Setelah berbelanja di supermarket, ternyata Magdalyn ingin melihat-lihat toko kosmetik dan asesoris perempuan, dan kebetulan pula Gyarendra harus menerima telepon penting yang datang ke ponselnya. Di sinilah Giavana agak tenang karena dia bisa lebih bebas berinteraksi dengan kakaknya tanpa terganggu pandangan Gyarendra.
"Ini bagus, nggak Va?" tanya Magdalyn sambil mengambil salah satu anting-anting dari beberapa yang dia pilih di salah satu konter di sana.
Giavana memandang anting-anting sepanjang 3 cm dengan ujung berbentuk kupu-kupu warna ungu dari kristal Swarovski yang terlihat manis dan girlish. Ia tentu paham dengan selera kakaknya yang sangat menyukai barang-barang berbau girly. Tak heran Magdalyn memilih anting berbentuk demikian.
Ini agak berbeda dengan dia yang tidak terlalu tergila-gila dengan hal-hal berbau girly. Dia cenderung lebih berpenampilan menggunakan aura girl crush fashion. Antara tomboy dan trendy chic.
Magdalyn dan Giavana seperti dua kutub magnet, meski berbeda jauh namun selalu kompak dan menyatu. Si sulung sangat feminim sedangkan si bungsu lebih trendy. Si sulung kalem dan lembut, sedangkan si bungsu ceria dan suka bergerak.
Meski saling berbeda, keduanya saling dukung akan pilihan masing-masing. Seperti saat ini ketika Magdalyn memilih anting-anting kupu-kupu, Giavana menjawab, "Bagus, kok untuk Kakak. Ini tuh Kakak banget, ya kan?"
Sembari tersenyum, Magdalyn mengangguk, lalu meminta ijin ke penjaga konter itu untuk mencoba anting-anting tersebut agar lebih memastikan lagi apakah pilihannya benar-benar tepat atau tidak ketika dikenakan.
"Nah, kan bagus. Aku bilang juga apa." Giavana ikut menatap ke cermin rias di atas konter kaca saat sang kakak sedang mematut penampilan anting-anting di telinganya. "Kakak cantik banget pakai ini."
"Iya kah?" Magdalyn masih menatap bayangan dirinya di cermin. "Kira-kira Vigo suka tidak, yah?"
Ingin sekali Giavana menjerit sambil mengetuk kepala sang kakak jika tak ingat kakaknya punya tubuh rapuh. Maka, untuk mengekspresikan apa yang di benaknya, dia pun memutar bola mata sambil berkata, "Duh, Kak … bisa enggak sih kalau Kakak itu nggak perlu segalanya tergantung dengan tunangan tercinta Kakak itu? Masa sih soal penampilan saja harus persetujuan dan kesukaan dia?"
Magdalyn menoleh ke adiknya untuk menyahut, "Yah, habisnya … aku ini kan pasangan dia, yang akan sering dia lihat nantinya ketika kami sudah menikah, tentu saja Kakak ingin tampil terbaik untuknya."
Ya ampun, ingin betul Giavana berlari ke mantan sialannya itu untuk memaki-maki lelaki tersebut. Lihat, kakaknya sampai sebegitu dalam mencintai dan menghargai Gyarendra, tapi lelaki itu begitu busuk dan manipulatif!
"Ya sudah, deh! Terserah Kakak saja." Giavana tidak ingin banyak berdebat mengenai itu. Rasanya percuma saja menasehati orang yang sedang jatuh cinta.
Ini seperti dirinya dulu ketika awal jatuh cinta pada Gyarendra, tahi kucing rasa cokelat. Lalu, ketika patah hati, cokelat pun berasa tahi kucing.
Yah, Giavana berharap agar kakaknya tidak perlu mengalami sakit dan patah hati ketika sudah menjadi pasangan Gyarendra. Siapa tahu lelaki itu sekarang tidak sebrengsek ketika dulu dengan dia. Manusia itu konon adalah makhluk yang sering berubah-ubah sesuai perkembangan jaman dan keinginan.
Jadi, saat ini Giavana benar-benar berharap Gyarendra sudah berubah menjadi sosok yang sungguh lebih baik dari sebelumnya ketika dia mengenal dulu. Ia ingin kakaknya bahagia.
"Va."
"Ya, Kak?"
"Kamu juga pilih anting untuk kamu, gih!"
"Lho? Kok aku ikut milih?"
"Iya, jangan cuma Kakak yang beli, dong. Kakak traktir, deh!"
"Bukan masalah itu, Kak. Tapi ini—"
"Anggap saja hadiah kepulangan kamu dari Kakak, oke?"
