webnovel

01 The Beginning Of Story (first meet)

"Kak El, sudah siap?"

"Aku malu Ra," cicit Eli. Ia disuruh ganti baju. Belum lama Eli jadi kelinci percobaan Ara yang berlagak jadi MUA. Memang sih wajah Eli cocok kalau ingin artis, setidaknya gak terlalu buruklah.

Tapi tetap aja aneh. Yang lihat penampilan Eli nantinya seluruh orang!

Beda ceritanya kalau hanya sendirian. Tidak ada yang melihat penampilan Eli, cukup hanya ia dan Ara. Eli tidak masalah jadi kelinci percobaan Ara. Asalkan Ara senang. Itu membuat Eli berguna untuk Ara, adiknya.

Saat itu Eli pusing. Pusing terhadap yang terjadi padanya.

Penampilan Eli buat mata Ara sontak berbinar. Satu kata pas untuk mendeskripsikan penampilan Elisabeth, cantik.

Tak pernah sekalipun Ara panggil Eli dengan sebutan nama. Masih terus pakai kakak.

Ara mencibik kesal. Penampilan oke kok malah malu?

Sebab belum terbiasa nih. Kalau sudah gak bakal buruk kok. Bersikap normal seolah tak terjadi apapun. Wajar.

"Cantik kok Kak." Ara tak berhenti perhatian Eli dari atas sampai bawah. Buat Eli salah tingkah dibuatnya. Kemudian Ara beralih tatap sang kakak. "Percaya kan sama aku?"

Soal percaya, tentu!

Eli tak pernah meragukan kemampuan Ara.

"Iya cantik." Eli nunduk. "Tapi akunya yang gak percaya diri pakai baju pendek begini. Atas bawah terbuka Ra."

Ara gemas, cara ngomong kakaknya mirip anak kecil merengek.

"Ih, bukan Kakak doang kok, aku juga pakai baju model begitu. Bukan hanya kita lho, Eve juga pakai. Orangnya paling anti pakai pakailah minim begini. Demi kekompakan tetap lanjut Kak. Kita saling menguatkan tekad ya. Gak apa-apa kok. Malam promnight kita harus berkesan."

Eli senyum getir. Kalau dandan begitu rasanya kayak tebar pesona. Ganti senyum yang semula getir menjadi tak nyaman. Eli kemudian tanggapi ucapan ara. "Iya Ra, cuman, penampilan ini kayak kita ngegoda teman-teman sekolah."

Ara menggeleng tegas. Tak setuju ke ucapan Eli. Tangan ia kibaskan dekat sang kakak, seolah mengusir lalat. Harapannya yang terusir sih pikiran Eli. Bukan orangnya.

"Hanya orang berpikiran sempit dan iri dengki yang berpikir begitu. Para nitizen julid," balas Ara cuek. Justru, ia rapikan baju kakaknya yang sedikit tak rapi. Misi selanjutnya jemput Eve.

"Let's go. Biar aku bungkam mulut orang kerjaan yang julid nanti. Mau hujat, ya sudah aku hujat balik," seloroh Ara cuek.

Apa, mau main-main dengannya, gak bakal bisa.

Lagi-lagi Eli tersenyum canggung. Semakin besar, pribadi Ara tambah keras. Sekeras batu. Terbuka terhadap penilaian orang lain terhadapnya yang bertujuan memotivasi ataupun memperbaiki pribadi. Beda jauh dengan nitizen julid. Model yang begitu bakal Ara brantas habis.

Prinsip hidup Ara tak terlalu memperhatikan pendapat orang. Like a sentence, 'they keep talking, I'm keep walking.' Hidup yang sangat ringan.

Berbanding terbalik dengan Eli, yang apa-apa selalu memperhatikan pendapat orang sekitar terhadapnya. Sistem pemikiran yang berbanding terbalik.

Regas sudah lulus SMA dan sekarang fokus ke masa pendidikan awal kuliah. Eli tak mengalami krisis kepercayaan diri. Otak dan pikiran Eli disetel untuk bebas berpikir. Sangat jarang Eli galau.

Di kondisi sesulit apapun, ia tak berpikir buruk terhadap hal yang menimpanya. Eli serba maklum terhadap yang ia pikirkan.

Seluruh perlakukan buruk Regas, Eli anggap angin lalu. Ia sudah terbiasa. Terbiasa dengan sikap kasar dan kejam Regas padamnya. Of course, Eli sudah mulai beradaptasi.

