webnovel

Keputusan Berat

Esoknya di kampus, Kalea mendatangi meja Zeline untuk protes karena informasi yang diberitahu gadis itu tidak rinci. Ia tentu saja merasa tertipu karena ternyata ia pun harus memuaskan hasrat dari pria yang ia temani. Meskipun Arthur memanglah tampan dan bergelimang harta, Kalea tetap ragu dan tidak mau. Ia seperti menjual dirinya sendiri dan ditukar dengan uang.

"Zeline ...," panggil Kalea, wajahnya terlihat kecewa karena mengingat Zeline menawari sebuah pekerjaan yang kotor baginya.

Gadis cantik dengan surai blonde itu mendongak menatap Kalea. Ia menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"

Kalea pun akhirnya menceritakan seluruh kejadian yang ia alami bersama Arthur di saat Zeline sudah meninggalkan mereka. Bukannya merasa bersalah, Zeline justru tertawa lepas, sampai sudut matanya berair. Gadis itu perlahan berhenti tertawa karena perutnya menjadi sedikit sakit, ia memandang Kalea dengan remeh sedangkan Kalea merengut kesal. Ia tak mengerti apa yang ditertawakan oleh Zeline, padahal di sini ia sangat dirugikan. Apalagi, tugas yang sudah dikerjakan seluruhnya hanya seorang diri.

"Kalea, Kalea, kau benar-benar polos, ya," ejek Zeline dengan senyum miring yang terpatri di wajah menawan itu.

"Apa maksudmu?" Kalea merasa tersinggung.

"Antara polos atau bodoh. Ternyata kau hanya pintar dalam akademik saja." Zeline memajukan tubuhnya. "Kau pikir di dunia ini ada pekerjaan semudah itu?" tanya Zeline membuat Kalea semakin mendidih emosinya.

"Kau menipuku," sahut Kalea. Tanpa sadar tangannya sudah mengepal kuat. Ia merasa dipermainkan di saat dirinya sungguh-sungguh sedang mencari pekerjaan.

"Aku tidak sepenuhnya menipu. Lagipula memangnya Arthur langsung membawamu ke kamar, huh? Ah, tapi sepertinya iya," ujar Zeline seraya memicingkan mata. Ia mengingat kembali perilaku Arthur yang memang sangat menggilai wanita dan menganggap wanita adalah makhluk paling indah dibanding apa pun. Wanita mana pun akan langsung jatuh ke dalam perangkapnya, dan menyerahkan tubuhnya pada pria itu. Zeline pun tidak munafik, ia seringkali terpesona dengan pria itu.

"Sama sekali belum," balas Kalea.

Alis Zeline terangkat, ia sedikit kaget. "Kau belum dijamah olehnya?" bisik Zeline.

Kalea memandang Zeline sedikit aneh. Bisa-bisanya gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak senonoh seperti itu. Ia menggeleng. "Aku belum setuju dengan kontraknya."

"Bodoh! Harusnya kau terima saja!" ujar Zeline menjadi kesal. "Arthur itu sangat menarik, royal, dan siapa pun akan jatuh hati padanya. Aku yakin kau akan puas dengannya. Baik materi maupun tubuhmu akan terpuaskan olehnya," tambah Zeline dengan senyuman nakal. Kalea hanya bergidik ngeri melihatnya, Zeline ternyata memang sesuai dengan rumor yang dikatakan. Gadis cantik ini sering bermain dengan pria-pria yang berumur jauh di atasnya.

"Ya, sudah. Terserah kau saja, tapi aku yakin jika kau melepasnya, kau akan sangat menyesal," ujar Zeline seraya bangun dari duduknya. "Bye, aku mau ke toilet."

Kalea memandang Zeline yang berjalan keluar kelas. Ia menghela napasnya berat. "Bukankah aku yang akan menyesal karena menyerahkan tubuhku pada pria tanpa ikatan pernikahan?" gumam Kalea sangat pelan.

Ia merasa Sugar Dating ini tidak benar. Tak mungkin dirinya melepas kehormatan demi uang semata. Ini sama halnya dengan perkataan ibunya tempo hari yang menyuruhnya untuk menjual tubuh pada orang lain. Namun, saat melihat Arthur, tawaran, dan kebebasan yang akan ia dapatkan di kertas kontrak tersebut membuatnya sedikit tertarik.

