webnovel

Hesitate

Tentang Dion Mahardika, CEO muda yang memiliki segalanya. Pendidikan tinggi, Pekerjaan baik, Kekuasaan, Kekayaan, wajah yang tampan dengan tubuh tegap menawan. Tidak ada yang tidak terpesona dengan sosoknya yang berkharisama, semua orang mengaggumi Dion seperti tanpa celah. Tapi justru itulah letak celah itu berada, pria sempurna seperti Dion yang menyembunyikan sisi kelamnya dengan baik. Pria matang dengan kehidupan seksualitasnya yang menyimpang. Semuanya berjalan lancar dengan sempurna hingga akhirnya ibunya mengetahui penyimpangan itu, dan mengharuskannya menikahi gadis buta dari panti yayasan ibunya. Tentang Luna sarasvantika, gadis blasteran eropa yang buta karena sebuah kecelakan di negeri nan jauh dari kotanya yang juga merenggut kedua orang tuanya. Luna diasingkan keluarganya, tidak ada yang mau merawat gadis cacat sepertinya sampai pada akhirnya mereka memutuskan membuang Luna di panti asuhan dimana tempat terakhir orang tuanya meninggal. Luna berhutang budi dengan ketua yayasan, hingga ia merasa harus membalasnya dan ide gila yang ditawarkan ketua itu membuat Luna tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui.

Cindelvi · History
Not enough ratings
12 Chs

Dilema

Alert!!!

Bahasa agak kasar. Maaf kalau kalian agak terganggu. Demi feel karakter.....

Thank you atas perhatiannya..

[Dion]

"Dia mau gue berubah." Gumamku setelah kembali meneguk minuman alkohol yang dituang Leo. Saat ini, Kami duduk di ujung bar dan dia kini meninggalkan pekerjaannya hanya untuk menemaniku minum sembari memandangku menyedihkan.

"Bagus! Gue dukung. Lo emang harus berubah. Terus lo gimana?"

Aku mendengus sambil mengernyit, berubah ya? Aku gak tahu apa aku benar-benar bisa berubah. sejak awal aku memutuskan diri untuk menjalin hubungan dengan Rey, itu semua diawali karena aku jatuh cinta dengannya. Kalaupun aku bisa berubah nantinya, pasti karena aku sudah tidak menyayanginya lagi. Tapi sekarang? Jangankan menjadi normal, Aku bahkan masih memikirkannya yang tengah mogok bicara denganku.

"Gak bisa" sahutku pelan, tersenyum tipis aku melanjutkan "Tapi gue minta Luna bantu gue buat bisa normal." Leo ikut menegak minumannya. "Hmm, yah awal yang bagus. Seenggaknya dari jawaban itu gue tahu lo masih bisa normal. Sadar gak sadar! Waktu lo ngomong itu, diri lo yang sebenarnya tuh lagi kasih alarm. Kasih alarm kalau sekarang waktunya lo harus kembali ke jati diri lo."

Kalimat Leo bikin aku terhenyak, kalau dulu aku mungkin merasa tersinggung karena dia menganggapku tidak normal, tapi entah kenapa sekarang aku merasa perkataannya mulai benar. Haruskah? Aku mencobanya?

"Lo Dionkan?" Aku mendongak sambil mengernyit saat tiba-tiba seseorang berdiri dihadapanku. Tubuhnya menjulang tinggi, seorang pria kaukasian yang memandangku penuh benci. Lama terdiam, aku berdiri begitupun Leo mengikutiku.

"Siapa?" Tanyaku, tapi yang kudapat malah pukulan keras di wajahku hingga aku jatuh terjerembap. Bangun dengan cepat aku membalasnya tak kalah keras. Dia terpental cukup jauh, merintih kesakitan. Jelas saja, meski tinggi, tubuhnya sekurus papan. Dia bukan tandinganku. Aku menyentuh sudut bibirku yang luka. Ah kampret ini sakit, lalu mendekatinya yang tengah meringkuk, berjongkok untuk melihat wajahnya.

"Sialan! Jauhin Ray. Bangsat!!!" Dia hendak bangun, tapi Leo lebih dulu menekan dadanya dengan lututnya. "Gak jelas lo setan! Dateng-dateng buat kerusuhan."

Mengabaikan ucapan Leo, aku menatapnya tajam. "Urusan lo apa? Siapa lo?"

"Gue?" Dia tertawa sinis "Gue pacarnya! Gara-gara lo ya bangsat dia jauhin gue! Lo gak pantes dapetin Ray."

