webnovel

Bab 6 “OBLIVION”

Oblivion🥀;

tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita.

**

Keluarga besar Hils terpaksa menunda waktu keberangkatan mereka kembali ke Bern setelah mendapatkan kabar pingsannya Adora di rumah keluarga Mark. Mereka berlima, termasuk Chloe dan Adora, tadinya sudah akan menginap di Hôtel des Bergues, sebuah hotel bintang lima yang berlokasi tepat di Quai des Bergues 33, 1201 Swiss.

Sepakat bahwa rencana pernikahan Adora dan Mark akan dibicarakan lebih lanjut di musim panas Switzerland berikutnya, Hils dan Adams pun saling berpamitan di Bandar Udara Internasional Cointrin Jenewa. Mereka berencana akan pulang ke Bern keesokan hari. Tapi ketika jam baru menunjukkan pukul sembilan malam, Adora tiba-tiba saja pergi ke rumah keluarga Johan Adams yang letaknya tidak jauh dari gedunh agensi Muse.ic.

"Bibi pikir dia ingin meminta maaf padamu. Johan sudah sempat melarangnya, tapi dia keras kepala sekali."

Alexa yang sedang duduk di sisi ranjang pun mengangguk sebagai jawabannya. Dia menuntun Paulina menuju ruang tengah untuk melanjutkan perbincangan ringan sementara Mark dan Johnny menunggui Adora di bawah alam sadarnya.

"Maafkan kakakku," kata Johnny setelah hanya hening yang menyelimuti mereka. "Dia sering kali berubah secara mendadak. Mudah cemas juga, apalagi ketika ada di masa-masa seperti ini."

"Datang bulan maksudmu?"

"Ya, begitulah. Kak Adora memang selalu pingsan di hari pertama. Untung dia tidak mengeluh sakit perut disini."

Daripada membalas tatapan teduh milik Johnny, Mark malah lebih terfokus pada wajah damai Adora dalam lelapnya. Kening gadis itu masihlah berkerut tidak nyaman sehingga mau tidak mau, ibu jari Mark terus bergerak mengusapnya sejak awal guna menyalurkan rasa tenang secara tidak langsung. Melihat kegelisahan sang kakak, Johnny pun ikut bergerak gesit. Dia menyelimuti telapak mungil Adora dengan genggaman hangatnya.

"Kau tahu perihal Adora yang ingin membatalkan rencana pernikahan kami?" tanya Mark tiba-tiba.

Johnny menggeleng, tapi wajahnya tidak memperlihatkan ketegangan. "Aku tahu dia akan ceroboh seperti itu. Ketika dia marah, maka semua hal akan dia anggap salah."

"Tapi kenapa? Emosinya baik-baik saja sebelumnya," protes Mark bingung. "Malam kemarin dia sempat bertanya soal Freya dan langsung jatuh pingsan. Dua kali aku merasa ingin mati, terhitung kejadian yang kali ini."

"Freya siapa, kak?"

"Freya Allen."

"Kak Adora jarang memperkenalkan teman-temannya, entah karena malu atau tidak punya," desis Johnny geli. "Aku kurang tahu siapa itu Freya, tapi Kak Mark sendiri patut bangga karena sudah dikenalkan langsung pada orang tua kami."

"Begitukah?"

"Tentu saja. Itu berarti Kak Mark adalah salah satu orang yang berharga untuknya."

"Tidak lagi sekarang," desah Mark sendu. "Aku tetap menjadi orang asing di matanya."

Kening si lawan bicara berkerut tidak setuju. Johnny menatap Adora cukup lama sampai akhirnya dia menarik tangan kiri Mark dan menangkupkan tangan tersebut di atas telapak tangan dingin Adora untuk menggantikan genggamannya tadi. Mark sontak meliriknya dalam diam. Ingin bertanya kenapa, tapi Johnny sudah lebih dulu bangkit berdiri.

"Mau kemana?"