Kalea mengusir segala pikiran yang membuatnya pusing, masih ada dua hari waktunya untuk memutuskan apakah menyetujui kontrak yang diberikan Arthur dan memulai hubungan menguntungkan dengan pria itu.

***

Sudah dua hari setelah pertemuannya dengan Arthur. Kalea belum bisa memutuskan dengan pasti. Ia terlalu lelah dengan pekerjaan dan tugas-tugasnya. Pukul sepuluh malam, Kalea baru saja selesai bekerja di restoran keluarga itu. Sebelum menaiki bus, ia mampir terlebih dahulu ke mini market untuk membeli alkohol untuk ibunya. Ia berdiri tepat di jajaran alkohol tersebut, bimbang harus membeli berapa botol untuk Freya. Kalea merogoh dompetnya dan melihat sisa uang yang ia simpan di benda itu.

"Hanya untuk satu botol," gumam Kalea pelan. Ia menghela napasnya lalu mengambil satu botol alkohol untuk ia bayar ke kasir. Gadis itu harus mempersiapkan diri karena setelah ini sudah pasti akan kembali disiksa oleh ibunya.

"Satu botol lagi? Kau ini memang tuli, ya?! Sudah kubilang aku tidak cukup hanya satu!" bentak Freya dan melempar botol bekas ke samping Kalea. Tubuh gadis itu gemetar, karena hampir saja mengenai tubuhnya.

"M—maaf, Ibu ... aku tidak membawa uang cukup di dompet, besok kubelikan lagi, ya ...," pinta Kalea memohon seraya memegang kaki ibunya. Namun, Freya menendangnya agar Kalea melepaskan kakinya. Membuat gadis itu tersungkur ke belakang.

"Jangan menyentuhku dengan tubuh kotormu itu! Kau pikir aku akan luluh dengan sikap mengemismu itu? Sekarang juga kau belikan lagi!" titah sang ibu seraya menjambak surai hitam lurus anaknya yang dikuncir kuda. Kalea meringis kesakitan, dan terus memohon agar dilepaskan tetapi Freya semakin kuat menjambak dan menyeretnya keluar rumah. "Pergi sana!"

"T—tunggu, Ibu, biarkan aku mengambil uang dulu di kamar," pinta Kalea seraya menyatukan kedua tangannya dan terus memohon. Tatapannya begitu memelas.

Freya menghela napas gusar, terus mendorong Kalea dengan kaki. "Ya, sudah, sana!"

Kalea segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Raut wajahnya seketika berubah menganga, tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Kamar yang selalu tertata rapi, kini berantakan tak karuan. Ia sangat yakin selalu meninggalkan kamar yang menjadi tempat berlindung itu dengan rapi. Apa ibunya memasuki ranah pribadinya? Ini tidak pernah terjadi seumur hidupnya. Sejak kecil pun, di saat Freya masih menjadi ibu yang penuh kasih sayang, wanita itu tak pernah memasuki kamarnya.

Kalea berjalan gontai menuju lemari tempat ia menyimpan uangnya.

Tidak ada. Uangnya tidak ada di sana.

Gadis itu semakin panik, ia kembali memeriksa seluruh bagian di sana mencari uangnya. Namun, nihil. Tetap tidak ada. Kalea memegang dahinya, mengingat kembali di mana ia menyimpan uang itu tetapi ia sangat yakin berada di sana dan ia pun hampir tidak pernah melupakan sesuatu yang sangat penting. Kalea kembali mencarinya di tempat lain. Meja belajar, ranjang, semua yang berada di kamarnya. Netranya mulai memanas ingin menangis, ia harus menemukan uang itu. Ia sangat yakin masih memiliki tabungan untuk digunakan saat ada keperluan darurat.

"Hei, brengsek! Lama sekali kau mengambil uang!" teriak Freya dari lantai bawah.

"S—sebentar, Ibu!" sahut Kalea dengan nada yang bergetar. Kembali mencari di kamarnya yang begitu berantakan.

Sudah dua puluh menit berlalu, Kalea sama sekali tak menemukan uang itu. Tubuhnya sudah lemas karena putus asa. Terpaksa ia harus menanyakan uang itu pada ibunya. Gadis itu keluar dari kamar dengan tangan kosong, ia melangkah pelan menuruni tangga. Freya sudah menunggu di bawah sana. Wanita itu menarik lengan anaknya sangat kasar saat Kalea sudah sampai di bawah. "Kenapa lama sekali?!"

