webnovel

How Can I Forget You?

Bella Ellista, seorang wanita cantik dan cacat, berusia 26 tahun. Di waktu remajanya, Bella merupakan salah satu atlet figure skating Klub Jerman yang cemerlang. Beberapa kompetisi pun berhasil dia raih. Kehancuran hidup gadis itu baru saja di mulai, begitu kesuciannya direnggut paksa dan ditukar dengan dollar yang masuk ke dalam kantung Phillip. Bagi Bella yang masih berusia 16 tahun dan mengalami musibah yang meruntuhkan dunianya. Kematian adalah pilihan yang Bella putuskan. Meski kematian yang Bella inginkan, kedatangan seorang remaja, menggagalkan usaha bunuh diri yang coba dia lakukan. Kenneth Wayne, merupakan seorang developer real estate terkenal di kota Zurich, Switzerland. Pertemuan tak sengaja pria itu dengan seorang wanita cacat bernama Bella, menghidupkan jantungnya yang kosong bergairah kembali. Antara penyesalan dan cinta, manakah yang akan menang pada akhir keduanya nanti? Jika semua kebenaran yang lama tertutupi mulai terkuak. Menyebabkan luka & derita.

Angela_Ann · Urban
Not enough ratings
24 Chs

Bertemu Kawan Lama

"Papa... Kau berjanji padaku, Bella tidak akan ikut." Protes Masha yang tidak setuju Bella datang ke pesta William bersama-sama. Menurutnya memiliki saudari cacat sangat-lah memalukan, apalagi jika orang-orang atau teman-temannya tahu nantinya.

Stacy meremas paha Masha yang bergerak gelisah di tempatnya duduk saat pandangan tidak suka dilayangkan Sam ke arahnya.

"Janji itu tidak berlaku lagi. Waktu itu Papa mengatakannya dengan marah. Bella harus ikut pada perjamuan minggu ini. Ada beberapa teman dan kolega William yang akan datang, itu merupakan kesempatan yang bagus untuk putri-putri Papa supaya cepat dapat kekasih."

"Tidak ada bantahan, Kalau kau tidak setuju, kau tidak perlu ikut. Tapi Papa mau adikmu ikut perjamuan itu." Putus Sam final.

Sedari awal Stacy tidak mengatakan apapun, namun saat Sam sudah pergi ke arah kamar mereka. Dia menatap marah dan penuh kebencian pada Bella yang berdiri di atas tangga.

"Kau puas sekarang? Kau memang sengaja kan ingin melihatku di marahi Papa?!" Desis Masha marah dan kesal.

Bella mengabaikan ocehan di belakangnya itu, sangat muak sekali dengan sikap munafiik yang Masha tunjukkan lagi padanya. Bagaimana bisa Stacy berpikir bahwa putri kesayangannya itu lemah layaknya kaca yang mudah pecah. Jika Stacy tahu sikap sesungguhnya dari seorang Masha, dia ingin melihat ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan oleh ibunya tersebut.

Dengan sebuah kruk di tangan kirinya Bella mulai naik ke kamarnya sendiri yang berada di lantai atas.

"Mama, lihat bajingan itu. Kesal sekali dia harus kembali. Kenapa juga Papa harus membawanya pulang?!"

"Ssttt... Jangan keras-keras, Papamu sedang di rumah. Biarkan saja anak siialan itu. Seperti ada yang mau meliriknya saja saat dia hadis di pesta William nanti. Sayang, bagaimana kalau Mama mengajakmu belanja untuk pergi ke pesta nanti?" Bujuk Stacy menenangkan Masha yang cemberut.

Mendengar kata belanja, wajah Masha yang tidak sedap di pandang berubah menjadi antusias. Dia menatap Stacy dengan mata berbinar dan bibir menyeringai licik.

"Apa kita akan mengunjungi butik Mrs. Donita, Ma?" Tanya Masha penuh harap ke arah Mamanya.

Stacy yang melihat wajah antusias sang anak menyentil hidung mancung Masah, lalu terkekeh, "Apa maksudnya wajah bahagia ini? Jangan bilang putri Mama ini mau pergi ke sana karena ada sesuatu?"

"Ma~ berhenti menggodaku. Tidak seperti aku mau ke sana karena ada putranya yang tampan itu."

Stacy hanya menaik turunkan alisnya semakin menggoda Masha yang sudah salah tingkah di tempatnya.