"Mengurus kepulangan kami lagi," sahut Johnny singkat. "Aku percaya Kak Mark bisa diandalkan."

Mark tanpa sadar mengeratkan genggaman tangan mereka. Netra kelamnya berpaling kembali ke arah garis wajah Adora, menelisik seluruh gurat gelisah yang tersirat disana. Walaupun Johnnya nyatanya masih berdiri di dekat sana, Mark tidak merasa enggan samasekali. Dia merunduk pelan dan mendaratkan sebuah kecupan kecil di kening kekasihnya itu.

"Benar, kau mencintainya."

"Aku tidak terbiasa merendahkan diriku sampai di titik ini, Johnny. Sayangnya Adora terlalu takut akan kehidupan di masa depan."

"Maka dari itu aku berharap banyak Kak Mark bersedia menuntunnya. Wajar kalau Kak Mark marah sekarang, tapi tolong jangan pergi. Aku berani menjamin Kak Adora tidak meyakini ucapannya sendiri. Dia pasti akan menyesal."

"Aku memang tidak pernah berniat pergi," balas Mark sungguh-sungguh. "Aku memaknai ucapanku yang ingin menikahinya. Tapi kalau Adora memaksa pergi, aku bisa apa selain melepasnya?"

"Ikuti dia."

**

Berbeda dari permainan-permainan musik sebelumnya, kali ini Mark hanya duduk merenung di hadapan sebuah upright piano berwarna silver gelap yang terpajang di depan jendela kamarnya. Pemandangan gemerlap yang kota Jenewa tawarkan menjadi tidak lagi menarik setelah rintihan sakit dari alam bawah sadar Adora terdengar.

Ketika rintihan tersebut makin keras dan tanpa jeda, Mark pun berlari mendekat ke arah sisi ranjang. Dia duduk disana dan mengusap puncak kepala Adora perlahan-lahan. Mata gadis itu mungkin memang tertutup rapat, tapi Mark merasa Adora masih dapat mendengar sedikit kata-kata menenangkan yang dia lontarkan tepat di sebelah telinganya.

Penghangat ruangan konvensional padahal sudah dinyalakan sejak awal, anehnya Adora tetap menggigil kedinginan. Pelukan lengan Mark yang melingkar di sekitar perutnya ternyata tidak memberikan dampak besar. Dia menangkup telapak tangan Adora dan meniup sedikit udara disana, berharap hangat akan mampu menembus kulit pucat gadis itu.

Tok! Tok!

Mark menoleh ke arah pintu utama kamarnya. Menghindari suara ketukan terdengar lagi, Mark pun buru-buru turun dari sisi ranjang kemudian membukakan pintu. Persis seperti yang dia duga, sosok Alicialah yang berdiri disana. Adiknya itu memeluk sebuah selimut abu-abu tebal dengan mata yang sayu habis tertidur.

"Kenapa mendadak meminta selimut, sih?" gerutunya kesal. "Selama ini Kak Mark tidak bisa memakai selimut, kan?"

Mark mengambil alih selimutnya sambil tersenyum gemas. "Bukan aku."

"Huh?"

"Ada Adora di dalam. Sakit."

Alicia berjinjit, mengintip ke dalam keadaan kamar Mark dari atas bahu tegap kakaknya. Setelah matanya berhasil melihat tubuh Adora di atas tempat tidur, barulah dia mundur beberapa langkah, balas menatap Mark seraya memperlihatkan senyum menggodanya.

"Oh, baik sekali."

"Tidur!" bisik Mark pura-pura marah. Dia mendelik dan mendorong tubuh Alicia ke arah lorong kamarnya. "Sudah malam, jangan coba-coba membuat gosip lain sekarang."

