"Benar, Nak. Kamu akan menikah dengan seorang gadis yang mondok di pesantren milik Abah Kiyai Salahuddin. Kami sudah sepakat akan hal ini," jawab Mama Hana dengan tatapan serius dan berharap putra tunggalnya itu akan setuju.
Ghaisan benar-benar terkejut dengan pernyataan sang Mama. Tentu saja ia baru tahu jika ternyata kedua orang tuanya sudah mencari wanita lain untuk ia nikahi. Lantas, apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah ia terima keputusan kedua orang tuanya itu? Atau, mungkin lebih baik ia hentikan semuanya dan memilih untuk tidak menikah dengan siapa pun termasuk Syakila dan wanita pilihan kedua orang tuanya itu.
"Kami lakukan ini agar kamu tetap menikah, Nak. Semua biaya dan persiapan yang sudah kita keluarkan tentu tidak akan mubazir dan sia-sia jika kamu benar-benar menikah. Maka dari itu kami mengadu pada Abah Salahuddin tentang masalah ini. Beruntungnya, kami langsung mendapatkan solusi yang tepat," timpal Pak Harun yang tak kalah seriusnya.
Ghaisan mengusap wajahnya kasar dan membuang napasnya berat. Jika dipikir-pikir, memang biaya yang telah mereka keluarkan tidaklah sedikit. Tentu saja hal ini sangat disayangkan jika Ghaisan benar-benar gagal menikah. Akan tetapi, apa artinya sebuah pernikahan tanpa dilandasi dengan rasa cinta?
Keluarga Syakila memang sudah meminta maaf dan begitu menyesali atas perbuatan Syakila yang terbilang nekat. Dana yang telah mereka terima pun akan dikembalikan pada keluarga Ghaisan. Namun, tentu saja keluarga Ghaisan tetap merasa percuma dan mereka hanya ingin melihat Ghaisan menikah di hari yang telah ditentukan. Mengingat surat undangan yang telah tersebar ke penjuru dunia, membuat Pak Harun merasa keberatan jika Ghaisan benar-benar batal menikah.
"Kenapa Papa dan Mama melakukan ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan Ghaisan?" tanya Ghaisan yang kini berdiri tegak.
"Karena kami pikir kamu pun akan setuju. Sebab, kamu pasti malu pada teman-teman dan rekan bisnismu jika pernikahanmu batal," jawab Pak Harun dengan jelas dan tegas.
"Tapi Pap—" Ghaisan belum sempat menyelesaikan ucapannya, dengan cepat Pak Harun menyelanya.
"Tidak ada kata tapi! Pokoknya kamu akan tetap menikah dengan santri Abah Salahuddin!" ujar Pak Harun penuh penekanan dan tanpa bantahan. Setelah itu, ia pun berlalu dengan istrinya meninggalkan Ghaisan sendiri.
"Argh!" pekik Ghaisan seraya menghempaskan tinjunya meluapkan kekesalan yang semakin menjadi.
Jika sudah seperti ini, tentu keputusan sang Papa sudah tidak dapat diganggu gugat. Walaupun ia sering berbeda paham dan berselisih tentang pendapat masing-masing, akan tetapi ia pun tetap mengedepankan keutuhan hubungan antara orang tua dan anak. Tentu saja ia harus patuh dan tidak membuat sang papa marah besar padanya.
Sementara itu di tempat lain, Kinayya merasa jika sang kekasih tengah memusuhinya. Setiap kali ia berpapasan dengan Akmal, lelaki tampan itu tak sedikit pun memberikan tatapan dan senyuman padanya. Bukankah itu berarti Akmal sangat marah dan kecewa padanya? Ya, tentu saja ia sudah tahu jika kekasihnya itu pasti sangat kecewa dengan keputusannya yang menyetujui perintah gurunya.
Kabar pernikahan Kinayya dengan Ghaisan secara mendadak itu pun kini sudah tersebar di seluruh penjuru pondok pesantren Al-Barokah. Tiada yang tidak tahu pada sosok Ghaisan yang tampan itu. Sebagai seorang putra donatur besar di pondok pesantren itu, Ghaisan memang sering datang ke sana dengan sang papa. Terkadang, ia datang sendiri mengantarkan bahan makanan untuk para santri di sana.
