webnovel

Hidden.

Seorang wanita terbunuh dan aku adalah orang terakhir yang bersama dengan korban. Dan sialnya bukan hanya satu orang, ternyata ada satu korban lagi, dan satu lagi yang masih hilang. Wanita juga dan aku adalah orang terakhir yang bersama semua korban. Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku pelakunya? Apa aku yang membunuh mereka?

NurNur · Horror
Not enough ratings
30 Chs

» Harun dan Setiawan.

Setiawan sedang mengerjakan laporannya ketika sebuah pemberitahuan email masuk. IP pengirim berasal dari luar negeri, sementara tidak disertakan nama dan maksud pengirim. Hanya ada video yang dilampirkan dalam email dengan kapasitas 35mb.

Sebelumnya Setiawan tidak pernah menerima email anonim, selain email spam, sehingga ia menjadi sangat bersemangat. Ia mengunduh video dan dalam sekejap isi video diputar.

Durasi video yang diputar hanya sekitar 00:06:15 namun apa yang ingin disampaikan pengirim telah terbaca dengan jelas. Setiawan tidak perlu memutar otaknya dengan keras untuk mengetahui siapa yang berada dalam video dan di mana lokasi video diambil. Setiawan bisa mengingatnya dengan jelas dan langsung tahu saat melihatnya.

"Ah, Pak Harun!" Setiawan teringat pada partner seniornya yang sedang keluar untuk masalah pribadi. "Benar, jangan ditunda-tunda lagi."

Setiawan mencari-cari ponsel yang tertimbun tumpukan kertas. Ia harus segera memberitahu informasi penting ini. Sebelum ponselnya ketemu, panggilan dari Harun lebih dulu masuk.

"Kebetulan sekali." Setiawan berkata pada ponselnya.

"Dapat email anonim?" tanya Harun begitu panggilannya dijawab.

"Pak Harun juga?" Ada kekecewaan dalam nada bicara Setiawan. Ia pikir, ia satu-satunya yang dikirimi email. "Yang berisi video itu, 'kan?" Setiawan memastikan.

"Memangnya ada yang lain?" tanyanya Harun, Setiawan menjawab dengan volume suara yang terlalu rendah. "Kamu di mana sekarang? Tunggu di parkiran, kita jemput Raditya Dewangga untuk mengkonfirmasi informasi yang kita terima."

"Siap!"

Setiawan segera merapikan mejanya, menyimpan kembali tumpukan laporan yang berhambur, menarik ransel yang digantung di punggung kursi, dan melesat.

*****

Kendaraan melaju pada kecepatan rata-rata. Jalan raya tidak tampak padat karena jam istirahat siang telah berakhir sejam lalu. Begitu memasuki sebuah gerbang di kawasan perumahan menengah atas, kecepatan kendaraan menjadi lebih rendah lagi.

"Bagaimana, apa orang yang sebelumnya melaporkan Dewa karena kasus orang hilang sudah diketahui identitasnya?" Harun bertanya perkembangan tugas yang diberikannya pada Setiawan.

Setiawan menggeleng, "Nomor yang digunakan adalah nomor sekali pakai dan tidak didaftarkan dengan benar. Tapi saya memiliki dugaan."

Harun yang duduk di kursi kemudi menunggu Setiawan melanjutkan kalimatnya.

"Alexi Pratama. Adik kandung almarhum Rindang. Ketika saya ditugaskan mengawasi Dewa, beberapa kali saya menangkap basah anak itu memata-matai Dewa. Kemungkinan Alexi juga yang sebelumnya menelepon Kasturi dan memberikan informasi yang Dewa sebut sebagai kebohongan," jelas Setiawan.

"Masuk akal!" Harun menimpali sembari mengangguk-anggukan kepalanya.

"Beberapa hari lalu anak itu ditangkap oleh petugas patroli karena memasuki bangunan orang lain dan membuat keributan. Alexi bersikeras pemilik bangunan melakukan kejahatan di tempatnya. Semacam penculikan dan rencana pembunuhan."

Kalimat Setiawan memecah fokus Harun dalam menyetir, "Lalu?" tanyanya.

"Bangunan yang Alexi maksud adalah bangunan setengah jadi. Petugas memeriksa, tapi sama sekali tidak ditemukan adanya jejak penyekapan ataupun pembunuhan," jelas Setiawan.

"Alexi bagaimana?"

"Dibebaskan dengan jaminan. Dimas Cahyadi sebagai penjaminnya."

Harun mengangguk-anggukan kepalanya.

Setiawan berpikir sesaat sebelum mengungkapkan hal lain yang membebani pikirannya. "Sepertinya …" ia memberi jeda dalam kalimatnya "Alexi memiliki informasi yang menyesatkan dirinya dan berpotensi membuat masalah. Apa kita biarkan saja?"

Hening, tidak ada tanggapan.

Jeda kosong yang terjadi setelah kalimat yang Setiawan ucapkan selesai ia katakan, digunakan sebaik-baiknya oleh Harun untuk membuat pertimbangan. Setiawan yang sangat mengenal watak Harun yang selalu berhati-hati dalam membuat keputusan, tidak berencana mendesak.

"Sebenarnya bukan informasinya yang menyesatkan. Emosi yang anak itu libatkan dalam menarik setiap kesimpulan yang membuatnya tersesat," asumsi Harun. "Kita akan pikirkan cara mengatasi Alexi nanti. Hari ini kita fokus pada Dewa lebih dulu."

Setiawan mengangguk setuju.