Mesikpun tidak melawan dorongan dari Mark, Alicia tetap melirik kakaknya itu sok malu-malu. Mark tertawa kemudian menangkupkan tangannya di wajah bulat Alicia, memaksa gadis itu nasuk ke dalam kamar. Mereka saling melambai kecil sampai akhirnya pintu kamar Alicia tertutup, meninggalkan Mark yang kini berdiri lelah di depan sana. Dia tentu bukan memikirkan kata-kata Alicia, melainkan Johnny. Masih ada hal yang Mark rasa aneh, entah karena hidupnya terlalu monoton selama ini atau karena hidup Adora terlalu penuh lika-liku.

"Kak Mark?"

"Johnny? Aku kira kau sudah kembali ke hotel."

Johnny mengusap tengkuknya gugup. "Maaf kak, Ibu tidak mau meninggalkan Kak Adora sendirian. Sepertinya kepulangan kami hari ini juga dibatalkan."

"Hei, kenapa minta maaf? Menginaplah sepuas kalian. Tapi bukankah kau harus bekerja besok?"

"Terpaksa mengambil cuti lagi, kak. Aku tidak nyaman kalau meninggalkan semua keluarga di rumahmu, apalagi ada Ibu dan Ayah disini."

Mark menggeleng ramah. "Jangan dipikirkan. Rumahku selalu sepi. Jika saja bukan karena kedatangan keluarga Hils, aku, Alexa dan Alicia sudah pasti tidak menginap di tempat ini."

"Ah, terima kasih banyak, Kak Mark."

Satu anggukan tulus Mark berikan sebagai jawaban. Dia menepuk pundak Johnny beberapa kali sebelum berbalik pergi dari titik lorong tersebut guna kembali ke dalam kamar tidur miliknya sendiri. Beruntung Alexa dan Alicia rela berbagi kamar mereka, hingga kelurga Hils yang lain tidak perlu repot-repot menggunakan kamar tamu di lantai bawah.

Kamar Mark yang memang didominasi oleh warna hitam dan putih berubah menawarkan cahaya kekuningan dari pantulan sinar rembulan malam. Mark melangkah mendekati jendela besar di depan piano lalu menutup gordennya. Adora masih tertidur tapi lebih meringkuk dari posisi yang sebelumnya, bertanda dia lebih merasa kedinginan. Melihat hal tersebut, Mark sontak menyelimuti sebagian tubuh gadis itu menggunakan selimut abu-abunya sampai hanya menyisakan kepala Adora saja.

"Adora, kau ingin aku menemanimu?"

Tanpa kata, tanpa tanda-tanda lain, Adora lantas membalikkan badan memunggungi sosok Mark yang duduk di pinggiran ranjang.

Tahu bahwa dia mustahil dapat tertidur setelah melihat jarum jam yang jatuh di pukul setengah empat malam, Mark pun memilih tidak tidur sekalian. Dia menyeret langkah ke arah kursi di depan piano lalu membuka lid piano itu hati-hati. Tangannya mengepal sesaat untuk melemaskan tulang-tulang jari yang kaku kemudian mulai menekan beberapa tuts hitam putih disana sehingga nada musik klasik Gymnopédie no 1 dari Erik Satie terdengar memenuhi ruangan.

Mark selalu tenang jika memainkan sebuah lantunan klasik, jadi dia berpikir Adora akan merasakan hal yang sama.

"Kau mengganggu waktu tidurku."

Suara lembut yang terkesan agak parau sukses membuat punggung Mark menegap. Dia berhenti memainkan tarian jemarinya dan berpaling ke arah belakang, menemukan Adora sedang berusaha bangun sambil memegangi kompres hangat yang tadi Alexa sempat letakkan di atas perutnya.

"Sudah lebih baik?"

"Sedikit," sahut Adora sembari menjulurkan tangan pada Mark yang baru mendekatinya. Lelaki itu dengan sigap menerima uluran tangan Adora lalu ikut duduk di sebelahnya, menawarkan dadanya sebagai sandaran bagi tubuh si kekasih. "Kenapa tidak tidur?"

"Sudah terlalu larut. Jam tujuh nanti aku harus pergi ke gedung agensi, jadi ya begitu."

