webnovel

Hidden.

Seorang wanita terbunuh dan aku adalah orang terakhir yang bersama dengan korban. Dan sialnya bukan hanya satu orang, ternyata ada satu korban lagi, dan satu lagi yang masih hilang. Wanita juga dan aku adalah orang terakhir yang bersama semua korban. Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku pelakunya? Apa aku yang membunuh mereka?

NurNur · Horror
Not enough ratings
30 Chs

» Anisa Kasturi.

"Dewa!"

Aku memanggil Dewaku yang suaraku langsung direaksi olehnya. Itu artinya pikirannya tidak pergi terlalu jauh. Hal itu membuatku tenang, tapi ketenangan ini sendiri tidak sepenuhnya menenangkan.

"Sayang," sapanya seperti biasa dengan menunjukkan senyum termanisnya "Kenapa?" Dewa mendekatiku, menggenggam tanganku, dan mengusapnya lembut.

"Aku dengar kedua polisi itu sudah pergi tapi sayang enggak masuk-masuk, kupikir sayang pergi entah ke mana."

"Hari ini aku enggak akan ke mana-mana." Dewa mendorong kursi rodaku dan masuk ke rumah. Di ruang tamu ia duduk dengan wajahnya menghadap ke arahku. "Hari ini apa ya, yang bisa kita kerjakan di rumah?" Dewa bertanya-tanya sendiri.

Wajah Dewa benar-benar penuh perhatian dan hangat. Sangat berbeda dengan ekspresinya ketika aku mendapatinya sedang berpikir di teras.

"Ah, kita bisa memasak sama-sama untuk makan siang. Kita bisa mengurus tanaman di halaman belakang. Apa lagi, ya?" Dewa memberi jeda dalam kalimatnya untuk berpikir. "Sorenya kita bisa jalan-jalan di sekitar kompleks. Bagaimana?" tanyanya meminta pendapatku.

Aku mengangguk.

"Oh iya, sayang sudah minum obat?"

Aku mengangguk lagi.

"Bagus," katanya sembari mengelus rambutku layaknya anak penurut. "Oke, sekarang aku mau lihat kita punya apa di kulkas. Sayang mau makan apa?"

"Tapi jam makan siang masih lama," protesku.

"Enggak masalah, kita bisa masak pelan-pelan," jawabnya sembari tersenyum.

"Pelan-pelan?" ulangku.

"Hm, pelan-pelan." Dewa mengangguk, tertawa. Begitu pun denganku.

Semua orang boleh pergi. Semua orang boleh meninggalkanku, tapi dia tidak.

Dewa adalah segalanya untukku. Ketika aku mengenang masa lalu, dia ada di sana sebagai anak panti yang penuh perhatian terhadap anak-anak lain di sekitarnya, yang sibuk membantu tukang masak di dapur. Begitu gigih memperjuangkan cita-citanya.

Ketika aku berkhayal tentang masa depan, Dewa berdiri dengan gagahnya di sana. Bersama dengannya membangun istana kebahagiaan kami.

Sejak dulu, hanya Dewa yang mampu memenuhi pikiranku, yang mampu membuatku gelisah, cemas, bahagia, terluka, dan tersenyum. Dia satu-satunya.

Aku telah melihat cukup banyak mata yang meremehkanku setelah kecelakaan. Seluruh hidup yang akhirnya kuhabiskan di atas kursi roda. Saat aku membuang mimpiku, saat aku tidak bisa menjadi istri yang sempurna. Aku mampu menutup telinga meski seluruh dunia mengataiku. Asal Dewa tetap ada di sisiku, yang lainnya aku tidak peduli.

Aku bisa melepas apa pun, kecuali dia.

Karena bahan-bahan yang ada di kulkas sangat terbatas, kami hanya memasak Tempura dan sop. Dewa menambahkan jadwal baru dalam rencana kami hari ini untuk mampir berbelanja setelah jalan-jalan sore.

Aku mengangguk setuju. Semakin banyak hal yang dapat kami kerjakan, semakin aku tidak akan merasa sepi. Semakin banyak yang dapat kami kerjakan, semakin banyak waktu yang kuhabiskan bersamanya.

Tinggal satu rumah, bertemu setiap hari. Anehnya sebanyak apa pun waktu yang telah kulalui bersama Dewa-ku, semua itu seakan tidak pernah cukup.

Tunggu, ada yang salah di sini!

"Bagaimana dengan pembicaraan dengan dua polisi tadi?" tanyaku ketika memotong sayuran dan Dewa mengurus bagian udangnya.

Gerakan Dewa terhenti. Benar, dia sengaja mengalihkan perhatianku. Mengatur apa yang bisa kami kerjakan hari ini, bersikap manis padaku, hanya agar aku tidak mengungkit kedatangan dua polisi tadi.

