webnovel

Disiksa Hero

Netta mendadak mundur ketika Hero tiba-tiba memegang lengannya. Apa apaan pria ini. Dalam hati Netta tak behenti mengumpat Hero. Rasanya pria ini semakin tak senonoh.

"Kamu mau kemana?"

"Pergi!" Jawab Netta berusaha menyingkirkan tangan Hero namun tidak bisa. Hero memegang lenggannya sangat kencang.

"Aku belum selesai bicara!"

"Ya sudah katakan mau ngomong apa? Jangan basa-basi." Kesal Netta.

Sudut bibir Hero melengkung. Dia malah tersenyum yang membuat Netta jengah melihatnya.

"Temani aku makan."

"Tidak!" Tegas Netta mengibas tangan Hero dengan kasar. Namun usahanya sia-sia.

"Tolonglah mengerti, Her. Aku ini istri orang."

"Lah memangnya kenapa? Istri orang tak punya teman gitu? Teman ajak makan aja gak bisa." Seperti biasa Hero selalu memiliki jawaban yang gila.

Netta berjalan mengikuti langkah Hero. Dia terlihat pasrah dibawah oleh pria itu. Hingga tiba di restoran, berulah Netta melampiaskan kekesalannya dengan memesan seluruh menu restoran yang harganya tidak sedikit.

"Oh jadi kamu mau membuat aku bangkrut?" ucap Hero yang duduk berhadapan dengan Netta.

Netta menyinggung senyum sombong dan licik. Akhinya bisa membalas kesombongan pria ini.

"Kalau iya memangnya kenapa? Takut…bangkrut?" Netta menyilang kakinya menjadi lebih santai lalu menyadarkan bahu sambil tertawa mengejek kepada Hero.

'Ayo marah! Ayo marah. Kita lihat sejauh mana kau akan bertahan!' Netta tersenyum bermonolog dalam hati. Namun Hero dengan tenang melipat tangannya di dada dan menatap Netta dengan seulas senyum yang tersungging di bibirnya. Asli Netta dibuat merinding melihatnya. Keberaniannya seketika mencuit.

"Selesai di sini. Lalu aku akan membawaku ke restoran yang sebelah lagi. Senang?" Seketika senyum di bibir Netta memudar secara perlahan. Berganti dengan senyum super lebar dan cerah di wajah Hero. Wajah Hero terlihat bersinar berbeda jauh dengan Netta yang terlihat frustasi.

….

"Makan ini lagi sayang. Supaya gemuk. Aku suka wanita berisi." Hero menyuapakan sesendok pasta ke mulut Netta yang sepertiya akan muntah karena terlalu banyak makan.

"Ayo ayo ini lagi…!" Netta muak melihat Hero yang tersenyum. Dia benar-benar licik. Menyiksa dengan cara seperti ini.

"Ayo satu sendok lagi. Aaaaa… "

"Enggak! Sudah. Aku gak sanggup lagi!" Netta menutup rapat mulutnya yang telah membumbung dipenuhi makanan. Makanan membuatnya hampir muntah. Wajah Hero membuatnya benar-benar akan muntah.

"Gak boleh buang makanan. Di luar sana masih banyak yang gak bisa makan. Kamu harus belajar bersyukur NETTA." Dalih bijak yang sengaja dibuat-dibuat hingga Netta harus menghabiskan semua menu yang ia pesan.

. . .

Netta membasuh wajahnya dengan air. Rasanya ia telah mabuk karena makan terlalu banyak. Netta nyaris tak mampu berjalan.

"Halo, sayang. Kamu baik?"

"Aku baik kok, mas. Mas dimana?" tanya Netta berusaha mensterilkan deru nafasnya yang lebih cepat karena ulah Hero.

"Masih di kantor."

"Oh begitu rupanya."

"Kamu sendiri lagi dimana?"

"Aku di luar mas," sahut Netta yang entah mengapamerasa besalah. Namun Netta segera membaik. Sejauh ini bukan keinginannya namun karena paksaan Hero.

"Mas pulang kan malam ini?"

"Pulang kok. Mas rindu sama istri mas yang cantik. Rindu dia dan masakannya."