Terkejut luar biasa, aku kembali meninju wajahnya, kini Leo yang menahanku. "Woy... woy sabar Yon!"

"Lo bilang apa? Pacar? Siapa yang lo bilang pacar, sialan!!" Aku mendorong Leo, kembali menghajarnya dengan brutal. Brengsek benar dia berani berkata begitu, Ray gak mungkin mengkhianatiku. Aku tahu betapa dia mencintaiku. Tapi si setan ini tiba-tiba aja dateng ngaku-ngaku kekasih orang. Apanya yang pacar! Mana mungkin Ray mau sama triplek hidup.

Belum puas menghajarnya meski telah babak belur, Leo sudah kembali menahanku. Dia menarikku menjauh, membawaku keluar club. Aku berteriak seperti kesurupan, mengancamnya untuk jangan pernah menemuiku lagi. Setelah kami benar-benar di luar, Leo memukul wajahku keras. Kalau dibandingkan triplek itu, dia bukan apa-apanya untukku, tapi dibandingkan dengan Leo jelas aku yang kalah. Double kampret pukulan Leo benar-benar menyakitkan!

"Sakit bego!"

"Lo yang bego! Sadar Yon! Wah sialan lu bener-bener mau ngancurin usaha orang!"

"Dia bilang pacar Ray. Keselah gua!"

"Lo bilang mau coba berubah. Baru ketemu selingkuhan Ray, panas dingin lo." Aku mencengkram baju Leo. Tanganku siap memukul wajahnya "Dia bukan selingkuhan Ray, gue juga gak pernah bilang mau berubah ya setan."

"Ya terus? Lo mau nonjok gua? Nih! Jangan lapor polisi ya kalo lo babak belur sama gua!" Ancam Leo, aku melepas cengkramanku lalu mendorongnya. Bukan karena takut, tapi karna aku menghargai pertemanan kami, sudah cukup permusuhan kami kemarin. Tapi tetap saja bikin kesal si kampret Leo ini.

"Setan lo!" Kataku akhirnya sebelum memilih meninggalkannya, aku masih mendengar Leo membalas perkataanku dengan kata-kata yang lebih tajam. Biarlah paling bibirnya dower, ada urusan yang harus aku lakukan dibanding adu mulut dengan Leo yang mulutnya seperti petasan mercon. Aku harus menemui Ray. Meski tidak percaya, aku tidak bisa mengabaikan perkataan triplek itu.

***

[Luna]

Dion tidak pulang semalam, aku menungguinya hingga larut malam dikamar, tapi sampai aku ketiduran dan bangun pagi ini, dia tidak pulang juga kerumah. Menarik napas dalam, aku menghebuskannya dengan pelan. Aku tidak tahu dia dimana, meski kuyakini mungkin saja dia menemui kekasihnya. Tapi entah kenapa meski tahu begitu aku merasa kehilangan. Aku merasa ingin merubahnya, tapi aku telah mengatakan ingin menjadi temanya. Aku tidak bisa memaksa, saat ini bisa berteman dengan suamiku saja sudah hal baik.

Menurunkan kakiku dari ranjang, tanganku meraba sekitar. Aku membawa tubuhku perlahan ke kamar mandi, membersihkan diri sampai aku sudah rapi. Untuk sejauh ini, melakukan aktivitas di dalam kamar, bukan hal yang sulit untukku. Tapi untuk selanjutnya aku sungguh kebingungan. Aku melangkah perlahan keluar kamar. Tidak yakin apa yang kulakukan, tapi aku tidak mungkin hanya berdiam diri di dalam kamar seorang diri. Kemarin Dion sudah mengenalkanku seisi rumah ini. Dari hal terkecil hingga terbesar. Aku memang belum mengingatnya, tapi aku yakin, aku akan baik-baik saja. Mungkin?

"Non! Hati-hati non." Aku terlonjak, mendengar seruan seseorang. "Siapa?" Tanyaku ragu. "Bu siti non, kepala pelayan Tuan Dion." Katanya, suaranya semakin mendekat, kurasa dia sudah dihadapanku.

"Oh salam kenal bu, saya hmmm.. istrinya Dion." Entahlah aku merasa ragu mengatakannya. "Iya Non, saya tahu. Aduuh cantik banget istrinya Tuan Dion." Aku menunduk malu, tidak tahu harus membalas apa selain mengucapkan terimakasih karena telah memujiku.

