webnovel

HEREDIS [A Crown For Roussel]

Rasa sayang atau kehormatan Roussel atau Darren Sebenarnya pilihan yang mudah bagi orang yang ingin mewarisi semua kekayaan Roussel yang melimpah atau orang yang ingin mengikuti tradisi keluarga. Ara ada pada dua pilihan itu, selalu mengikuti perintah Nana. Sampai ia bertemu dengan Darren. Cowok yang mati-matian membenci Roussel, hidupnya berubah 180 derajat saat Ara mengikuti permainannya. Permainan yang membawanya pada kebenaran, kebenaran yang ditutupi Catherine Roussel. Nana pernah bilang pada Ara. Keluarga kita hanya satu jenis, mereka akan seperti itu sampai akhir. Jadi jangan pernah mengubah takdir, takdirmu ada di Roussel. Namun, tiga kata yang diucapkan Darren membuat Ara bimbang. Dari sanalah Ara mulai belajar, belajar membobol kandang yang dibuat Roussel. Karena menurutnya bersama Darren akan jauh lebih baik ketimbang mandi harta di area Roussel. Bisakah Ara lolos?

dounat · Teen
Not enough ratings
2 Chs

Her Grandma-Part 1

"Miss?" Joon memastikan kesadaran Ara saat Ia melihatnya melamun.

"Ars gallery*" Ara menjawab, sudah lama pula ia tidak berkunjung ke sana.

*Galeri seni

"Baiklah Miss, akan saya antar" ucap Joon tepat di persimpangan jalan, mobil yang mereka tumpangi mulai melewati jalan dengan pemandangan pohon pinus alih-alih gedung pencakar langit. Suasana pedesaan mulai terasa saat mereka 15 menit dari kota.

Tak ada pembicaraan lagi selama perjalanan, Joon yang fokus pada jalanan dan Ara yang menghitung daun jatuh dalam diam. Mereka memasuki tugu selamat datang, kota yang bernama Vacans ini jika diacak nama kotanya akan menjadi kata 'canvas' yang berarti salah satu bahan dalam melukis.

Permainan kata, menurut yang diceritakan, kota ini diibaratkan kanvas dan penduduk adalah warna bagi kota. Mengharapkan agar kota ini tidak terbengkalai, lagi.

Memang, mayoritas warga Vacans adalah pecinta seni. Dari pelukis jalanan, pelukis mural, aliran abstraksionisme, aliran naturalisme, aliran realisme, aliran ekspresionisme, dan masih banyak lagi semuanya ada di sini. Mereka sering berkumpul untuk sekedar berbincang mengenai hasil karya salah satu dari mereka atau mengenai apa yang akan dipajang di museum kota mereka.

"Kota ini nggak pernah berubah" ucap Ara setelah turun dari mobil, menatap sekelilingnya sambil berputar. Ia tidak pernah berhenti takjub walau sudah berkali-kali kemari.

"Kau benar Miss, hanya sedikit update di beberapa bagian" Joon juga sangat mengagumi kota ini, menurutnya ini adalah kota yang paling indah setelah kota kelahirannya.

"Bell!" seseorang memanggilnya sambil berteriak.

Gadis dengan rambut coklat keemasan itu keluar dari garasi, tangannya yang memegang kuas melambai ke arah Ara sambil memamerkan deretan gigi yang putih. Setelah itu ia tersenyum menampilkan lesung pipit di kedua pipinya yang putih bersih.

"Jade, gimana kabarmu?" Ara menghampiri Jade yang juga menghampirinya, ia terlihat sedikit berantakan dengan beberapa cat yang menggores mukanya.

"Maksudmu kabarku bagaimana aku setelah di skors? Ini membosankan" ia memutar bola mata dengan satu tangan yang memainkan kuasnya. Ia memang di skors untuk beberapa alasan, salah satunya karena memukul Baron.

Jade Horrison, putri pelukis ulung Vacans Oliver Horrison ini mempunyai postur yang biasa kaum adam bilang 'body goals' ya memang, dengan darah campuran Korea-Rusia membuat wajahnya seperti gadis korea yang 'diburu' banyak laki-laki di sekolah.

Dia juga gadis yang gagal menjadi gadis Asia karena tidak bisa berbahasa korea, aku sampai pusing nenekku yang dari Mom nggak bisa berhenti bicara sambil menyuapiku makanan dengan sumpit besinya itu, oh salad pedas itu enak juga.

God, dia bahkan nggak tau kimchi*.

*Kimchi adalah makanan tradisional korea, yang berasal dari Tiongkok salah satu jenis asinan sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu pedas-Wikipedia.

"Bukan Jade, itu bukan sindiran" Ara terkekeh pelan melihat Jade yang kembali memutar bola mata, ia sepertinya suka sekali melakukan itu.

