webnovel

Hamil Berdua

Kandungan Bulan kini sudah menginjak dua belas minggu. Herannya, segala mual muntahnya hilang, meski pusing masih sering melanda. Bahkan dia jadi suka sekali makan. Sehari bisa sampai empat kali makan, belum terhitung camilannya.

Padahal selama menemani Embun di kehamilan pertama dan kedua, dia lihat sahabatnya itu masih kepayahan sampai usia kandungan empat-lima bulan.

"Syukurin aja kali. Itu keistimewaan," ujar Embun ketika dia menceritakan perubahan pada kehamilannya.

"Begitu?" tanya Bulan. Ini kali pertama dia hamil, sudah sewajarnya kebingungan meneror terus-menerus.

Embun mengangguk. "Lagi pula aku tahu siapa yang ikut merasakan hamilmu," ujarnya dengan nada merendah di akhir.

Bulan mengernyit. "Siapa?" tanyanya.

"Siapa lagi? Ya, ayahnya dia," sahut Embun sambil menunjuk perut bulan dengan lirikan mata.

Kenyitan di dahi Bulan tak lantas menghilang. Dia menatap Embun, berharap sahabatnya itu menjelaskan lebih detail.

Embun yang melihat ekspresi Bulan jadi berdecak. Dia meletakkan plastik-plastik berisi cokelat, permen, dan snack ke dalam kardus, lalu berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

"Kamu nggak lihat Timur dari tadi bolak-balik kamar mandi?" tanyanya.

Bulan mengangguk. Lantas sebuah pemikiran terlintas. "Dia mual-muntah?"

Kali ini Embun yang mengangguk. Dia kembali sedikit membungkukkan badan untuk mengisi plastik dengan jajanan seperti sebelumnya.

Di hari Minggu ini, Bulan, Timur, Embun, dan Yasmin sengaja tidak membuka ruang curhat. Mereka sekarang sedang berada di panti asuhan untuk bermain, belajar, dan makan bersama. Kegiatan ini sudah rutin mereka lakukan sejak masih mahasiswa. Awalnya ada sekitar dua puluh mahasiswa yang turut serta. Namun, sejak lulus, kesibukan menelan mereka satu per satu.

"Kayaknya dia," kata Embun sambil kembali melirik perut bulan, "mau ayahnya juga menderita."

Bulan seketika memukul udara di depan wajahnya sambil menggeleng. Dia kemudian menoleh ke sekeliling untuk mamastikan tidak ada yang mendengarkan percakapan mereka sejak tadi.

"Bagus, kan?" Embun berhenti memasukkan snack ke dalam plastik, lalu menegakkan tubuhnya. Perutnya yang besar membuat gerakannya jadi lambat. "Itu artinya dia mau ayahnya tahu kalau dia ada."

Bulan seketika menghela napas. Embun memang bilang tidak akan memaksa atau memberi tahu Timur. Tapi tetap saja sahabatnya itu suka sekali menyinggung perihal anak dalam kandungannya yang butuh diakui keberadaannya oleh sang ayah.

"Dia akan tahu ayahnya," sahut Bulan, berusaha cuek. Dia mengambil snack terakhir, lalu memasukkannya ke dalam plastik. "Sudah beres. Tinggal kita bagi-bagikan." Dia mencoba mengalihkan pembicaraan agar obrolan tadi tak semakin ke mana-mana.

"Woy! Lama amat!"

Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah barat. Bulan dan Embun menoleh, untuk kemudian menemukan Yasmin sedang berlari dari pintu masuk panti menuju parkiran mobil.

"Salah siapa yang nggak bungkus ini semua dari awal, ya?" sindir Embun ketika Yasmin berdiri di sebelahnya dengan napas sedikit tersengal.

"Salahku!" sahut Yasmin cepat. Dia mencebikkan bibirnya, lalu mengangkat satu kardus. "Kamu bawa satunya, ya, Lan. Kasihan si bumil kalau suruh bawa," ujarnya sambil berjalan lebih dulu ke pintu masuk panti.

Embun hendak memanggil Yasmin, tapi Bulan menarik lengan perempuan itu. "Jangan bilang kamu mau suruh Yasmin bawa dua kardus?" tanyanya.

"Ya, kan, kondisimu sama kayak aku," sahut Embun.

Bulan terkekeh pelan. "Ini ringan, Bun. Isinya cuma snack," ujarnya sambil jongkok, lalu mengangkat kardus itu dari tanah.

"Eh, biar aku bawain!" seru Timur tiba-tiba. Lelaki itu muncul dari sebelah bangunan panti asuhan. Dia baru saja menyelesaikan urusannya untuk yang kesekian kali di kamar mandi yang biasa dipakai oleh para tamu.

"Masih mual?" tanya Embun.

Timur mengangguk. "Salah makan apa, ya?" tanyanya lebih pada diri sendiri.

"Makan anak orang?" tanya Embun lagi.

Bulan langsung melotot pada Embun, sementara Timur mengambil alih kardus berukuran besar dari tangannya.

"Aku bukan kanibal," sahut Timur sambil memperbaiki posisi tangannya yang sedikit meleset dari sudut kardus.

Embun terkekeh. Dia kemudian menoleh ke arah Bulan sambil menjulurkan lidah.