Netta tersenyum mendengarnya. "Kalau begitu aku akan masak makan enak untukmu, mas. Jangan terlambat ya."

Tiba-tiba pintu digedor dari luar yanga ternyata adalah Hero.

"Hei, kau masih di dalam?!" teriak Hero yang ternyata menunggu di depan pintu toilet. Beraninya dia masuk ke toilet cewek. Dia benar-benar tidak punya urat malu.

"Siapa yang?" tanya Wisnu.

"Gak tau juga nih mas. Orang gila mungkin."

Netta segera menjeda panggilnya.

"Ngapain kau disitu?!"

"Ngapain lagi nunggu kamu!" Jawab Hero dengan entengnya membuat Netta mengepalkan tangannya menahan kesal. Netta kesal karena mendengar nada Hero yang terdengar kesal. Helo plis deh. Dia yang membawanya secara paksa. Bisa-bisanya dia kesal hanya karena 5 menit menunggu.

"1 menit belum keluar kau lihat akibatnya!" Ancam Hero yang sayangnya tak berpengaruh kepada Ketiga.

"Berisik!"

"Gak boleh?"

"Berisik! Aku lagi teleponan sama suami aku!" ucap Netta sedikit menjerit. Siapa sangka perkataannya mampu membuat Hero diam.

"Ku tunggu di luar. Jangan lama-lama aku benci menunggu," ujarnya. Netta bisa mendengar langkah pria itu yang semakin menjauh.

"Siapa tadi? Kok panggilan dijeda?" tanya Wisnu ketika panggil kembali tersambung.

"Gak perlu dipikirin orang nyasar." Jawab Netta sekadanya. Andai Wisnu tahu dia sedang dibawa oleh Hero. Dia pasti akan sangat marah. Netta tak mau kejadian masalalu kembali terulang lagi.

**

Netta melangkah menaiki tangga setelah berpapasan dengan pekerja yang bekerja di kediaman mereka. Kediaman besar dan mewah yang dibeli Wisnu 3 tahun yang lalu setelah 4 bulan tinggal bersama orang tua Wisnu seperti tak hidup karena hanya dia dan Wisnu yang tinggal disini. Netta sadar ia belum bisa memberikan momongan yang akan membuat suasana rumah ini menjadi ramai.

Sebenarnya Netta-lah yang memaksa Wisnu untuk membeli bangunan agar pisah rumah dengan orang tuanya. Terutama ibu mertuanya yang selalu membanding-bandingkan Netta dengan semua manta Wisnu. Netta selalu sakit hati ketika duduk berdua dengan ibu mertuanya itu.

Sekarang dia kembali menyinggung pasal momongan. Netta merasa tertekan. Rasanya dia selalu kekurangan di mata ibu mertuanya.

"Eh, mama!" Netta terkejut ketika kamar tiba-tiba dibuka oleh orang yang ternyata adalah ibu mertuanya.

Memang wanita ini sempat mengetuk pintu. Namun bukan berarti asal masuk begitu saja. Bagaimana jika dia dan Wisnu sedang berdua.

"Kok gak ketuk sih, mah," ucap Netta menegur mertuanya. Wajah ibu mertuanya seketika menjadi datar.

"Ngomong-ngomong kapan mama datang? Netta baru saja balik," seru Netta berusaha ramah. Tak enak juga melihat raut Sinta yang asam seperti belimbing.

"Wanita karir memang selalu sibuk." Sinta malah memasang wajah judes. "Kerjaannya keluyuuuuuuran di luar lupa pulang," sindirnya. Netta hanya bisa menelan saliva dan berusaha menguatkan hatinya. Netta mengerti ibu Mertuanya bersikap begini karena sampai karena Netta belum bisa memberikannya cucu.

"Mama liat tudung saji belum ada makanan? Kamu gak masak?" ucap mertuanya itu dengan mengintimidasi.

"Engga kok, ma. Netta barusan beli sayur dan bahan-bahan masak. Netta mau masak buat mas Wisnu."

"Hmm," Ibu mertuanya hanya berdehem kemudian berbalik.

