webnovel

Main Hujan

#Humaira

Part 1

"Hum. Hujan turun, Hum." Bude Rahmah berteriak dari luar, sementara aku dirundung dilema. Bagaimana tidak, wajahku baru saja kupakai kan masker dan ... baru lima menit. Ya Allah, Bude, aku harus bagaimana?

Namun, aku tak tega membiarkan Bude Rahmah tertatih sendirian di luar sana mengangkat jemuran. Akhirnya kusambar kerudung langsung pakai dengan aksen pita di dagu yang manis berwarna biru kemudian berlari keluar.

"Hua!" teriak Bude Rahmah membuatku kaget dan ikut menjerit.

"Ya Allah. Bude, kenapa teriak-teriak sih?" Aku menepuk pundak Bude Rahmah dengan refleks.

"Ya Rabbi. Humaira. Tak kira siapa, wajah putih tinggal mata seperti itu."

Ya Salam, aku lupa menghapus bekas masker ha. ha.

Pantas saja Bude kaget.

"Iya, Bude. Maaf Humaira lagi maskeran eh, Bude teriak-teriak hujan. Ya sudah langsung cap cus." Aku terkekeh sambil mengangkat beberapa baju.

Namun, setelah semua selesai diangkat rasanya kok sayang melewatkan hujan yang turun deras seperti ini. Segera saja kutarik tangan Bude dan menyeretnya ke tengah-tengah halaman belakang, kami bersama menikmati hujan yang indah.

Sudah lama rasanya tidak merasakan kebahagiaan sederhana seperti ini. Ternyata orang dewasa begitu kompleks masalahnya sampai berpikir mau hujan-hujanan saja lama banget macam Bude Rahmah.

"Duh, Nduk. Kan jadi basah."

"Bude mah basah baju saja. Lihat wajahku, maskernya sampai luntur tak karuan." Aku mengusapkan tangan ke pipi dan segera bekas masker yang mencair tergambar di sana.

Lalu kami tertawa cekikikan bersama. Kami juga sudah lupa bahwa di masa lalu kami pernah terluka.

***

"Humaira, besok kamu jadi ke kampung, Nduk?"

Aku melihat wajah Bude Rahmah selalu muram jika tiba hari peringatan kematian Mas Akbar, mantan suamiku. Sudah jadi niatku beberapa tahun ini untuk berziarah ke makamnya setiap hari kematiannya terulang. Haul namanya.

"Iya, Bude insyaallah."

"Nduk, apa tak lebih baik kamu sudahi saja semua itu. Kau bahkan sering bershodakoh untuknya. Akbar pasti sangat bahagia di alam sana."

Aku tersenyum. Sebuah sindiran yang halus.

"Aku sudah melakukan ini sejak lima tahun lalu, Bude. Rasanya sayang saja melepaskan momen itu. Apalagi Ning Aliya selalu mengadakan pengajian dengan mengundang penceramah di sana. Itu yang sangat kurindukan." Bude Rahmah menatakan bajuku dengan cemberut.

"Kudoakan kamu cepat dapat jodoh pengganti. Biar ada yang melarangmu pergi ke sana." Bude berkata dengan sewot.

Aku hanya menyunggingkan senyum di bibir.

"Amin."

Loh.

Siapa sih yang ingin hidup sendiri di kehidupannya. Akupun sebenarnya rindu akan belaian lelaki, menggenggam tangannya di kala usia kami sudah sama-sama senja tapi, cinta itu tak semudah membalik lembaran buku.

Rumit.

Semoga saja aku masih ditakdirkan oleh Allah berjodoh dengan jodohku yang lain.

"Hai. Malah ngelamun. Besok jangan lupa rumahnya disapu yang bersih ya."

Aku mengangguk. Sudah lama sekali rasanya rumah peninggalan orang tuaku kutinggalkan begitu saja. Semua demi menyembuhkan luka.

Alhamdulillah, sekarang setiap ke sana, aku tak lagi memasang wajah sendu. Karena semua orang di sana sudah selesai menjulukiku sebagai Humaira, sang wanita kedua.

Pelan, tapi akhirnya waktu jualah yang menyadarkan mereka. Waktu juga yang menyembuhkan lukaku. Semoga akan selalu seperti ini.

***

"Ros. Jadwalkan ulang rencana pertemuanku dengan Pak Danuri ya. Hari ini aku pulang ke kampung dulu. Kemarin scedulenya terlalu mendadak." Aku berbicara dengan Rosa sekretarisku empat tahun ini. Dia yang menemani perusahaan garmenku sejak awal hingga berkembang seperti ini.

Kemarin sudah ada tawaran pendampingan sampel untuk baju tidur hotel bintang lima yang berpartner. Selain itu tawaran memasukkan pasar jilbab ke hotel juga menggiurkan, tetapi rencana itu kenapa bersamaan dengan haul Mas Akbar, maka aku menundanya. Jika masih berjodoh insyaallah masih rejeki Humaira Garmen. Jika tidak, ya mungkin memang bukan jalannya.

"Iya, Bu. Sebentar saya telepon sekretaris Pak Danuri." Lalu sambungan terputus.

"Bu," sapa Rossa di ujung sambungan setelah sepuluh menit berlalu.

"Iya, bagaimana Ros?"

"Siap, Bu. Ini juga keluarga Pak Danuri lagi berduka, maka pas banget. Pertemuan di agendakan ulang empat hari lagi." Terdengar suara Rossa yang bersemangat. Akupun begitu dalam hati.

"Oke. Ros. Good job." Kupuji Rosa dengan tulus. Lalu kami akhiri percakapan dan mataku memandang sepanjang pemandangan yang tersaji di luar kereta.

Kampung, memang akhirnya menjadi tempat pulang yang terbaik. Meskipun menyisakan banyak luka.

Ning Aliya. Apa kabar? Esok hari kita akan berjumpa.

Bersambung ....

Part 2 soon ya ♥️

Eh ada yang pernah baca cerbungku Wanita Kedua? Maaf pendatang baru di sini. Semoga suka ❤️❤️❤️