"I—ibu ... kenapa kamarku berantakan?" tanya Kalea, tatapannya terlihat linglung.

"Mana aku tahu! Kau pikir aku masuk ke kamarmu, hah?!" bentak Freya. Tak pernah sekali pun ia bernada lembut untuk anak semata wayangnya itu.

Kalea menunduk dalam, ia tidak mau menuduh ibunya tetapi siapa lagi di antara mereka yang masuk ke dalam kamarnya? Di rumah itu hanya merekalah yang tinggal di sana. Gadis itu memberanikan diri untuk bertanya, "I—ibu, apa kau mengambil uangku?"

Raut wajah Freya menjadi sangat menyeramkan dibanding sebelumnya. Matanya melotot, urat-urat wajahnya semakin terlihat. Ia menampar Kalea dengan penuh amarah. Namun, Kalea tetap diam dan menerima tamparan itu. "Sekarang kau menuduhku mengambil uangmu yang tak seberapa itu?!" hardik Freya begitu memekakan telinga.

Kalea mengigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit dan kecewa yang ia rasakan. Pipinya begitu perih akibat tamparan ibunya. "Bilang saja Bu, aku tidak apa-apa jika kau memang mengambil uangnya ...," lirih Kalea masih menunduk, menahan air matanya yang bisa kapan saja keluar.

Freya memegang dagu Kalea dengan kasar, agar gadis itu mendongak menatapnya. Freya tersenyum menghina. "Ya, aku mengambilnya. Aku butuh alkohol!"

"A—aku selalu membelikanmu alkohol, Bu ... tapi itu uang untuk keperluan kita sehari-hari," balas Kalea menatap ibunya begitu memelas.

"Tenang saja, aku ikut berjudi. Jika aku menang, uangmu akan kukembalikan," ujar Freya seraya melepaskan cengkramannya pada dagu Kalea.

Netra Kalea membulat sempurna, ia menganga. "I—ibu bermain judi?" Air mata yang sudah ia tahan kini meledak sudah. Gadis itu menangis sejadi-jadinya, tak menyangka jika benar Freya sampai mencuri dana satu-satunya yang mereka miliki. Ia bahkan tak tahu esok akan makan apa jika seperti ini. Bahkan Freya menambah penderitaannya dengan bermain judi, yang mana hal tersebut sudah pasti lebih banyak mendapatkan kerugian dibanding keuntungannya.

"Kenapa kau menangis?! Kau pikir aku akan kalah? Kau tak suka memberiku uang, huh?!" bentak Freya seraya menjambak Kalea lagi lalu mendorongnya hingga terjatuh. Gadis itu tetap menangis, hatinya lebih sakit dibanding penyiksaan yang diberikan oleh sang ibu. Freya terus menyiksanya. Menampar, menendang dan menginjaknya. Sampai di mana, Freya sudah lelah dan puas. Napas wanita itu terengah-engah, ia tersenyum mengejek. "Aku tidak mau tahu, kau cari lagi uang yang banyak untuk kehidupanku," ujarnya tega dan hanya memikirkan diri sendiri.

Setelahnya, Freya meninggalkan Kalea sendirian dengan kondisi memprihatinkan. Rambut yang selalu terkuncir itu kini berantakan, wajah dan tubuhnya penuh luka lebam. Air mata gadis itu sudah mengering, tatapannya begitu kosong. Perlahan ia berusaha bangun berniat kembali ke kamar. Dengan langkah terseok-seok seraya menahan sakit yang ada di sekujur tubuhnya, ia menaiki tangga menuju kamar.

Di kamar, Kalea mencari secarik kertas yang ia simpan di tempat yang aman. Gadis itu memandang kertas yang berisi kontrak perjanjiannya dengan pria berusia 32 tahun itu siapa lagi jika bukan Arthur Jefferson. Kalea menarik napas, ia sudah tidak memiliki jalan lagi untuk mendapatkan uang dengan waktu yang singkat.

Hanya Arthur satu-satunya jalan.

Kalea meraih ponselnya dan mengetik nomor Arthur untuk menghubungi pria itu. Ia akan menyetujui kontraknya dengan Arthur.