"Cepatan masak. Jangan sampai Wisnu keburu pulang. Semakin gak jelas nanti dirimu sebagai istri." Dia bahkan masih menyindir sebelum pergi.

Netta menatap kepergian ibu mertuanya dengan dada bergemuruh. Ingin sekali ia membalas setiap perkataan wanita itu. Namun Netta masih memiliki sopan santun kepada orang tua.

1 jam Netta berkutat di dapur. Keringat terlihat bercucuran di wajahnya karena pekerjaanya. Meksipun Netta jarang ke dapur namun ia sangat mahir memasak. Netta hanya tak ingin uangnya terbuang percuma untuk membayar art.

Netta tekejut ketika dirinya tiba-tiba dipeluk oleh seseorang dari belakang. Netta berbalik dan mendapati Wisnu yang mencium lembut kepalanya.

"Sampai keringatan gini?

Netta mendekati Wisnu dan mencium kemeja suaminya itu. Dia kembali mendongkak dan menatap Wisnu yang juga sedang menatapnya.

"Mas ganti parfum?"

Wisnu menggeleng. "Tidak, kok. Masih yang sama."

"Benarkah?" Netta kembali mencium kemeja Wisnu dan menemukan bau asing yang tak biasa ia cium dari pakaian suaminya. Entah mengapa otak Netta langsung memikirkan yang tidak-tidak.

Netta menggeleng. Wisnu sangat mencintainya. Ia tak mungkin mengkhianatinya.

"Ternyata kamu sudah pulang Wisnu. Mama menunggu sejak tadi," ucap Sinta yang baru masuk ke dapur.

Netta yang malu ingin melepaskan pelukan Wisnu. Namun Wisnu mencegahnya dan tetap memeluknya di depan ibunya. Rasanya Netta sangat malu berpelukan di depan ibu mertuanya seperti ini.

"Kenapa gak bilang mama datang?" tanya Wisnu kepada Netta.

"Tadinya mau bilang ketika di kamar," sahut Netta.

"Kalian malah mengacani ibu. Ibu sudah tak ada harga dirinya di depanmu Wisnu," Komentar Sinta.

Wisnu berbalik menatap mamanya.

"Ngapain mama kesini?" ucap Wisnu. Netta terkejut dan segera memegang tangan Wisnu. Tidak biasa Wisnu bersikap tidak sopan seperti ini. Apalagi kepada mamanya.

"Kenapa? Gak suka mama disini? Ya sudah kalau gak suka. Buat apa mama lama-lama disini kalau kehadiran mama gak diinginkan sama anak sendiri." Sinta yang sudah emosi berbalik dan pergi.

Netta menggeleng. "Bukan seperti itu, ma. Mas Wisnu mungkin sedang capek." Netta ingin mengejar ibu mertuanya namun Wisnu malah menahannya.

"Tapi, mas… "

"Udah biarkan saja. Mama juga terlalu kekanak-kanakan."

Netta menatap Wisnu. Dia benar-benar bingung dengan sikap Wisnu yang tak seperti biasanya.

"Apa terjadi sesuatu mas?" Netta menatap Wisnu yang tidak langsung merespon seakan pertanyaan itu memang tepat.

Entah mengapa Netta merasa Wisnu seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Namun Netta memilih diam ketika Wisnu mencium kepalanya.

"Jangan terlalu banyak berpikir. Itu tidak baik untuk kesehatanmu," Seru Wisnu.

Netta mengangguk. Malam ini ia memang tak seharusnya memperbesar hal ini.

"Mas mau langsung makan atau gimana?"

"Tubuh mas terasa gerah. Sepertinya mas mandi dulu," sahut Wisnu kepada Netta yang mengangguk.

"Mau mandi bareng?" Goda Wisnu.

Dengan sedikit tersipu Netta memukul lengan Wisnu dan mendorong suaminya itu untuk segera bergerak. 3 tahun mereka menikah Netta masih sama seperti dulu. Masih malu dan mungkin sedikit polos. Dan juga baru kali ini Netta melihat Wisnu bersikap tidak sopan kepada mamanya.

"Ku harap kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku mas," Lirih Netta kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.