Adora menekan kepalanya lebih dalam ke dada Mark seraya memejamkan mata lelah disana. Tidur dalam jangka waktu yang lama memang tidak pernah berakhir baik. Tubuhnya sakit dan dia malah merasa semakin mengantuk setelah terbangun. Adora tahu tatapan Mark kini terfokus pada wajahnya, tapi dia sangat kelelahan untuk sekedar balik menatap lelaki itu.

"Kau akan tidur lagi?" keluh Mark sedih. "Aku pikir kau akan terjaga menemaniku."

Tepukan pelan tangan Adora di sisi kosong ranjang membalasnya. "Kalau begitu tidurlah disini. Daripada aku yang terjaga, lebih baik kau yang ikut tertidur."

"Tidak perlu. Aku akan beristirahat di sofa nanti."

"Seolah-olah ini rumah milikku saja," desis Adora.

Mark tertawa, mengeratkan pelukannya di perut Adora. "Nanti juga jadi milikmu, kan?"

Mengacuhkan perkataan Mark, Adora malah mengernyit memegangi kedua sisi keningnya. Tidak terlihat gurat kesakitan di wajah Adora, tapi rasa tidak nyaman jelas tercetak di kerut keningnya.

"Kau baik? Masih sakit?"

"Kemarin sesuatu sudah terjadi di antara kita. Benar?"

"Lupakan saja. Aku tidak ingin mengingatnya lagi."

"Karena kau seperti ini, aku jadi semakin yakin jika ucapanku kemarin pastilah sangat sembarangan," ringis Adora takut-takut. "Aku berharap banyak setidaknya Johnny sudah ada mengatakan sesuatu tentang emosiku."

"Hei hei, tidak masalah. Aku baik-baik saja. Tapi Johnny memang sudah sempat bercerita bahwa emosimu selalu sulit dikendalikan di saat-saat tertentu, apalagi dalam kondisi sekarang ini," jawab Mark lembut. "Sudah, jangan dipikirkan."

"Apa maafku masih berarti bagimu, Mark?" Adora mendongak, menatap sendu netra kelam lelaki di belakangnya.

Mark yang juga merunduk pun memberikan anggukan paling cepat. "Tentu saja. Aku menerima maafmu kapan saja. Malah aku merasa lebih beruntung setelah tahu hal yang satu itu."

"Kenapa?"

"Karena aku tahu kau masih seorang manusia yang memiliki kekurangan."

Adora tertawa kecil mendengarnya. Dia pelan-pelan menarik telapak tangan Mark guna melukiskan pola acak di kulit hangat si lelaki.

"Kembalilah tidur. Aku menemanimu dari sofa itu, ya?"

"Tubuhmu akan sakit."

"Tetap saja bukan aku yang harus manahan sakit perut hari ini," balasnya gemas. Sebelum benar-benar beranjak pergi, Mark membantu Adora membaringkan tubuhnya. "Kau butuh air hangat baru untuk kompresnya?"

Adora menggeleng, meraba sisi kanan tempat tidur dan meraih bekas kompres yang ternyata telah jatuh merosot ke atas permukaan ranjang. "Maaf, tempat tidur dan selimutnya jadi basah karena ulahku."

Memasang wajah kagetnya, Mark dengan jahil menyahut, "Aku akan menghubungi Jeffrey agar dia mencari tahu harganya."

"Serius?" seru Adora panik.

"Aku perlu menggelar satu konser kecil untuk menggantinya lagi." Mark lalu mendekatkan wajahnya tiba-tiba. "Tenang, masih ada satu cara lain supaya kau tidak perlu repot-repot mengganti rugi."

"Apa?"

"Jadi pemiliknya dulu."

Sadar dibohongi, Adora langsung merenggut kesal. Dia tanpa segan menggigit ujung jari kelingking Mark yang masih ada dalam genggaman tangan mungilnya. Mark masih setia terbahak-bahak, tidak menjerit atau mengeluh kesakitan. Setelah agak lama, barulah Adora melepas gigitannya. Sambil mengayunkan tangan kiri Mark di udara, dia mendadak menggeram sedih.

