Eric mendarat dengan mulus dengan lutut kiri ke tanah dan lutut kanan di tekuk. Mata Eric tajam menyorot ke tiga temannya Bima yang mulai kembali bangkit berdiri.
Pergerakan Bima kini lebih lamban dari teman-temannya. Mungkin Bima sudah merasakan kekuatan Eric yang sebenarnya setelah bahunya dicengkeram oleh Eric tadi. Bahkan, nyerinya saja hingga kini masih dirasakan oleh Bima.
"Kalau kalian benar-benar lelaki, hadapi aku satu per satu, Sialan! Jangan beraninya main keroyokan seperti banci!" sungut Eric, lebih berani dari biasanya.
"Kalau kalian benar-benar lelaki, hadapi aku satu per satu, Bima! Jangan beraninya main keroyokan seperti banci!" sungut Eric, lebih berani dari biasanya.
Eric terlihat seperti menjelma menjadi sosok lain ketika berada di luar lingkungan sekolahan seperti saat ini.
Eric sedikit menguasai keterampilan bertarung. Sebenarnya, saudaranya yang bernama Rafael itulah yang mengajari Eric selama ini.
Eric mempelajari ini karena paksaan dari Rafael dan mungkin akan sangat berguna jika suatu saat Eric harus dituntut untuk menjaga ayah mereka.
Jadi, setidaknya Eric akan dapat melindungi ayahnya jika mereka menghadapi bahaya suatu saat nanti. Tapi, Eric pun tidak dapat mengeluarkan seluruh kemampuannya karena tubuhnya memiliki batas lebih rendah dari orang lain. Tubuh Eric lebih lemah sejak kecil, dibandingkan dengan Rafael.
Tapi, jika hanya menghadapi beberapa remaja angkuh seperti Bima dan gengnya seperti saat ini, Eric yakin akan mampu.
"Ayolah, Bima! Kita mainnya satu lawan satu!" pinta Eric kembali.
Salah satu dari mereka tersenyum meremehkan. Dia meremehkan sikap Eric yang terkesan angkuh itu.
"Hmm, boleh juga saranmu, Bocah. Satu lawan satu, ya? Boleh juga," ucapnya. Remaja laki-laki itu sepertinya bukan berasal dari sekolahnya Eric, karena Eric tidak pernah melihat remaja berwajah boros itu sebelumnya.
Remaja yang terlihat lebih tua dari Bima itu, mengisyaratkan pada Bima dan rekannya yang lain untuk mundur dahulu, dan semuanya menuruti.
"Baiklah, Kak Vino!" ucap Bima, menuruti.
Jadi, remaja yang paling tua itu bernama Vino? batin Eric. Eric terlihat menyeringai setelah itu.
Remaja yang bernama Vino itu, mulai melayangkan tinjunya ke wajah Eric.
Eric memundurkan tubuhnya untuk menghindar. Vino begitu kesal. Vino kembali melayangkan tinjunya beberapa kali, tapi hanya udara kosong yang ia tinju.
Eric berulang kali selalu saja menghindar.
"Hey, Bocah! Kenapa kau terus menghindar, hah?! Apakah kau berniat kabur dan menangis di pangkuan ibumu, hah?!" kesal Vino, karena serangannya dari tadi tidak mengenai wajah Eric.