webnovel

Pada tahun XXXX

"Tahun 1945, seperti yang kita ketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mencapai masa kemerdekaan pada tanggal Tujuh Belas Agustus Tahun Empat Lima. Lalu Selanjutnya...."

(Nampak semua murid di dalam salah satu kelas tengah mengantuk. Sebagian murid bahkan dengan santainya tidur di meja sekolah.)

Beruntung karena aku adalah guru yang sabar, jadi tidak ada yang bisa aku lakukan selain membiarkan mereka berbuat sesuka hati. Meski aku tidak sepenuhnya paham apakah sabar selama dua tahun selama masa pengabdian sebagai guru tanpa berbuat apa-apa apakah merupakan hal yang wajar?

Btw namaku Raga, seorang guru muda yang dipercaya oleh pihak sekolah untuk mengampu mata pelajaran sejarah, meskipun sebenarnya aku adalah seorang lulusan bergelar S.Psi atau Psikologi. Setidaknya bagiku, sejarah adalah disiplin ilmu yang paling tidak membosankan dan selalu menyimpan seribu satu tanda tanya di akhir pembicaraannya. Meski tidak semua orang ternyata setuju dengan pendapatku, termasuk murid-muridku sendiri. Dan menghadapi anak-anak seperti mereka hampir membuatku mati tenggelam akan kebosanan.

Mereka jauh lebih muda dari aku, namun tidak bisa disangka bahwa kehidupan mereka jauh lebih membosankan dari zamanku ketika duduk di bangku sekolah dahulu. Yang mereka pedulikan hanyalah sebuah dunia kecil yang selalu mereka nikmati dengan pemikiran sempit mereka. Tidak ada yang mereka lakukan selain asik dengan smartphone dan beberapa teknologi yang mereka miliki. Nampaknya Steve Jobs akan berpikir dua kali untuk meluncurkan produk Iphone terbaru setelah melihat generasi muda seperti murid-muridku, hahaha.

Aku hanya bercanda! Walau bagaimana pun, aku tetap orang tua yang sangat sayang terhadap anak-anaknya. Andai saja mereka mau memberiku kesempatan untuk memberi tahu sesuatu yang menarik dari peradaban umat manusia dari masa ke masa, aku yakin aku dan murid-muridku tidak akan pernah menyesali keputusan kami untuk mengesampingkan smartphone kami selama dua jam lamanya. Namun pada realitanya, kesempatan itu nampaknya hampir tidak mungkin.

Atau barangkali bukan murid-muridnya yang salah, melainkan bahwa diriku sudah tidak lagi memiliki semangat untuk membagikan apa yang aku sukai kepada generasi yang punya selera buruk ini, pikirku. Tapi jika aku melepaskan profesi yang sekarang, tentu itu jauh lebih beresiko. Darimana aku akan memperoleh penghasilan? Astaga, betapa menyedihkannya aku. Siapa yang menyangka bahwa orang idealis sepertiku pada akhirnya menyerah dengan realita. Ternyata melakukan sesuatu yang tidak sepenuhnya kita inginkan demi sesuap nasi masih merupakan hal yang manusiawi. Walau aku pada akhirnya harus menangisi hal tersebut setidaknya menangis pun masih manusiawi. Baiklah, aku hanya cukup melakukan apa yang harus aku lakukan.

Dan tidak terasa, kelas terakhir telah selesai. Bagaikan memperoleh keajaiban dan secercah harapan dari langit, semua murid seketika menjadi semangat dan berenergi seperti semula. Aku hanya bisa sedikit tertawa heran melihat semua itu. Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu selama tujuh jam per hari menghadapi kebosanan yang sama hingga akhirnya momen penerimaan peserta didik baru diselenggarakan kembali.

Tidak seperti para guru lain yang selalu menaruh kepercayaan pada generasi baru, bagiku setiap generasi nampaknya akan sama saja. Selama mereka berasal dari keluarga yang sepenuhnya terikat dengan kemajuan zaman, maka tidak ada yang bisa aku harapkan dari orang-orang seperti mereka. Lagipula menganggap murid baru layaknya kertas kosong yang bisa diukir apa saja bukanlah hal yang tepat. Sebelum para murid baru menginjakkan kaki di sekolah ini, mereka telah memperoleh pengetahuan dan membentuk kepribadian tersendiri di lingkungan luar sana. Jadi, tidak ada yang benar-benar kosong dan bisa dibentuk di zaman sekarang ini.