"Kenapa lagi?"

"Apa kau akan melepaskan aku kalau kejadian seperti kemarin terulang lagi?"

Persis sama seperti dugaan, senyum Mark hilang secepat kilat.

"Bagaimana aku bisa menahan diriku sendiri?" tanya Adora lagi. "Bagaimana aku bisa hidup dalam lautan sesal nantinya?"

Mark berlutut tiba-tiba. "Kau yakin kau akan menyesal kalau aku menuruti keinginanmu suatu hari? Maksudku keinginanmu yang hanya dilandaskan oleh emosi belaka."

"Ya."

"Kau yakin aku akan membuatmu bahagia kalau aku tetap bertahan?"

"Ya."

"Tapi bagaimana kalau kau yang pada akhirnya melangkah pergi? Haruskah aku bertahan juga?"

Adora menarik nafas sesaknya dalam-dalam, menyiapkan diri sebelum memberi sebuah jawaban. "Kau boleh pergi. Kau boleh pergi ke mana saja. Memintamu tetap bertahan, itu berarti akulah yang paling egois disini, kan?"

"Kalau kau dapat memastikan dirimu akan datang kembali padaku, aku bersedia menjadi egois juga, Adora. Aku tidak keberatan harus menunggu lebih lama. Cukup katakan-"

Cup!

Mark mengerjap kaget, kehilangan seluruh akal sehat dan pikirannya begitu satu kecupan singkat dari Adora mendarat malu-malu di bibirnya. Sebelum sempat berkata hal lain, tangan Adora menyekap bibirnya sendiri terburu-buru. Rona merah menghiasi wajah gadis itu, yang mana mau tidak mau berhasil membuat Mark menganga takjub.

"Kau memang luar biasa."

**

"Haruskah Adora ikut pulang hari ini?"

Adora yang tadinya sibuk menyiapkan sarapan di pantry dapur sontak menoleh, meletakkan salah satu piring kosong dari tangannya di atas meja.

Jam mungkin memang baru menunjukkan pukul enam pagi hari, tapi seluruh keluarga Hils dan Adams, kecuali Alicia, nampaknya sudah berkumpul di ruang tengah, menunggui Alexa dan Adora selesai memasak makanan mereka. Mark tidak tampak disana, melainkan sibuk sendiri menyiapkan diri untuk kembali pulang ke gedung agensi Muse.ic. Lelaki itu terus mondar-mandir sambil tidak tanggung-tanggungnya memberikan kecupan singkat di kening Adora beberapa kali.

"Kenapa lagi, Ma?" tanya Mark heran.

Megan mendesah sedih. "Kau dan adik-adikmu yang lain juga harus pergi sekarang, ya? Tahu begini, Mama dan Papa diam di Manhattan saja kemarin."

"Yakin mau tinggal bersama kakek seharian?"

"Tidak, sih."

Memilih menghentikan acara sibuk sendirinya, Mark pun menghampiri sang Ibu yang duduk di salah satu kursi tinggi di meja pantry. Dia memeluk wanita paruh baya itu erat sambil membisikkan kata-kata menenangkan.

"Kan bukan hanya Mama saja yang kesepian. Kalau Adora diam disini, Bibi Paulina yang akan kesepian, kan?"

"Kalau begitu kau jangan pergi ke gedung agensi ya, Mark? Menginap disini setidaknya satu malam lagi. Tidak rindu pada Mama memang?" tanya Megan nyaris berbisik.

Mark mengerutkan kening sambil menggeleng protes. "Ma, sudah hampir satu minggu penuh aku ijin dari Muse.ic. Tidak ada rencana konser bukan berarti aku boleh bebas begini."

"Tapi buktinya kau tetap menghabiskan lebih banyak waktumu di gedung agensi."