Setelah menghabiskan waktu selama 20 menit, keduanya akhirnya sampai di depan rumah bertingkat dua, pagar stainless. Harun dan Setiawan turun dari mobil.

"Apa kita tidak perlu menghubungi Dewa lebih dulu?" Setiawan menjadi yang turun dari mobil pertama kali, bertanya.

"Sudah, tapi tidak dijawab. Jadi aku mengiriminya pesan singkat."

Harun memimpin jalan. Sebelum menyentuh kunci pagar, seseorang keluar dari dalam rumah. Dewa. Tampaknya pesan singkat yang Harun kirim baru saja diterimanya.

Ada yang tidak biasa dengan penampilan Dewa.

"Apa ada masalah?" tanya Harun. "Pertengkaran suami-istri?" tambahnya menerka.

Dewa menyentuh plester yang menempel di keningnya. Yang masih terasa nyeri. Matanya juga terlihat sembab.

"Tidak apa-apa," jawab Dewa seadanya. "Apa kita akan lama?"

"Tergantung bagaimana cara Anda bekerja sama." Harun tidak memberikan jawaban pasti. Dewa berpikir sesaat sebelum ikut masuk ke dalam mobil pribadi Harun.

"Istri Anda tidak apa-apa ditinggal sendiri?" Kali ini Setiawan yang bersuara.

"Saya akan menitipkannya pada seseorang," jawab Dewa. "Bisa kita mampir ke tempat lain sebelum ke kantor polisi?"

"Tidak masalah." Harun melempar kunci mobil ke arah Setiawan.

*****

Dewa memasuki sebuah bangunan dengan pintu kaca transparan tebal. Setiawan menunggu di mobil sementara Harun ikut masuk dan menunggu di sudut terdekat dari pintu keluar.

Kursi pengunjung yang dijajar rapi hampir terisi penuh dan semua pegawai terlihat sibuk. Ada 12 orang yang sedang menunggu obat yang telah diresepkan. Meski tidak masuk dalam antrean, Dewa ikut duduk di antara mereka.

"Ayah!" Anja yang berdiri di balik etalase berseru ketika menyadari keberadaan Dewa.

Orang-orang yang berada dalam ruangan, melihat Anja dengan tatapan aneh, terkejut. Tidak terkecuali Harun. Rekan kerja Anja yang sudah paham hanya tersenyum geli. Beberapa pengunjung berbisik-bisik dan tersenyum.

"Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu di tempat umum." Dewa yang merasa malu berbisik-bisik mengingatkan.

"Sudah terbiasa, jadi sering lupa." Anja meminta dimaklumi. "Kening Ayah kenapa?"

Dewa menggeleng. "Aku menabrak pintu. Oh iya, aku butuh bantuan." Anja tidak memotong. "Aku mungkin akan pulang larut. Bisa tolong jaga Kasturi? Perawat hanya bisa di rumah sampai jam tiga sore."

"Kenapa? Kalian bertengkar?" Anja terlihat panik.

Dewa menggeleng. "Ada yang harus aku urus," tambahnya menoleh ke arah Harun sebelum menjawab. "Oh iya, tolong hibur Kasturi juga. Suasana hatinya sedang buruk."

"Kalian benar-benar bertengkar?" Dibanding panik, kali ini nada suara Anja lebih terdengar sedih.

"Hanya masalah kecil. Jangan khawatir!" Dewa tidak akan sempat untuk bercerita meski dia ingin. "Apa sepulang kerja nanti perlu kupesankan ojek online?" Dewa menawarkan.

Jarak apotek tempat Anja bekerja cukup jauh dari rumah Dewa. Biasanya memang Dewa yang menjemput atau mengirim ojek online jika butuh bantuan untuk menjaga Kasturi. Maka kali ini pun sama.

"Aku bisa pulang satu jam lagi dan bisa pinjam kendaraan teman."

"Kendaraan? Kamu bisa? Sejak kapan?" Dewa jelas terkejut.

Anja adalah manusia yang berbeda dari kebanyakan manusia. Tersenyum ramah, tapi tidak pandai bersosialisasi. Kepribadiannya tertutup. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi. Tidak memiliki ponsel. Entah bagian lain dari dirinya hidup di jaman apa.

Dewa sama sekali tidak mengerti. Jalan pikiran Anja terlalu rumit sehingga ia tidak bisa menebaknya.

Setahu Dewa, Anja memang tidak bisa mengendarai kendaraan apa pun. Tidak pernah belajar. Entah itu sepeda, motor, apalagi mobil. Tidak ingin. Tidak pernah tertarik meski Dewa sering kali coba menawari. Begitu juga ponsel yang sebagian besar orang telah menganggap keberadaannya sebagai kebutuhan pokok mereka.

Meski tidak biasa dihubungi, Anja tipe yang mudah ditemukan. Jika tidak di apotek, pasti di rumah. Hanya di kedua tempat itu kesehariannya berulang. Anja pun selalu datang setiap kali Dewa butuh bantuan. Benar-benar dapat diandalkan.

"Baru-baru ini," jawab Anja sembari tersenyum bangga.

Dewa hanya mengangguk, kemudian pamit.

Harun yang masih berdiri di sudut terdekat pintu siap beranjak ketika dilihatnya Dewa telah berbalik. Meski tidak biasa menangkap isi pembicaraan Dewa secara utuh, setiap gerak-gerik dan perubahan mimik Dewa terekam dengan jelas melalui sudut mata Harun.

_abcde_