Eli melakukan pertahanan untuk dirinya.

"Hey, sudah lama menunggu."

Ara biasa saja menemukan Max jemput Eve. Its oke, this is frendship. Sejauh itu tak pernah ada kecemburuan sosial antara mereka. Semua berjalan baik.

Yang ada, malah Eli bingung terhadap sikap Ara. Penampakan luar Ara selalu menunjukkan ia hanya ingin berteman. Dibalik sikap sang adik, Eli tahu ada ketertarikan ke Max. Ara hanya tak ingin rusak hubungan yang sudah berjalan lama.

Aneh dulunya berteman setelah itu main berpacaran segala.

Bisa ya, hidup Ara berjalan sebegitu simpelnya. Eli kagum ke sikap dewasa sang adik.

"Belum, maksudku belum jamuran. Perempuan kalau sudah dandan suka ribet."

Max menghampiri Ara, best friendnya dari zaman bayi sampai sudah sebesar itu. Keempatnya berencana kuliah di tempat dan jurusan sama. Hanya Regas yang pilih kuliah di kampus berbeda. Ara, Eli, Eve dan max pribadi tak ingin kuliah ke tempat Regas, menyusul orang tersebut.

Bukan berdasar kesepakatan bersama, hanya kebetulan target tempat kuliah mereka sama. Agaknya prinsip sehati, sejiwa dan satu perjuangan ikut terus sepanjang keputusan yang masing-masing mereka ambil.

Perihal Regas, memang begitu modelannya. Tak ingin bergabung bersama rombongan angkatan yang lebih muda. Sejak awal pun memang bersikap begitu.

Azka berencana kuliah di kampus pilihan Regas.

"Kamu minum apaan?"

Eli tatap aneh gelas minuman Max. Jangan bilang alkohol, habis baunya menyengat. Atensi Ara beralih ke gelas Max. sedari tadi gak sadar apa yang orang itu minum. Terlalu fokus perhatian penampilan Eve yang luar biasa cantik.

Waktu pesta perusahaan pun, Ara sudah terpesona dengan penampilan Eve. Aura yang ia pancarkan sangat kuat. Jangankan yang lelaki, Ara yang perempuan pun sulit tepis aura mempesona Eve.

Heran, kok gak ada yang lelaki kelas atau luar kelas yang menunjukkan ketertarikannya ke Eve. Mungkin oleh pengaruh orang itu cuek kali ya?

Seperti Ara sendiri, awal-awal ada yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan mendekati dirinya. Akibat tak dapat respon positif, akhirnya orang-orang itu mundur teratur dengan sendirinya.

Ara bersyukur. Ia kan risih di dekati terus.

Max menyeringai, si kembar non identik Ara dan Eli belum tahu soal selera minumannya. Kalau Eve sih sudah tahu. Pertama kali tahu pun juga bereaksi sama seperti kedua perempuan itu.

"Beer. Sudah lama aku minum ini. Mom and Dad pun setuju. Asalkan gak terlalu sering."

"Hey, kau bisa kecanduan."

Tepat seperti dugaan Max, si cerewet Eli pasti cepat bereaksi.

Sedikit apapun itu, kalau berdampak buruk pada kesehatan atau yang lainnya, Eli gak bisa tutup tuh mulut.

Max senyum tipis, dalam hati ia sangat berterima kasih atas perhatian Eli. Tak terpikir tersinggung. Max letakkan minumannya ke meja yang berada tak jauh.

Sikap yang ia pikir untuk menghargai perhatian Eli.

"Gak kok. soal kesehatan, aku punya dokter pribadi. Terima kasih atas perhatiannya."

"Aku setuju." Semua orang beralih ke Eve. Gaun diatas lutut warna pastel menambah kesan cantik orang itu. Rambut di gerai, masing-maisng sisinya disisipkan jepit rambut.

So cute.

Eve pasang wajah serius.

"Ku harap kamu gak merokok Max. Cukup satu kebiasaanmu yang buruk," ujar Ara tegas.

Seburuk itukah?

Bibir Max manyun. Begini nih berada di tengah-tengah tiga perempuan yang perhatian. Satu kebiasaan buruk saja bakal kena ceramah gak selesai-selesai.

The and masih sangat jauh. Jangan berharap terlalu banyak soal begituan.

Respon Maxime?

*****