webnovel

Bab 17. Kematian Frederick.

Senyum Evan seketika mengembang saat melihat tubuh Frederrick terjatuh ke atas tanah, cairan merah segar terlihat bercucuran di atas tanah membentuk genangan kecil yang berbau amis. Namun ayah kandung Julian itu masih belum mati, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki, lelaki yang masih tampak sangat berkharisma di usianya sudah melebihi 50 tahunan itu mencoba duduk dan menyandarkan punggungnya pada pembatas jalan yang terbuat dari beton.

Ayah kandung pimpinan klan Zeus itu menatap Evan dengan sorot mata yang sayu, tangannya terus saja memegangi perutnya yang tertembus timah panas yang berasal dari pistol Evan. Lelaki berkulit putih itu, berusaha menghambat menghambat pendarahan di perutnya agar tidak bertambah parah.

Namun sayanganya, darah Frederick terus mengalir membasahi bajunya. Air mata Frederick seketika menetes dan tidak bisa ia bendung lagi, yang ia pikirkan saat ini bukanlah ajal yang kian mendekat kepadanya melainkan nasib sang putri bungsunya–Iris.

Evan berjalan mendekati frederick, pria bertubuh atletis itu berjongkok di hadapan ayah kandung Julian.

"Apakah ada satu pesan terakhir yang ingin kau sampaikan? Kalau ada, cepat katakan kepadaku, agar kau bisa mati dengan tenang dan tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun. Apakah ada yang ingin kau ucapkan sebagai kata-kata perpisahan? Aku akan dengan senang hati menyampaikan pesan terakhirmu kepada Julian–putra kesayanganmu," tanya Evan.

"K–kau boleh membunuhku, ta–pi janga–n anak-anakku, terutama putriku, Iris. A–ku mohon kepadamu, jangan menyentuh ataupun melukai putriku. Aku hanya meminta itu sebagai permintaan terakhirku, putriku tidak berdosa, dia tidak ada hubungannya dengan dendammu. Jadi tolong, ja–ngan kau lukai putriku," pinta Frederick dengan suara terbata karena harus menahan rasa sakit.

Peter yang sedari tadi berada di dalam mobil, kini ia terlihat berjalan menghampiri Evan dan saat ini ia berdiri terpaku tepat di samping Evan. Dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan sang pimpinan menuntaskan dendam dan sumpahnya untuk menghabisi klan Zeus yang sudah menjadi musuh abadi pemimpinnya itu.

"Bagaimana kalau aku tidak mau? Putramu Julian telah membunuh calon istriku dengan sangat sadis, apa kau tahu? Calon istriku saat itu sedang mengandung anakku!! Bagaimana kau bisa memintaku untuk tidak membunuh anak-anakmu setelah anakmu melakukan perbuatan yang begitu keji terhadap seorang wanita yang sedang mengandung," bentak Evan yang menolak mentah-mentah permintaan Frederick untuk mengampuni Julian serta adiknya.

"A–pakah nyawaku masih belum cukup untuk me–nebus dosa Julian? Aku mo–hon ampunilah kedua anakku, jangan bunuh mereka," pinta Frederick lemah.

"TENTU SAJA TIDAK CUKUP!!! Meskipun aku menghabisi semua klan Zeus sampai habis, nyawa Rhea tidak akan pernah bisa kembali!! Dan aku tetap akan melaksanakan sumpahku untuk menghabisi semua orang yang berhubungan dengan Julian dan semua orang ikut terlibat dalam pembunuhan Rhea," bentak Evan yang seperti orang kesetanan.

"Cepat habisi dia, Evan. Dia sudah sangat menderita dan kesakitan, meskipun ia adalah ayah Julian. Tapi dia tidak terlibat langsung dalam pembunuhan Rhea," ucap Peter yang merasa sangat iba dengan kondisi Frederick yang sedang tersiksa

Evan menatap Peter, sahabatnya sekaligus anak buahnya itu tidak seperti Evan yang berhati dingin. Peter masih mempunyai rasa welas asih meski itu adalah musuhnya, Evan menghela napas panjang, ia lantas berdiri seraya menodongkan pistolnya ke arah Frederick yang kini sedang terbatuk dan mulai muntah darah.