"Pak Raga, kok saya lihat di semua acara anda selalu loyo? Kenapa? Banyak hutang?" tanya Pak Sosro guru olahraga.

"Hahaha anda bisa saja, enggak kok pak emang saya tuh seperti ini." jawab Aku mencoba cairkan suasana.

"Yah, barangkali kamu tidak semangat hidup karena kesepian. Mungkin aku bisa mengenalkan beberapa wanita buat kamu, hahaha." seru Pak Sosro.

"Sstttt, jangan keras-keras pak. Tidak layak tenaga pendidik membicarakan wanita di sekolah" tegur Aku pelan.

"Hahaha okey lah, maaf. Tapi untuk masalah wanita, aku benar-benar serius lo pak. Bukan maksud apa, tapi adanya sosok wanita yang tepat dalam hidup kita bisa merubah segalanya." jelas Pak Sosro.

"Hilih, kaya udah pernah aja." ucap Aku meledek.

"Hehe iya sih, aku paham itu juga sebatas baca buku dan novel saja. Tapi apakah kamu tidak memikirkan jodohmu besok? Ya setidaknya penasaran dan mulai memikirkan selera wanita yang kamu butuhkan?" tanya Pak Sosro.

Belum aku menjawab, kami berdua tengah dihampiri oleh salah satu wali murid peserta didik baru yang tengah mendaftar di sekolah kami. Ia merupakan seorang wanita muda yang nampak cantik, energik dan positif. Wanita itu dengan sopan dan lembut menanyakan letak kamar kecil pada kami.

"Permisi bapak-bapak maaf mengganggu, saya mau tanya letak kamar kecil dimana ya?" tanya Ibu Muda.

Bukannya menjawab, Pak Sosro hanya diam beberapa menit hingga akhirnya aku harus menginjak kakinya sebelum wanita ini merasa ketakutan.

"ADUUHH SAKIIT!!" seru Pak Sosro.

"Maaf nyonya atas teman saya. Untuk ke kamar kecil anda cukup lurus saja mengikuti jalur utama sekolah, setelah anda sampai di ujung jalur cukup belok kiri untuk toilet wanita." jelas Aku.

"Wah terimakasih ya mas, eh maksud saya pak hehe. Habisnya anda masih terlihat muda, dan..." ucap Ibu Muda tanggung.

"Dan?" tanya Aku.

"Oh tidak hehe, maaf. Sekali lagi terima kasih ya pak. Maaf mengganggu waktunya." ucap Ibu Muda sedikit tersenyum.

"Baik, kembali kasih". jawab Aku.

Ibu muda itu perlahan menjauhi kami sambil merapikan rambutnya. Sedikit heran bagaimana bisa ia dengan santainya menatapku dengan tatapan seperti itu?

Setelah Ibu Muda tersebut jauh, Pak Sosro langsung menepuk punggungku, spontan aku terkejut dan hampir memukul balik Pak Sosro.

"Woy!!! Waah nakal kamu ternyata ya, hahaha" seru Pak Sosro.

"Pak Sosro! Husss! Jangan keras-keras, kita masih di sekolah." tegas Aku.

"You see? Look! Lihat! Bahkan wanita secantik dia terpikat dengan wajah tampanmu. Duh, sungguh aku merasa iri." ucap Pak Sosro.

"Okey, mau aku biaya untuk operasi plastik wajahmu?" tanya Aku.

"Hahaha anda bisa saja. Tapi saya serius, dua tahun saya berteman dengan anda saya jarang melihat anda nampak akrab atau dekat dengan seorang wanita. Padahal banyak guru dan murid cantik di sini yang menaruh hati padamu." ucap Pak Sosro heran.

"Hmm, tidak semua orang mengalami nasib baik pak". jawab Aku singkat.

"Apakah pernah ada masalah? Anda ada trauma pak? Atau jangan-jangan... anda Gay?" tanya Pak Sosro.

"Husss... Kacau anda! Bukan! Aku hanya pernah ada pengalaman tidak enak saja." jelas Aku.

"Aah i see, hanya trauma. Aku hampir takut kalau kamu menjawab dirimu Gay." jelas Pak Sosro.

See? Tidak hanya wanita, bahkan pria di zaman sekarang pun membosankan. Setelah bertanya hal yang intens, tanpa rasa bersalah ia tidak melanjutkan pertanyaannya dan bercanda begitu saja. Aku sedikit terkejut seorang guru ternyata tidak sepenuhnya paham akan tata krama.

