"Kamu harus menikah dengan Ghaisan, Kinay!" ucap seorang lelaki tua dengan janggut sedikit dihiasi warna putih.
Gadis cantik berhijab lilac itu seketika terperanjat kaget mendengar perintah lelaki tua yang tak lain adalah gurunya sendiri. Menikah dengan Ghaisan? Tentu ini adalah suatu perintah yang sangat mengejutkan baginya. Ghaisan Altezza Mahendra adalah seorang lelaki tampan putra seorang donatur di pondok pesantren Al-Barokah.
Sementara Kinayya adalah seorang santri putri yang sudah enam tahun mondok di pesantren milik Kiyai Salahuddin dan Nyai Inayah. Kinayya begitu terkejut dengan perintah yang baru saja ia dapatkan dari sang maha guru. Seperti yang ia tahu, bahwa Ghaisan sudah akan menikah dengan seorang wanita yang tak kalah cantik olehnya. Pernikahan itu bahkan akan dilaksanakan dua hari mendatang. Lantas, mengapa kini dirinya yang diperintah untuk menikah dengan Ghaisan?
"A–apa? Me–menikah dengan Ghaisan?" Sontak saja Kinayya membulatkan matanya dan begitu syok dengan apa yang ia dengar. Ia tampak gugup dan seperti tidak percaya akan apa yang gurunya perintahkan.
"Abah paling tidak suka bicara diulang-ulang!" tegas Kiyai Salahuddin penuh penekanan.
Kinayya tampak menelan ludahnya kasar dan hanya menunduk tanpa kata. Sekali perintah, tetap perintah. Ia sungguh tahu itu. Gurunya yang sudah seperti orang tuanya sendiri saat ini begitu terlihat serius dan penuh desakan. Sementara ia, sungguh bingung dan diselimuti rasa heran yang mendalam.
"Kinay, dengarkan Umi. Abah memerintahkan kamu untuk sedia menikah dengan Ghaisan—putra sulung Pak Harun," ucap Nyai Inayah dengan lembut dan hangat. Tatapan dan cara bicaranya sungguh berbeda dengan Kiyai Salahuddin yang tegas dan penuh ancaman.
Kinayya mendongakkan wajahnya sedikit dan menatap sang guru. Namun, tentu saja tak mengurangi rasa hormatnya pada sang guru yang mulia dan berjasa banyak padanya. Kali ini ia akan angkat bicara. Bukan bicara untuk berdebat ataupun menolak perintah dari gurunya itu. Akan tetapi, ia akan menanyakan soal pernikahan Ghaisan.
"Mohon maaf, Umi. Bukankah Kak Ghaisan itu sudah akan menikah?" tanya Kinayya dengan suara yang rendah dan lembut.
Nyai Inayah mengangguk lantas tersenyum. "Benar, Nak. Ghaisan memang akan menikah dengan kekasihnya itu. Namun, ternyata Allah memberi cobaan padanya. Di saat sebentar lagi ia akan menghalalkan kekasihnya itu, tiba-tiba saja kekasihnya pergi meninggalkannya ke Eropa." Ia menjelaskan pada Kinayya apa yang sebenarnya terjadi.
Lagi-lagi Kinayya tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan begitu terkejut dengan apa yang ia dengar. Bagaimana bisa seorang calon istri tiba-tiba pergi jauh ke luar negeri dan meninggalkan pernikahan yang sudah tinggal selangkah lagi. Jujur saja ia kini begitu heran dan penasaran, mengapa hal itu bisa terjadi. Padahal, calon istri Ghaisan adalah kekasihnya sendiri. Mereka berpacaran selama lima tahun. Sebab itulah kedua orang tua Ghaisan mendesak dan memerintahkan Ghaisan untuk segera menghalalkan kekasihnya itu.
"Astaghfirullah! Kenapa kekasih Kak Ghaisan tiba-tiba pergi? Kalau dia pergi seperti ini, untuk apa mereka merajut kasih selama lima tahun? Sungguh tidak ada gunanya. Jadi, cinta di antara mereka, bagaimana? Ya salam." Kinayya berceloteh di dalam hati.
"Kamu mau kan, Kinay? Abah harap kamu masih memiliki rasa takdzim dan mahabbah pada kami," desak Kiyai Salahuddin.