Saat jari Evan hendak menarik pelatuk pistolnya, tiba-tiba dari arah berlawanan datang segerombolan kartel narkoba yang entah dari klan mana. Gerombolan kartel narkoba itu terus-menerus menembaki Peter dan Evan secara membabi buta dan membuat pimpinan klan Cosa Nostra dan Peter menundukkan tubuh mereka agar tidak terkena peluru nyasar.

"Evan!! Kita harus cepat pergi dari sini," ajak Peter sembari melindungi diri.

"Tidak!! Aku harus membunuh Frederick sekarang juga dan dengan tanganku sendiri," tolak Evan mentah-mentah, ia tidak mau pergi dan malah membalas gerombolan kartel narkoba yang menyerangnya secara tiba-tiba dengan tembakan peluru.

"Kita bisa mati konyol kalau tetap berada di sini terus, tinggalkan saja ayah Julian di sini!! Kita harus cepat pergi," timpal Peter seraya menarik lengan Evan untuk berjalan menjauh dan bergerak menuju ke mobil yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari posisi mereka saat ini.

Evan dan Peter masih membalas tembakan dari gerombolan kartel narkoba yang sedang berjalan mendekat ke arah Frederick yang tengah sekarat. Evan Dan Peter melihat dari kejauhan seorang pria yang memakai setelan jas berwarna hitam yang berdiri di hadapan Frederick, pria itu mirip dengan Matteo, seorang pimpinan kartel narkoba terbesar di Italia.

Pria yang terlihat mirip Matteo itu kemudian menodongkan pistol ke arah Frederick, dan beberapa saat kemudian ia melepaskan tembakan yang langsung membuat Frederick tewas seketika.

Evan marah besar dan merasa tidak terima, seharusnya ia yang membunuh Frederick dengan tangannya sendiri. Tapi malah orang lain yang membunuh ayah Julian dan menyebabkan misinya ini gagal, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa karena Peter terus saja menghalangi langkahnya.

Demi melindungi sang pemimpin, Peter harus berjuang sekuat tenaga menarik Evan untuk pergi menjauh dari pada harus ikut menjadi korban kekejaman kartel narkoba yang terkenal sangat sadis dalam membunuh mangsanya.

"Kau benar-benar sudah gila, Peter!! Kenapa kamu harus menarikku pergi? Aku bisa saja menghabisi semua nyawa kartel narkoba tadi dan juga Ayah Julian sekaligus kalau kau tidak menarikku masuk ke dalam mobil," hardik Evan kepada Peter dengan kasar.

"Kamu tidak bisa, Evan!! Kau sudah dibutakan dengan dendam, mungkin kau bisa melakukan semua hal!! Tapi ada kalanya kamu harus menyerah," timpal Peter yang kemudian langsung tancap gas meninggalkan tempat jalanan sepi yang ternyata adalah wilayah kekuasaan pimpinan kartel narkoba yang terkenal sangat kejam dan bengis.

Peter sesekali menatap wajah Evan, pria yang kini duduk tepat di bangku samping itu terlihat masih sangat marah dan emosi. Kalau sudah begitu, yang harus Peter lakukan hanyalah diam, karena ia tidak mau menambah rasa kekesalan di hati Evan.

Peter semakin menambah kecepatan, netranya bergerak mengawasi spion untuk memastikan mobilnya tidak ada yang mengikuti dari belakang.

****

Hari telah berganti malam, suasana di mansion Evan terlihat gelap dan sangat suram. Udara di malam hari terasa sangat dingin menusuk ke dalam tulang, hembusan angin dingin itu bergerak masuk dan membuat kain gorden bergerak terbang saat diterpa hembusan angin.