Btw bicara soal pengalaman, benar! Aku memang pernah mengenal bahkan sampai serius dengan salah seorang mahasiswi di tempat kuliahku sebelumnya. Tentu saja kami telah menghabiskan banyak momen bersama, hingga suatu ketika ia pergi meninggalkanku atas nama HIDUP SESUAI REALITA. Ya emang sih, orang ketiga yang datang ke kehidupannya jauh lebih mapan dan lebih bisa memberikan banyak hal ketimbang aku yang hanya seorang guru. Dan yang membuat aku pada akhirnya muak bukan pengalaman ditinggalkan, melainkan dari peristiwa itu maka aku paham bahwa wanita di zaman sekarang memiliki selera yang buruk.

Jika aku pada akhirnya menikah dengan wanita berselera buruk seperti mantanku, maka aku akan menanggung dosa seumur hidup dengan anakku setelahnya. Dunia percintaan semakin rumit dengan setiap insan yang makin ke sini semakin banyak mau. Dan aku tidak ingin hidupku dipenuhi dengan hal menjijikkan seperi itu.

Tidak terasa, aku yang bergumam dalam hati telah mengabaikan salah seorang murid baru yang hendak bertanya tempat pendaftaran ulang.

"Pak? Permisi pak?" tanya salah satu murid baru.

"E.eh iya, maaf dik maaf saya malah melamun." ucap Aku.

"Oh haha enggak pak, saya yang justru minta maaf mengganggu bapak." ucap murid baru.

Setelah melihat siswi baru tersebut, entah mengapa seketika aku kembali terdiam. Bukan melanjutkan lamunanku yang sebelumnya, melainkan aku sedikit terkejut setelah melihat siswi tersebut. Benar siswi tersebut sangat cantik, tapi aku merasa bukan itu hal yang berhasil membuatku terdiam selama lima belas detik. Di antara semua wanita cantik yang aku temui, siswi ini terasa sangat berbeda dan susah untuk dideskripsikan.

"Pak, halo? Anda baik-baik saja?" tanya murid baru.

"Eh oh iya maaf, wah saya semalam kurang tidur jadi kurang bisa fokus hehe. Oke, untuk daftar ulang kamu bisa pergi ke aula yang ada di sebelah sana. Tapi sebelumnya silahkan anda mengisi formulir ini terlebih dahulu. Jika sudah selesai silahkan ikut mengantri dengan murid-murid lain yang ada di sana." jelas Aku.

"Oh gitu, wah makasih ya pak. Oh ya, mungkin sebelum tidur bapak bisa minum susu cokelat panas." ucap murid baru.

"Eh? Maaf?" tanya Aku.

"Tadi kan bapak bilang susah tidur, makanya aku kasih saran minum susu cokelat. Mungkin sedikit kekanak-kanakan, tapi setidaknya itu cukup membantu untuk mudah mengantuk. hihihi" ucap murid baru.

Wait, beberapa waktu terakhir membuatku sedikit bingung. Setelah membuatku diam secara misterius, siswi tersebut memberikan saran yang unik.

"Tunggu dik, jangan lupa isi daftar absensi dulu." seru Aku.

"Oh iya, lupa hahaha." ucap murid baru.

Setelah murid baru itu pergi, aku melihat namanya di daftar absensi.

ANJANI WULANSARI

Entah aku harus memanggilnya apa? Jani? Wulan? Sari?

Mengapa aku memikirkannya? Lagipula belum tentu aku akan bertemu dengannya di kelas. Dia pasti tidak jauh berbeda dengan siswi pada umumnya.

Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 16.00 sore hari. Jadwal pendaftaran ulang peserta didik baru telah selesai, kini tinggal mengikuti jadwal membosankan dan penuh pencitraan yang akan dilaksanakan pada minggu depan, Masa Orientasi Peserta Didik.

Kira-kira adakah hal menarik dari angkatan yang baru ini? Entah mengapa aku merasa sedikit berbeda sekilas setelah menyambut mereka, semoga saja bukan hal buruk.