Giavana luluh dan akhirnya sibuk memilih-milih anting yang sesuai dengan gaya serta seleranya. Hingga dia tiba pada satu pilihan. "Mbak, tolong yang ini, dong." Ia meminta tolong penjaga konter mengambilkan sepasang anting kait yang bisa menempel hingga bagian atas telinga dari kristal Swarovski juga, namun ini berwarna putih bagaikan berlian asli.
Magdalyn tersenyum, itu benar-benar gaya adiknya. Si bungsu tidak terlalu menyukai anting-anting yang melambai panjang ke bawah. Bahkan tindik telinga adiknya ada lebih dari 1 di masing-masng telinga. Ia tidak masalah mengenai itu, selama sang adik nyaman, maka itu baik-baik saja.
"Wah, kalian sedang belanja anting, yah?" Tiba-tiba Gyarendra sudah di belakang kedua gadis yang sedang berdiri di depan konter.
Keduanya menoleh bersamaan, satunya tersenyum senang, satunya lagi bersikap waspada.
"Iya, Vig. Aku dan Vava sedang coba-coba anting, kalau cocok sih langsung bungkus. Ini bagus, tidak?" tanya Magdalyn sambil memamerkan anting kupu-kupu kristal di telinganya.
Mata Gyarendra menatap lekat ke telinga tunangannya dan kemudian mengangguk disertai senyuman simpatik. "Cocok sekali untuk kamu yang cantik dan manis melebihi gula. Mau yang ini?"
Mengangguk, Magdalyn berkata, "Tapi aku ingin beli sendiri kali ini. Boleh?" Dari kalimatnya, ketahuan kalau selama berpacaran sepertinya Gyarendra sangat royal terhadap Magdalyn. Hanya untuk bisa beli sendiri saja sampai harus meminta ijin. Giavana terheran-heran di hatinya.
"Oke, tapi kali ini saja, yah! Kamu itu calon istri aku, makanya aku yang berkewajiban memenuhi semua kebutuhan kamu dari atas sampai bawah." Betapa manisnya ucapan Gyarendra hingga mbak penjaga konter saja sampai merona merah mendengar itu. Pasti saat ini si mbak konter mendamba pasangan seperti Gyarendra.
Namun, itu tidak berefek demikian pada Giavana. Dia sudah tahu seluk-beluk busuknya Gyarendra, oleh karena itu dia menahan mual saja mendengar gombalan basi si lelaki.
"He he, makasih, Go." Magdalyn mengucapkannya sambil tersipu senang. "Oh ya, aku juga ingin belikan satu untuk Vava sebagai hadiah kepulangan dia. Va, coba tunjukkan ke Vigo anting pilihanmu." Ia menoleh ke adiknya.
Padahal Giavana berharap dia tidak terlihat agar tidak perlu dilibatkan dalam percakapan dua orang itu, tapi si kakak sepertinya tak ingin adiknya tertinggal. Mau tak mau Giavana pun menyibak sedikit rambutnya untuk menunjukkan anting baru dia dari kakaknya.
"Wah, cantik juga adikmu pakai yang model tempel seperti itu, sayank." Mata Gyarendra dengan bebas menatap wajah Giavana tanpa perduli gadis itu memalingkan pandangan ke lantai seakan lantai lebih menarik ketimbang wajah Gyarendra. "Kalau begitu, aku juga ingin belikan hadiah untuk kepulangan adikmu, boleh sayank?" Ia menoleh kembali ke Magdalyn.
"Tentu boleh. Aku malah senang kalau kamu juga sayang ke adikku," ucap Magdalyn dengan polosnya.
Duh, Kak, mulutmu! Demikian jeritan batin Giavana mendengar celoteh sang kakak barusan. Ia sampai menelan saliva saking kagetnya dengan apa yang dikatakan Magdalyn.
Gyarendra tersenyum hingga memperlihatkan deretan gigi atasnya yang putih rapi. "Nah, biarkan aku memilih dulu untuk Vava, yah!"
"E-Enggak perlu!" Giavana lekas bicara sebelum semuanya terjadi.
"Kenapa?" Gyarendra dan Magdalyn bersama-sama mengucapkan secara kompak sambil menoleh ke Giavana.
"Itu … aku … aku kan cuma calon adik ipar, makanya nggak perlu serepot itu sampai beli hadiah segala, deh!" Giavana berjuang mencari kalimat yang pantas dan tidak menimbulkan kecurigaan kakaknya.
"Oleh karena kamu juga bagian dari Lyn makanya aku juga harus memerhatikanmu," tukas Gyarendra. "Aku tak ingin dikatakan hanya sayang istriku saja, tapi aku juga ingin sayang ke semua keluarga pasanganku, ya mama … ya kamu juga, Va."
Giavana menelan saliva lagi. Semoga ini bukan sinyal tanda bahaya.