"Benar Teh Kinayya mau menikah dengan Pak Ghaisan? Subhanallah. Beruntung sekali ya bisa jadi istri Pak Ghaisan yang tampan dan mapan itu," ucap seorang santri yang tampak antusias.
Kinayya tersenyum kecil dan sebenarnya malas sekali menanggapi. Bahkan, ia sendiri tidak pernah berbicara apa pun tentang pernikahan yang akan terjadi. Pasalnya, pernikahan itu bukanlah keinginannya. Apa lagi menikah dengan sosok lelaki yang sama sekali tidak ia cintai.
"Jangan lupakan kami, ya, Kinayya. Kamu pasti nanti akan menjadi sosok istri yang bahagia bersama Pak Ghaisan. Kami harap, kamu tidak sombong dan tidak pernah berubah. Tetap baik dan rendah hati," timpal Anisa yang tak lain adalah teman baik Kinayya.
"Kamu bicara apa, Nisa? Tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu dan juga teman-teman yang lain. Kalian semua sudah menjadi keluargaku sendiri," ucap Kinayya dengan senyuman merekahnya.
"Aamiin. Semoga saja kamu tidak berdusta," balas Anisa.
"Doakan saja yang terbaik untukku, Nisa. Menikah itu bukanlah suatu perkara yang mudah," ucap Kinayya seraya membuang wajahnya ke udara. Saat ini, mereka berada di atas loteng tempat para santri biasa bersantai.
"Tentu saja, Nayy. Menikahnya mungkin mudah. Tapi, menjalankannya itu yang tidak mudah. Kamu harus menjadi istri yang baik dan sholehah. Walaupun Pak Ghaisan itu bukan siapa-siapa bagimu, dan mungkin kamu tidak mencintainya, tapi ... kamu tetap harus patuh dan berbakti padanya saat kalian sudah menikah nanti," balas Anisa dengan tatapan yang serius.
Kinayya tersenyum hangat. Ia sangat bersyukur karena memiliki teman baik yang senantiasa mengingatkan dirinya pada kebaikan. Namun, walau ia tersenyum dan seolah setuju dengan ucapan sahabatnya itu, jauh di dalam lubuk hatinya terbesit kekhawatiran yang begitu besar. Ia sungguh tidak tahu apa yang akan terjadi nanti.
"Kamu benar, Nisa. Tapi ... aku sungguh khawatir tidak mampu menjadi istri yang shalihah. Sebab, di dalam hatiku masih terukir satu nama yang tersimpan indah di sana. Nama itu kini memenuhi ruang di dalam hatiku. Bahkan, membayangkan berpisah dengannya saja aku sungguh tak sanggup," ucap Kinayya di dalam hati.
Keadaan saat ini sungguh rumit bagi Kinayya. Antara menuruti perintah gurunya atau mempertahankan hubungannya dengan Akmal. Jika ia menikah, ia sungguh takut tidak mampu menjadi istri yang shalihah. Namun, jika ia menolak dan mempertahankan hubungannya dengan Akmal, tentu saja ia pun sangat takut dibenci dan tidak mendapat berkah dari gurunya sendiri. Dilematis, itulah yang Kinayya rasakan saat ini.
Namun, bak seekor semut yang menyeberangi lautan, Kinayya sungguh tidak ada daya dan upaya selain menuruti perintah gurunya. Keputusan sudah bulat dan dari pihak keluarganya sendiri pun sudah menyetujui. Itu artinya, sebentar lagi Kinayya akan berperang dengan perasaannya pada Akmal dan statusnya sebagai seorang istri Ghaisan.
"Nis, aku mau ke kamar mandi dulu ya," ucap Kinayya seraya bangun dari duduknya.
"Iya, Nayy," jawab Anisa.
Kinayya pun bergegas melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Entah apa yang akan ia lakukan di sana. Buang air kecil atau mungkin hanya mencuci muka saja? Entahlah.
Sementara itu di sudut lain, Akmal baru saja keluar dari kamarnya. Sejak ia tahu bahwa kekasihnya akan menikah dengan Ghaisan, lelaki tampan berwajah Pakistan itu semakin sering berdiam diri di dalam kamar. Merenungkan nasib cintanya yang begitu menyakitkan.
BERSAMBUNG....