Hingga akhirnya hari itu tiba, sebuah acara pencitraan yang sebenarnya kurang aku suka dari dulu aku duduk di bangku sekolah. Semua murid baru datang dengan berbagai peralatan serta dresscode aneh berhasil mewarnai suasana sekolah. Semua kakak kelas sibuk tertawa dan menjahili adik-adik kelasnya. Tidak sedikit pula beberapa ada yang mencoba menggoda beberapa adik kelas yang cantik. Tidak jauh berbeda dengan Pak Sosro, Pak Broto pun juga tidak kalah tergoda.

"Wah pak, susah ya pak kerja di sini." ucap Pak Broto guru biologi.

"Emang kenapa pak?" tanya Aku.

"Anak muda sekarang cantik-cantik. Gak kaya zaman kita dulu. Meski pakai dresscode aneh aja mereka tetap cantik." ucap Pak Broto.

"Hayo pak, jaga mata jaga pikiran. Kita ini guru pak, emang kamu mau nyusul kaya guru-guru yang akhir-akhir ini viral akibat habis skandal dengan murid? Enggak kan!" tegur Aku.

"Hmm saya itu iri sama kamu, bisa-bisanya secuek ini sama cewek tapi masih tetap dikejar-kejar cewek cantik. Ha kalo orang kaya saya mau cuek kaya gimana pun tetap saja gak dianggap, huft" keluh Pak Broto.

Aku hanya menggelengkan kepala heran. Dari kejauhan nampak Pak Sosro sedang berusaha akrab dengan salah satu murid baru. Beruntung siswi cantik tersebut masih begitu polos dan belum sepenuhnya paham betapa berbahaya guru olahraga yang bernama Sosro. Dengan canda, aku dan Pak Broto menghampiri Pak Sosro.

"Eheem eheeem... ingat umur pak!" seru Aku dan Pak Broto.

"Apaan sih ganggu aja. Udah sanah!" seru Pak Sosro.

"Hahahaha ayo pak ke kantin, kasihan muridnya jangan diganggu terus. Mereka lagi orientasi." ajak Aku.

"Hmm yaudah deh, ayo." ucap Pak Sosro.

Kami bertiga pergi menuju kantin sekolah. Seperti biasa, kami bertiga memesan pecel dan es teh sebagai menu favorit kami di kantin. Sambil menikmati makanan, kami pun saling bercanda dan menikmati waktu senggang ini sebelum berbagai kesibukan lainnya datang.

"Gila, murid baru angkatan ini cantik-cantik ya!" ucap Pak Sosro.

"Iya betul, apalagi yang tadi siswi sepuluh IPS yang rambutnya diikat ekor kuda pakai pita kuning. Kayaknya itu yang paling cantik di antara teman-temannya." ucap Pak Broto.

"Ahh iya, tadi aku juga sempat mencoba sapa dia. Tapi seperti biasa, yang terbaik selalu menjadi yang tersulit untuk didekati. Lagipula aku juga lupa nama anak itu." ucap Pak Sosro.

Semula aku tidak menanggapi pembicaraan konyol dari kedua guru hidung belang tersebut, sampai suatu ketika aku berhasil menyemburkan nasi yang baru saja aku makan begitu Pak Broto menyebutkan satu nama.

"Kalau tidak salah namanya Anjani." ucap Pak Broto.

Brruussssss.....!!!!!!

Semua nasiku keluar dan hampir mengenai baju batik Pak Sosro.

"Heh! Ada masalah apa sih kamu!!! Main semprot saja kaya naga!" seru Pak Sosro.

"Eeh maaf maaf pak saya enggak sengaja. Habis saya tadi kaget." ucap Aku.

Setelah diam dan mengamati aku beberapa saat, akhirnya Pak Broto dan Pak Sosro mulai pasang wajah senyum menyebalkan dan mulai menggodaku.

"Hayo, ada apa dengan Anjani? Kok habis dengar nama itu langsung kaget?" tanya Pak Sosro.

"Hayo, jangan-jangan kalian pernah bertemu ya? Wah anda berbahaya ternyata" sambung Pak Broto.

"Heh! Sembarangan! Emang saya ini guru apaan! Saya cuma pernah bertemu dia waktu dia tanya ke saya tempat pendaftaran ulang murid baru." ucap Aku.

"Halaah, kalo cuma kaya gitu enggak mungkin kamu sampai kaget sampai muncrat kaya tadi. Pasti ada sesuatu di benakmu soal dia bukan?" tanya Pak Sosro.

"Hahaha cantik yah anaknya!" ucap Pak Broto.

