

"Sha gue mohon, jangan kasih tau Dera kalo gue yang ngaduin ini ke lo. Gue takut Dera berpikir kalo gue selama ini iri sama dia, kalo gue masih cinta sama Gadha. Gue mohon, Sha." Aku beranjak dari sofa dan turun hendak bersujud di kaki Marsha.

Marsha langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Lu apaan sih sampe sujud segala? Seharusnya gue yang makasih sama lo, Yun. Karna lo gue tau semuanya dan gue bakal lebih berhati-hati sama Dera dan kalau bisa gua menjauh aja—"

Ku lepaskan pelukan kami dan menatapnya penuh mohon. "Jangan, Sha gue mohon," potongku sambil menangkupkan kedua tangan.

"Oke, tapi gue bakal pantau Dera dan kalau sekali lagi dia nyentuh hak milik gue ...." Marsha tersenyum sinis. "Dia habis ditangan gue," lanjutnya.

•••

Biarkan aku merasakan sakit ini sendiri

Dan izinkan aku menuntaskan kebencian ini

- Yuna Resya Tirka

•••