Evan sengaja tidak menutup jendela kamarnya dan membuat lampu di kamarnya menjadi remang, karena ia ingin merasakan keheningan malam yang sudah menyiksanya setelah kepergian Rhea. Tanpa adanya sosok Rhea, suasana mansion Evan terasa sangat dingin dan tidak ada lagi kehangatan di dalamnya.

Waktu menunjukkan tepat pukul 00.00 tengah malam, namun kelopak mata Evan tak juga mau terpejam. Evan terlihat duduk di atas sofa sambil menikmati minuman wine The Brunello yang terbuat dari 100% anggur Sangioverse dan berusia lebih dari 4 tahun.

Evan terus saja menuang anggur ke dalan gelasnya begitu kosong, ia sudah menghabiskan hampir 2 botol hanya dalam waktu yang singkat. Suasana hati Evan saat ini begitu kacau, ia merasa sangat tidak berguna saat ini dan terus saja meratapi ketidakmampuannya dalam menuntaskan dendamnya.

Evan kembali menuang anggur ke dalam gelasnya sampai tetes terakhir, ia kemudian meneguknya sekaligus hingga membuatnya jatuh tertidur di atas sofa. Diam-diam Peter menyelinap masuk ke dalam kamar Evan, ia mencoba untuk memastikan keadaan sang pemimpin yang sedang labil.

Peter lantas menyalakan lampu kamar Evan, ia berjalan ke arah jendela dan menutup semua jendela serta menutup gorden agar angin dingin tidak lagi bisa masuk ke dalam kamar Evan. ia juga membetulkan posisi tidur Evan di sofa lalu Peter mengambil selimut dan menutupi tubuh Evan agar tidak kedinginan.

Itu adalah bentuk rasa kasih sayang Peter terhadap sang sahabat yang dibesarkan bersama-sama sejak mereka masih kecil. Setelah selesai, Peter kemudian berjongkok di hadapan Evan sambil memandangi wajah sang sahabat sekaligus pimpinannya itu dengan ekspresi wajah yang sendu.

"Maafkan aku, Evan. Aku sungguh-sungguh menyesal atas kejadian hari ini, aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya tidak ingin komplotan kartel narkoba tadi melukaimu, karena hanya kau dan juga Alice yang aku punya sekarang. Aku sungguh tidak ingin kehilangan kalian berdua, dan aku berjanji akan selalu melindungi kalian berdua meski harus mengorbankan nyawaku sendiri," lirih Peter.

"Selamat malam, Evan. Semoga kau memimpikan Rhea malam ini," ucap Peter kemudian ia berjalan menuju ke pintu dan mematikan lampu kamar Evan lalu ia keluar dan menutup pintu kamar Evan

Sesaat setelah Peter pergi, kelopak mata Evan terbuka. Ternyata pria itu masih sepenuhnya sadar dan hanya berpura-pura tidur saja untuk mengelabui Peter, karena Evan tahu betul, kalau Peter tidak akan tidur sebelum memastikan keadaannya.

Evan hanya menghela napas panjang, ia sangat menyesal karena telah membentak Peter tadi sore karena ia terlalu dibutakan oleh nafsu balas dendam. Pria berhidung mancung itu kemudian menutup matanya dan ia kali ini benar-benar jatuh tertidur.

Keesokan harinya ....

Berita tentang penemuan mayat Frederick tersiar hampir di setiap chanel berita dan membuat gempar warga kota Roma, Italia. Tak terkecuali Julian, musuh bebuyutan Evan itu terlihat sangat terpukul karena kematian sang papa.

Kemarahan, dendam, telah bercampur menjadi satu dalam diri Julian saat melihat jasad sang papa yang sudah terbujur kaku di hadapannya dengan wajah yang terlihat pucat karena kehabisan darah. Tubuh Julian jatuh berlutut di hadapan jasad sang papa yang diletakkan di dalam peti mati.

"EVAAN!! Aku tidak akan pernah mengampunimu!! Aku akan membalas dendam atas kematian papaku, aku akan membuat kau dan Peter, membayar semua ini. Tunggu saja pembalasanku!! Aku tidak akan pernah melepaskan kalian berdua!!

To be continued.