Tidak ada yang dapat aku lakukan selain diam dan tidak terlalu menanggapi candaan mereka. Meski begitu, mereka benar! Siswi baru yang bernama Anjani benar-benar cantik. Tidak seperti siswi lain, kecantikan Anjani nampak natural. Plus karakternya yang sekilas unik menjadikan kecantikannya bertambah.

Namun tetap saja Aku masih kuat akan prinsip bahwa semua wanita selalu mempunyai sisi membosankannya masing-masing. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa gadis seperti Anjani sebenarnya adalah pribadi yang mudah ditebak begitu saja.

Tidak lama ditengah kami bertiga yang sedang bercanda, murid-murid yang telah menyelesaikan orientasi tahap awal semua datang menuju kantin hingga suasana menjadi sangat ramai. Dan secara kebetulan, siswi bernama Anjani beserta teman-teman ceweknya ikut datang ke kantin yang saat ini sedang aku kunjungi. Seketika aku berkeringat dingin entah mengapa. Astaga, ini memalukan!

Dan tidak lama kemudian...

"Selamat pagi pak guru!" sapa sebagian besar murid baru kepada kami.

"Oh iya, selamat pagi! Silahkan, silahkan! Selamat datang di kantin sekolah baru kalian. Semoga menu-menu di sini tidak pernah membuat kalian bosan hahaha." ucap Pak Broto.

Berbeda dengan Pak Broto dan Pak Sosro, aku hanya terdiam sebatas senyum mengangguk menanggapi sapaan para murid. Bukan karena sombong, namun karena aku menutupi rasa gugup yang sudah lama tidak pernah terjadi.

Di tambah lagi...

"Eh bapak, anda yang waktu itu menjaga stand depan ruang daftar ulang kan?" tanya Anjani padaku.

Aduh, rupanya dia masih mengingatku. Seketika hal itu membuat Pak Broto dan Pak Sosro terkejut.

"Oh iya dik, kamu yang waktu itu sempat nyasar ya? Sekarang enggak nyasar lagi kan? Hehe" tanya Aku.

"Syukurlah sekarang saya sudah mulai adaptasi pak di sini. Oh ya, sebelumnya saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Anjani Wulansari, bisa dipanggil Anjani atau Wulan." ucap Anjani.

"Oh iya, salam kenal ya. Saya Raga, guru sejarah di sini." ucap Aku.

"Wah, menarik banget pak. Semoga di kelas sejarah pertama nanti saya bisa bertemu dengan anda hehe." ucap Anjani tersenyum.

Mampus! Sikap ramah Anjani membuatku semakin gugup. Bagaimana bisa murid baru sepertinya bisa setenang ini berbicara dengan guru-guru seperti kami? Pak Broto dan Pak Sosro yang mengetahui situasiku semakin membuat suasana menjadi kacau.

"Owalah dik Anjani sudah kenal sama guru paling ganteng di sekolah ini ternyata. Manis sekali!" ucap Pak Sosro.

"Ehem, tadi katanya ada yang bilang gak suka dengan siswi cantik. Ternyata diam-diam kenalan juga." seru Pak Broto.

Spontan suasana menjadi cair, Anjani semakin tersipu malu ditambah teman-temannya ikut menggoda. Wajah Anjani yang memerah membuatnya nampak semakin manis. Sudahlah! Aku tidak kuat dengan semua ini. Spontan aku beranjak dari tempat duduk dan pergi ke kamar mandi.

"Maaf semuanya, saya harus pergi ke kamar mandi dahulu. Ada tugas yang harus saya selesaikan." ucap Aku.

"Tugas apa kalau boleh tahu?" tanya Pak Sosro menggoda.

"Barangkali anda mau ikut saya untuk melihatnya secara langsung?" tanya Aku.

Sekali lagi Anjani dan teman-temannya tertawa lepas dengan lelucon sederhanaku. Karena merasa risih dengan situasi di kantin, aku segera pergi.

Tidak ada yang aku lakukan selain membasahi wajah dan seluruh bagian kepala dengan air keran yang masih segar sehabis tersentuh suasana pagi hari.

"Astagaa!! Itu tadi memalukan!! Bagaimana bisa aku menjadi konyol seperti ini hanya karena salah satu siswi? Ayo Raga! sudah dua tahun aku mengajar dan sudah lima tahu pula aku terbiasa dengan wanita cantik. Tidak mungkin aku menjadi seperti ini hanya karena kecantikan!" ucap Aku bergumam sendiri.