Ketiganya lantas berjalan beriringan menuju panti. Makan siang sudah berlalu sekitar tiga puluh menit yang lalu. Sekarang saatnya mereka bagi-bagi camilan sebelum pulang.

"Kamu tadi nggak habisin makanan, ya?" tanya Bulan.

"Mual," sahut Timur.

"Udah dikasih minyak kayu putih perutnya?"

"Udah tadi."

Embun memelankan langkah, lalu menatap pungung dua sahabatnya tanpa ekspresi apa pun di wajah. Dia bertanya-tanya, apa kiranya yang akan terjadi kalau Timur mengetahui soal kandungan Bulan, dan apa jadinya kalau mereka berdua menikah karena anak itu?

"Kalau jalan berdua begitu, kalian bisa dikira suami-istri, loh," celetuk Embun.

Timur dan Bulan kompak menoleh ke balik punggung mereka masing-masing. Obrolan ringan tadi terhenti, sebelum akhirnya Timur tertawa.

"Sudah pernah," ujarnya. Dia melirik Bulan yang kini sedang menatapnya. "Waktu di taman beberapa waktu yang lalu. Bahkan Bulan dikira lagi hamil. Ya, kan?"

Timur masih tertawa geli tanpa menyadari Embun yang tengah melongo, dan Bulan yang sudah mengalihkan muka ke arah lain.

"Terus kamu bilang bagaimana?" pancing Embun setelah berhasil mengondisikan mulutnya dengan benar. Dia menatap Timur, mengabaikan lirikan Bulan yang ditangkapnya dari ekor mata.

"Ya, aku iya-iyain aja. Nggak enak kalau orangnya malu," sahut Timur. Lelaki itu kemudian kembali menghadap ke depan dan lanjut berjalan.

Bulan pun mengikuti, meski sesekali dia melihat ke belakang untuk bertukar pandang dengan Embun. Mereka berdua berbicara tanpa kata-kata.

***

"Kenapa kamu harus ikut aku?" tanya Bulan sedikit ketus.

Dia tadi sempat berdebat karena Timur memaksanya untuk ikut dengan lelaki itu. Padahal pagi tadi dia berangkat ke panti bersama Yasmin.

"Kebalik, Lan," sahut Timut. "Kamu ikut mobilku, tapi aku ikut ke tujuanmu." Dia memindahkan persneling mobilnya saat dilihat jalanan di depan cukup lengang. "Waktu kamu bilang mau makan rujak buah, aku tiba-tiba jadi mau juga."

"Dan tiba-tiba banyak bicara," ejek Bulan.

Sejak pagi memang Timur tak banyak bicara. Dia pikir lelaki itu sedang dalam mood yang buruk, tapi ternyata karena mual-muntah. Rasanya kalau seperti ini, dia sedang hamil berdua dengan Timur. Andai mereka suami istri, istilah itu akan sangat menyenangkan dia ucapkan untuk menggoda Timur. Sayangnya hal itu tak akan pernah terjadi.

"Mendengar kata rujak buah, kondisiku jadi lebih baik. Bahkan sekarang terbayang-bayang sepiring buah-buahan yang disiram bumbu rujak kacang," ujar Timur. "Udah kayak Embun pas lagi ngidam." Dia tertawa pelan, lalu memindahkan lagi persneling ke angka satu karena jarak lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah, kurang dari empat meter.

"Emang ngidam," batin Bulan. Dia ingin sekali tersenyum, tapi ditahannya entah karena alasan apa.

Gawai Timur tiba-tiba berdering saat mereka sudah hampir sampai di tempat rujak buah langganan Embun. Dia langsung menarik gawai dari drink holder, lalu mengangkat dan menyapa orang di seberang.

"Pak, bisa ke pabrik yang di Tebet sekarang? Para karyawan mengadakan demo meski ini hari Minggu. Keadaannya cukup kacau," lapor orang di seberang telepon.

Timur lantas menoleh ke arah Bulan yang sedang menatap layar ponsel. Tangan perempuan itu diam di atas keypad, seperti ragu mengetikkan sesuatu.

"Lan," panggil Timur. Dia menjauhkan sebentar gawai dari telinga.

"Hm?" Bulan menoleh.

"Aku ada urusan kerjaan. Kamu mau ikut, atau makan duluan? Kalau makan duluan, nanti aku susul setelah urusan di pabrik selesai."

Bulan mengernyit. Dia tidak paham dengan urusan pekerjaan kantoran di hari Minggu, berbeda dengan perpustakaan yang memang tetap buka di hari libur meski petugasnya bergiliran. Tapi tidak mungkin juga dia ikut dengan lelaki itu. Terlebih ada seseorang yang tengah menunggu jawabannya saat ini.

"Em, aku makan duluan aja, ya. Bima juga ngajakin ketemu ini. Nanti aku pulang sama dia. Kamu nggak perlu susulin ke sini," jawab Bulan.

"Bima?" tanya Timur, dan langsung diangguki oleh Bulan. "Kamu … kamu lanjut sama dia?"

Hai, yang sedang baca novel ini.

Hidden Little Secret sudah sampai bab 10, nih. Kalau ada kritik, saran, dan masukan, silakan disampaikan di kolom komentar.

Anyways, terima kasih sudah baca cerita Rembulan dan Laksamana Timur. Nantikan terus bab-bab selanjutnya, ya. Jangan lupa masukin ke rak kalian he-he.

Dy_Robyncreators' thoughts
Next chapter