"Begini ya, nanti aku akan meminta ijin untuk Alicia supaya dia masih bisa menginap di sini satu malam lagi. Kurasa tim orkestra juga tidak sibuk-sibuk sekali sekarang. Bagaimana?" tawar Mark.

Akhirnya Megan mengangguk setuju. Dia menepuk punggung Mark lembut sebelum melepaskan pelukan mereka guna membenarkan kerah kemeja hitam putranya yang terlihat agak kusut.

"Setelah musim semi berakhir, aku akan datang ke Jenewa, Bibi. Kalau Bibi bersedia, maukah Bibi diam di rumah ini bersamaku?"

Mendengar perkataan cerah Adora, Megan tentu tidak mampu menahan sudut bibirnya yang terangkat lebih tinggi. "Tentu saja Bibi bersedia. Alexa dan Alicia selalu sulit merasa kerasan disini."

"Bukan sulit kerasan, Ma, tapi jadwal kami sudah mulai padat sekali. Tidak nyaman menginap sambil membawa beban pikiran," elak Alexa dari jauh.

Menghiraukan pembicaraan-pembicaraan lain yang tercipta antar dua pihak keluarga. Mark diam-diam mendekati Adora. Walaupun dia adalah pihak yang sudah paling rapi diantara mereka, Mark tetap tidak keberatan jika harus memeluk sisi belakang tubuh Adora. Bau asap makanan menyeruak, tapi Mark merasa betah sekali menumpukkan dagunya di bahu milik sang kekasih.

"Ibumu rindu sekali kedengarannya."

"Jangan salah paham. Aku juga sebenarnya rindu sekali, tapi Jeffrey sejak tadi semalam terus menghubungiku dan memohon agar aku bergegas datang ke Muse.ic pagi ini."

"Memang ada masalah?"

"Bukan masalah, hanya masa cutiku memang sudah habis. Petinggi agensi yang baru sangat berbeda dari sebelumnya. Kami tidak dekat," jawab Mark sembari melingkarkan tangannya pada pinggang Adora.

"Jaga sikapmu sedikit," bisik Adora, berusaha menyentak bahunya agar Mark pergi menjauh. "Ini yang kau katakan tentang keluarga Adams yang selalu menjaga skinship mereka?"

"Masa bodoh. Lagipula kita akan menikah."

"Akan berarti belum."

Mark mengambil langkah mundur, menyerah dalam perdebatan konyol yang mungkin terjadi jika dia tetap keras kepala. "Aku harus pergi ke gedung agensi sekarang. Maaf ya tidak bisa ikut mengantarmu pulang."

"Kau berkata seolah aku ini pergi sendirian saja. Ada Thomas dan Johnny yang ikut pergi bersamaku, Mark," balas Adora gemas. "Sini, ambil sarapanmu sebelum berangkat."

"Tidak bisa. Aku sudah terlambat," keluh Mark seraya mundur makin jauh. Sayangnya belum ada tiga langkah, tangan kiri Adora yang kebetulan sedang tidak memegang spatula lebih cepat menahan lengannya. "Kenapa hm?"

"Aaa! Buka mulutmu!"

Setelah satu suapan Mark terima di dalam mulutnya, dia lantas mengernyit. "Tunggu! Bircherműesli?"

"Iya, sarapan sehatku. Mau lagi?"

"Aku tidak suka yang sehat-sehat."

Adora mendelik, sengaja menggigit bibirnya ke arah Mark sebagai bentuk rasa kesal yang mendalam. "Oh begitukah? Jadi ini berarti kau harus bersiap-siap dari sekarang."

"Kenapa?"

"Kalau masih berniat menikahiku, semua makananmu nanti tentunya akan bergantung padaku, kan?" Adora membalas dengan lidah yang terjulur jahil.

"Ah kalau urusan itu, tidak makan saja aku tidak masalah."

"Omong kosong!"

tbc

Next chapter