Hari demi hari masa orientasi telah berjalan dengan lancar dan meriah. Para murid baru akhirnya berhasil terbiasa dengan budaya belajar yang ada di sekolah ini. Namun sangat merepotkan karena Anjani yang dianggap sebagai murid tercantik sering menarik banyak perhatian sehingga membuatnya banyak terlibat dalam semua acara orientasi. Hal itu membuatnya semakin sering muncul dan intensitas untuk kami bertemu semakin banyak. Aku menjadi sangat repot karena harus berjalan jauh memutari bagian pinggir sekolah hanya untuk tidak bertemu dengannya.

Awalnya upaya aku menghindar berjalan lancar, hingga suatu ketika aku mendapati bahwa dirinya tengah duduk sendirian di depan gerbang sekolah. Saat itu hari sudah mulai gelap, sebagai guru aku hanya sebatas khawatir jika Anjani tidak dapat pulang ke rumah tepat waktu karena suatu alasan tertentu. Dengan profesional aku menghampiri Anjani.

"Dik, kok belum pulang? Ini udah mulai gelap loh?" tanya Aku.

"Oh selamat sore pak. Iya pak, jujur saya sebenarnya mau pulang tapi entah kenapa sedari tadi tidak ada angkutan umum yang lewat. Saya sendiri juga sedang bingung hehe." ucap Anjani mencoba tenang.

Dia bahkan masih bisa berusaha tenang meski dirinya kesulitan untuk pulang. Sebenarnya siapa anak iki? Nampak karakter dan pribadinya jauh lebih dewasa dari usianya.

"Sudah, yuk saya antar saja. Kasihan sudah mau gelap, takutnya kamu kenapa-napa." ucap Aku.

"Eh enggak usah Pak Raga, saya takut merepotkan Pak Raga." ucap Anjani.

"Halah santai saja, lagipula kalo kamu enggak segera pulang, nanti kalo ada apa-apa kan sekolah yang repot." ucap Aku.

"Hmm benar juga, tapi enggak apa-apa ini pak?" tanya Anjani.

"Enggak, nanti ada ongkos ojeknya." ucap Aku.

"Ahahaha bisa saja, ya sudah pak. Sebelumnya saya terima kasih sekali ya pak." ucap Anjani.

Anjani akhirnya duduk menyamping di sepeda motorku dengan sedikit rasa canggung. Dia saja canggung, apalagi saya!

Tanpa berlama-lama kami pun berangkat. Tidak ada yang berani aku tanyakan kepada Anjani selain petunjuk arah jalan pulang ke rumahnya. Sedikit terkejut karena rumah Anjani ternyata lumayan jauh dan memakan waktu lima belas menit untuk dapat sampai ke sana. Hingga akhirnya kami sampai di sebuah gapura perumahan, anehnya Anjani meminta agar aku hanya menurunkannya di depan gapura saja.

"Pak, nanti saya izin turunnya di gapura saja ya pak." ucap Anjani.

"Loh? Emang jarak gapura sama rumahmu dekat kah? Enggak apa-apa loh kalo saya antar sampai ke rumah. Sekalian saya nanti biar bisa bantu jelaskan ke orang tuamu kenapa kamu pulang malam." ucap Aku.

"Terima kasih sebelumnya, tapi enggak usah. Soalnya ada hal yang mau saya urus dahulu." ucap Anjani.

"Mmm okey kalau begitu." ucap Aku.

Sesampainya kami di gapura perumahan, Anjani tidak langsung masuk begitu gapura melainkan hanya berdiri di depan gapura. Nampaknya ia sedang menunggu seseorang. Barangkali pacarnya? Ah tidak, aku rasa gadis seperti Anjani tidak akan mau dengan laki-laki pengecut yang hanya berani mendatanginya sebatas menunggu di gapura perumahan. Lagipula mengapa juga aku memikirkan pacar Anjani? Lebih baik aku pulang.

Setelah berpamitan, aku langsung membelokkan sepeda motor dan mulai menjauhi Anjani secara perlahan. Untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, aku harus mengawasinya lewat kaca spion.

Pada akhirnya aku gagal untuk mencoba acuh tak acuh, sepanjang perjalanan aku tidak pernah berhenti untuk bertanya siapa sebenarnya Anjani? Dan apa yang akan dia lakukan di depan pintu gapura perumahan? Dia sedikit misterius.

Bersambung...