Kinayya menunduk lagi dan masih bingung harus menjawab apa. Sementara di sudut lain, seorang lelaki tampan tak sengaja mendengar pembicaraan di antara Kiyai Salahuddin, Nyai Inayah dan Kinayya. Lelaki itu sangat terkejut dengan apa yang saat ini terjadi.
"Mohon maaf, Abah. Jika Ghaisan tidak jadi menikah dengan calon istrinya, mengapa harus Kinayya yang menjadi badalnya?" ucap Akmal yang tiba-tiba datang dan langsung menyosor.
Kinayya tampak membulatkan kedua bola matanya penuh dan menatap kaget pada sosok lelaki tampan yang kini duduk di sofa samping Nyai Inayah. Ya, lelaki itu adalah Akmal Muhammad Zaidin. Lelaki tampan, berkharisma, sholeh dan putra bungsu Kiyai Salahuddin dengan Nyai Inayah. Kinayya menelan salivanya kasar dan kini dadanya semakin berdegup kencang saat sekilas ia melihat raut kesal dan tak terima dari wajah Akmal.
"Memang kamu pikir siapa lagi yang pantas? Di pondok pesantren ini, hanya Kinayya yang paling terlihat aura kecantikan dan kesholihahannya. Dia juga sudah beranjak dewasa dan sudah pantas untuk menjadi istri. Abah yakin, Kinayya pasti bisa menjadi istri yang baik untuk Ghaisan." Kiyai Shalahuddin tampak menekan setiap ucapannya dan sedikit meninggi intonasinya.
Akmal terlihat mengusap wajahnya berkali-kali. Rahangnya mengeras dan matanya kini berkilat marah. Namun, tentu saja ia tak bisa melawan Abahnya itu. Lagi pula, Abah maupun Uminya belum tahu apa yang ada di dalam hatinya.
"Bukan itu masalahnya, Bah!" ujar Akmal dengan suara yang tetap rendah. Walau dada sudah panas dan bergemuruh, namun ia tetap berusaha untuk tenang dan tidak melakukan tindakan yang akan membuat perkelahian dan kekacauan.
Kinayya memejamkan matanya dan membuang napasnya berat. Ia sungguh tak menyangka akan berada di titik tersulit seperti ini. Tuhan pun tahu jika ia saat ini sedang dilematis. Bagaimanapun, Kiyai Salahuddin adalah sosok guru yang begitu berjasa dan tentunya wajib untuk ia hormati dan patuhi perintahnya. Apa lagi, saat ini ia masih menjadi santri di pondok pesantren Al-Barokah itu.
Namun, di samping itu juga, terselip penolakan dan rasa berat hati untuk mematuhi perintah sang guru. Bukan karena ia takut pada Ghaisan yang selalu berekspresi dingin jika berpapasan. Bukan juga karena ia belum siap untuk menikah. Akan tetapi, ada sebuah hati yang harus ia jaga. Ia sungguh tak ingin mematahkan hati itu. Namun, mampukah ia mempertahankan satu hati yang sudah lama terikat dengan hatinya? Entahlah.
"Lalu masalahnya apa, Nak? Satu jam yang lalu Pak Harun datang menemui Abahmu. Beliau mengadukan permasalahan yang sedang menimpanya. Dengan tangis dan permohonan, Pak Harun meminta tolong pada Abahmu untuk mencari jalan keluar. Setelah dimusyawarahkan, akhirnya dapatlah satu solusi yaitu mencarikan seorang wanita yang bisa dinikahi oleh Ghaisan!" papar Nyai Inayah penuh penjelasan.
Akmal benar-benar terkejut mendengar apa yang Uminya katakan. Tentu saja ia tak menyangka jika kedua orang tuanya tega menjadikan Kinayya sebagai wanita pengganti. Terlepas dari alasan apa pun, Akmal tetap marah dan tak terima dengan apa yang kedua orang tuanya perintahkan pada gadis cantik yang bersimpuh di lantai dengan kepala menunduk. Sungguh hatinya sangat pilu dan terasa perih seperti tersayat belati.
"Ini tidak adil, Umi. Harusnya Umi dan Abah hargai perasaan Kinayya. Apakah ridho dia menjadi wanita pengganti? Ya salam. Semestinya, Ghaisan selesaikan masalah yang menimpanya dengan caranya sendiri. Dia laki-laki, harusnya memiliki cara yang bersih dan mantap untuk menyelesaikan masalahnya dengan calon istrinya itu!" ujar Akmal yang tampak menekan setiap ucapannya.
BERSAMBUNG...