"Non tadi hampir jatuh dari tangga. Non mau kemana?"

"Dion udah pulang bu?" daripada menjawab aku malah bertanya keberadaan Dion. Mungkin kedengarannya aneh, mengaku sebagai seorang istri tapi dimana suamiku berada saja aku tidak tahu.

"Oh iya Non, saya lihat Tuan Dion ketiduran di sofa ruang tamu."

"Di ruang tamu?"

"Iya Non."

"Bu Siti boleh bantu saya antar kesana?" Tanyaku yang langsung segera diiyakan. Menuntunku ke ruang tamu, Bu Siti jalan dengan hati-hati. Aku merasa tidak enak tapi lebih tidak enak hati lagi dengan Dion. Kenapa dia tidak tidur di kamar? Apa dia baru pulang atau sudah dari semalam?

"Tuan masih tidur Non. Sudut bibirnya agak lebam" Bisiknya pelan. Aku menurunkan tubuhku, berjongkok agar sejajar dengan Dion. "Lebam? Dion terluka bu?" Balasku tak kalah rendah suaranya.

"Iya non, seperti sehabis ditinju orang. Saya ke belakang dulu ya non, siapin kompresan kalau aja Tuan Dion bangun." Aku mengangguk "Terima kasih bu." Selepas kepergiannya, dengan hati-hati aku membangunkan Dion. "Dion.. bangun... Dion.." panggilku pelan agar tidak terlalu membuatnya terkejut. Beberapa kali usahaku membangunkannya, akhirnya aku merasakan pergerakan dan mendengar leguhan Dion.

"Luna.." panggilnya dengan suara parau. "Kok disini?"

"Aku yang seharusnya tanya. Kamu kenapa tidur disini? Sejak kapan pulang?"

"Maaf.. semalam aku ketiduran." Semalam? Oh berarti semalam dia pulang. Istri macam apa aku sampai tidak tahu suamiku pulang dan tunggu! Aku mendekatkan wajahku ke wajah Dion. Lalu Aku mencium bau yang seperti alkohol. "Semalam kamu mabuk?" Tanyaku tapi aku tidak mendapat jawaban.

"Dion?"

"Y-ya Luna. Aku... aku..."

"Pusing?"

"Hah?"

"Kepalamu pusing gak?" Dion kembali tidak menjawab, tapi dia menarik tanganku pelan, menyuruhku duduk disampingnya, tanpa mengerti maksudnya sampai aku merasa dia membaringkan kepalanya di atas pahaku. Nafasnya yang hangat menerpa perutku.

"Pusing.. pusing banget Na." Jawabnya pelan, aku yang tercekat tidak bisa membalas ucapannya. Kurasa jantungku juga berdegub kencang. Astaga apa yang harus kulakukan, apalagi saat Dion melingkarkan tanganya, memelukku erat. "Maaf, aku sedang butuh pelukan." Lanjutnya lagi dengan lirih membuat tubuhku yang beresitegang perlahan rileks. Sebenarnya aku ingin bertanya tapi aku memilih diam dan tanganku perlahan mengusap kepalanya pelan, berharap membuat apapun yang sedang dirasakannya bisa membaik. Kurasakan nafasnya mulai teratur mungkin dia tertidur lagi, dan dugaanku dibenarkan atas kedatangan bu Siti yang membawa teh beraroma melati.

"Tuan tidur lagi non." Bisiknya. Aku mengangguk sambil tersenyum, tanganku masih mengusap pucak kepala Dion pelan.

"Saya bawakan teh ya non. Untuk tuan muda, kalau bangun. Tehnya dalam poci jadi masih bisa hangat. Ada kompresan juga. Kalau butuh bantuan saya panggil saya aja ya Non."

"Iya bu, terima kasih ya."

"Iya. Saya tinggal lagi ya Non." Katanya lalu berlalu. Aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa. Menyamankan diri dan masih melakukan kegiatan yang sama. Apa yang terjadi pada Dion? Tadi, ketika menjawab pertanyaanku, suaranya terdengar sendu. Apalagi kata-katanya yang membutuhkan pelukan. Apakah dia tidak baik-baik saja?

Aku menghela nafas, mengernyit merasa aneh, dan memutuskan untuk saat ini aku merasa belum berhak ikut campur. Aku tidak boleh mengusiknya, biarlah dia tidur dengan tenang pagi ini, aku akan selalu disini untuk suamiku.