"Ya, ya, ya.... Aku memang ingin bertemu dengan orang itu lagi. Jadi, berhenti melihat kearahku begitu, Ma!"

"Mama menyebalkan!" Rajuknya kesal atas tingkah laku sang Mama.

Suara tawa yang menyenangkan membuat rumah besar itu tampak ramai dan penuh bahagia karena keakraban ibu dan anak di meja makan.

Bella menghela napas kasar saat suara tawa di bawah terdengar sampai ke telinganya. Bukan seolah-olah dirinya tidak merasakan perasaan iri atas keakraban Ibu dan kakak perempuannya itu yang mereka tunjukkan.

Tidak apa-apa, Bella. Tuhan masih sangat menyayangimu, kan. Kau mendapatkan seorang Ayah tiri yang sangat sayang padamu seperti Sam. Ujar Bella menguatkan dirinya sendiri.

Tiga tahun yang lalu, saat Bella baru lulus dari studi modenya. Sam mengenalkannya pada wanita yang sangat dirinya kenal, yang meninggalkannya sejak dirinya kecil bersama Ayah kandungnya dulu di Kanada, Phillip Stone.

Meski Bella juga putri kandung Stacy, setelah Ibu dan sang Ayah bercerai, mereka memilih anak masing-masing untuk diajak tinggal bersama. Itu saat dirinya masih berusia 4 tahun.

Seperti yang selalu Ayah kandungnya katakan, Stacy tidak mau membawanya yang dianggap sang Ibu hanya membawa kemalangan buatnya.

Jadi Bella harus bertahan dengan kemiskinan dari tinggal bersama Ayah kandungnya yang egois dan kasar.

Jangan mengatakan tentang kasih sayang seorang Ayah, Bella tidak mendapatkannya sama sekali. Sejak perceraian keduanya, dia sudah lupa bagaimana rasanya diperhatikan oleh kedua orang tuanya.

Kalau saja Sam tidak membelinya pada waktu dia dijual oleh Ayah kandungnya sendiri di Malta waktu itu, mungkin masa depan yang suram-lah yang akan dirinya temui.

Meski begitu, ketamakan Phillip Stone soal uang sudah membutakannya lebih parah lagi. Hingga Phillip tidak segan-segan untuk mencelakakan dirinya sampai membuat dia kehilangan kebahagiaannya.

Kesedihan dan penderitaan silih berganti menghampiri Bella sejak saat itu. Kalau saja bukan karena tekadnya yang memilih bertahan dan hidup dengan kenangan-kenangan berharga bersama orang yang sangat dicintainya, Bella sendiri pun tak begitu yakin bisa kuat menjalani hidupnya sampai sejauh ini.

Takdir begitu sempit adanya hingga dia harus kembali hidup bersama Ibu yang tidak mau mengakuinya sebagai anak.

Saat pertemuan pertama mereka setelah perpisahan itu, Stacy tidak sekalipun merasa bersalah atau berkata dia merindukannya.

Stacy mengenalinya sebagai putrinya juga, tapi Stacy malah mengancamnya untuk menutup mulut dari Sam, seakan mereka memanglah orang asing yang baru bertemu, bukan Ibu dan anak sebagaimana kenyataannya.

Pada waktu itu rasa benci dan penolakan-lah yang Bella tunjukkan di depan Sam saat makan malam yang Sam adakan untuk mengenalkannya pada keluarga barunya.

Pertengkaran pertama mereka juga menyulut amarahnya hingga dia memilih sering tinggal di luar rumah daripada tinggal di mana Stacy dan Masha berada.

Kalau saja Jenny tidak meyakinkannya betapa khawatirnya Sam dengan dirinya, mungkin Bella tidak mau kembali ke rumah ini lagi.

Dia sangat merindukan tinggal bersama dengan neneknya; Laura di Freiburg - Jerman.

Tapi, Bella bahkan tidak bisa melupakan kenangan bersama orang itu selama dia tinggal di sana. Dan berpikir ingin kembali ke tempat di mana dapat mencungkil luka di hati Sam. Dirinya tidak se-egois itu.

Bella menghela napas kasar.

Dia tidak yakin Sam akan mengijinkannya untuk tinggal di rumah sang nenek setelah kecelakaan yang membuat dirinya cacat seperti ini.