Aku benci diperlakukan seperti ini. Aku benci diperlukan seperti orang bodoh. Aku benci menjadi orang yang tidak tahu apa-apa.

Dadaku terasa sesak. Aku berhenti memotong kentang dan meletakkan pisau yang kugenggam dengan kasar.

"Kasturi, semuanya baik-baik saja. Mereka hanya menanyakan beberapa pertanyaan agar aku bisa membantu penyelidikan." Dewa dengan sigap berjongkok di depanku, menatap mataku, dan memberiku seluruh kehangatan serta perasaan nyaman yang semua wanita di dunia ini pasti menyukainya.

Aku juga suka. Saat-saat Dewa menatapku, mengecup keningku, mengelus rambutku, menggenggam tanganku, perhatiannya, senyum manisnya. Aku suka semua itu, tapi aku tidak suka caranya memanfaatkan segala hal yang kusuka darinya untuk mengalihkan pikiranku.

Aku benci saat Dewa melakukan sesuatu diam-diam di belakangku. Saat dia bermain trik. Meski tujuan dari semua itu adalah untuk menjaga perasaanku, aku tetap tidak bisa menerimanya.

Aku tidak peduli jika orang lain berbohong, tapi Dewa berbeda. Semua orang bisa melakukan apa pun semaunya tapi tidak dengan Dewa. Dewa tidak boleh menjadi sama dengan orang lain karena hanya dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Dewa berbeda!

"Benar hanya itu?" tanyaku meragukannya.

"Hm." Dewa menggenggam kedua tanganku. "Semuanya baik-baik saja."

"Kamu memperlakukanku dengan manis, membuat rencana untuk hari ini, demi mengalihkan pikiranku hanya karena semuanya baik-baik saja?" Aku masih meragu. Tatapanku menyelidiki.

"Aku hanya enggak mau sayang jadi kepikiran."

"Tapi sekarang aku jadi kepikiran!" tandasku. "Dewa, kamu seperti menyembunyikan sesuatu. Seperti telah melakukan sesuatu yang akan membuatku marah."

Ayolah Kasturi, kenapa kamu selalu merusak suasana bahagia yang sudah suamimu ciptakan? Tidak bisakah kamu abaikan saja pikiranmu dan membiarkan suasana membahagiakan berlanjut untuk hari ini.

Apa yang sebenarnya aku cari?

Dewa diam. Tatapannya memohon. Aku nyaris tak berdaya tapi aku tidak tahu dia memohon untuk apa. Bagaimana aku mengartikan tatapannya jika dia tidak bicara, jika dia hanya berlagak bahagia dan menyembunyikan hal lain di belakangku.

"Dewa!" Aku menarik kemejanya agar bicara.

Tiba-tiba Dewa memelukku. Dia tetap tidak mengatakan apa pun untuk beberapa saat. Ketika aku melunak, Dewa akhirnya berbicara.

"Menjaga perasaanmu ada prioritasku. Membuatmu bahagia adalah semua usaha yang aku bangun selama ini." Dewa melepaskan pelukannya. "Enggak peduli berubah seperti apa pun dunia ini, aku enggak akan membuat sayang terluka. Karena luka sayang adalah kesakitanku juga."

Kini giliranku yang memeluk Dewa. "Maaf. Aku hanya enggak suka kalau ada yang kamu sembunyikan. Aku enggak suka jadi orang yang enggak tahu apa-apa. Aku enggak bisa mengendalikan pikiranku yang selalu bergerak liar. Aku enggak bisa menghilangkan rasa takutku kalau suatu hari kamu pergi diam-diam." Aku terisak dalam dekapannya yang kukuh melindungi.

"Enggak, enggak, enggak. Jangan bicara seperti itu. Di dunia ini kita hanya memiliki satu sama lain. Aku enggak punya siapa-siapa lagi selain Kasturi. Aku bisa pergi ke mana?"

Aku melepaskan pelukannya. "Kalau begitu ceritakan apa yang terjadi malam itu. Kenapa kamu bisa pulang jalan kaki?"

Dewa tidak menjawab. Dia memelukku, menepuk-nepuk punggungku. Aku rela membayar berapa pun atau menukar detik ini dengan anggota tubuhku yang lain. Tangankukah atau mataku. Aku ingin waktu berhenti. Aku tidak ingin berpikir. Aku hanya ingin menikmati kehangatan dan perlakuan lembutnya lebih lama. Aku tidak ingin melepasnya. Aku tidak bisa!

Tapi... salahkah aku masih mencurigainya jika dia menyembunyikan sesuatu dariku. Salahkah pikiranku yang bergerak liar jika dia tidak bicara. Salahkah ketakutan dan perasaan resah ini.

Atau, memaksanya selalu di sisiku adalah kesalahan itu sendiri.

_abcde_