"Jawabanku sama, ini membosankan" ia memasang wajah lelah "Kau tahu? Meskipun aku sangat membenci Mr. Jack yang terus-terusan memanggilku bocah. Percayalah aku merindukan itu" lanjutnya.

"Bersabarlah Jade, hanya tinggal dua hari. Kau bisa bertemu dengan Baron saat itu tiba" Ara mulai melangkah masuk ke dalam tempat yang kelihatannya seperti garasi itu. Ini adalah Ars Galerinya Jade, tempat dimana jade dan juga Ara bermain-dengan warna, menghasilkan karya seni yang akan mereka kagumi sendiri. Memotret dan menaruhnya di media sosial milik mereka, kau tau, kebiasaan remaja jaman sekarang.

"Untuk memukulnya lagi? Kemudian aku kembali di skors? Nggak, aku nggak bakal naik kelas dengan catatan seperti itu" ia duduk di depan kanvasnya, mulai memainkan kuasnya lagi di atas kertas putih yang hampir tidak putih lagi. Rupanya Jade sudah lama di sini, ia akan menyelesaikan lukisannya.

"Aku yakin dia sedang bersedih karena nggak bisa makan dengan benar, ia tidak bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama" Ara berdiri di samping Jade, mengamati pergerakan Jade yang dengan acak menempatkan berbagai warna.

Lukisan yang dibuat jade abstrak. Warna-warna itu menggambarkan mood ku, begitu katanya. Sampai sejauh yang Ara lihat, Jade lebih banyak menggunakan warna cerah, yellow,yellow green, orange dan warna cerah lainnya. Sesekali ia menggunakan warna pastel, baby pink, baby blue dan lainnya. Itu menggambarkan sifatnya, Jade selalu ceria setiap hari. Ia akan melemparkan jokes pada siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Dia periang dan paling bersemangat, tidak bisa diam di tempatnya.

Walau pernah Ara memergokinya melukis menggunakan warna coklat, abu-abu, dan hitam. Saat itu Ara begitu terpaku melihatnya yang menggoreskan kuas sambil meneteskan air mata, Oliver Horrison meninggal tertembak saat peresmian lukisannya di galeri seni kota.

Padahal saat itu ada banyak NYPD yang berjaga, polisi mengatakan itu adalah tembakan jarak jauh dengan bukti peluru yang mengenai kepala bagian kiri Oliver melewati ventilasi bagian barat bangunan. Sampai saat ini belum ditemukan pelakunya.

"Berhenti membicarakan Baron. Bagaimana dengan Si Darren itu?" pandangan Jade tidak lepas dari canvasnya saat menanyakan itu.

"Kau serius?" Ara balik bertanya, ia tersadar karena Jade kembali bicara.

"Apa? Dia lumayan keren untuk ukuran laki-laki. Kau lihat rambutnya yang berantakan? Itu membuatnya lebih seksi" dia berujar serius, lalu bersiul.

"Bah, dia terlihat seperti gelandangan menurutku" sanggah Ara sinis, ia memang sangat, sangat tidak suka pada ciptaan tuhan yang satu itu. Darren.

"Itu seni Bell. Kau terlalu sering bergaul dengan Joon si super rapi itu" Jade menoleh lalu menatap Ara, dan berdiri untuk mensejajarkan bibirnya ke telinga Ara "tapi menurutku dia tampan" tepat setelah mengatakan itu Jade kembali duduk.

"Dia supirku Jade, kalau kau berminat aku tidak melarang"

"Dan dia masih single" ucap Ara sambil mengerling jahil pada Joon yang tengah melihat-lihat lukisan yang dipajang di dinding. Joon yang melihat itu hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban.

"Dengar Ara, aku tidak tertarik dengan cowok yang jauh lebih tua dariku, aku akan memilih Michael jika aku kau sodorkan kepada Joon" Ara menoleh kepada Jade setelah mendengar penuturan itu.

"Michael Anderson?"

"Iya, siapa lagi" Jade menjawab tanpa ragu.

"Dia satu tingkat di bawah kita Jade, aku nggak rela jika dia yang imut itu terkontaminasi olehmu"

"Sialan kau" umpat Jade "Sejak dulu aku cuma ingin punya adik laki-laki, tapi sekarang itu nggak mungkin" sesaat wajahnya sedih, lalu kembali ditekuk "Aku cuma punya abang yang mendorongku ke kolam renang saat hari pertama turun salju" gerutunya sambil menekan kuas kuat-kuat.

"Astaga kau masih dendam tentang itu"

"Gimana enggak, aku demam selama tiga hari dan melewatkan peresmian lukisan ayah" Jade berhenti, ia menyadari sesuatu "dan nggak datang saat pemakaman"

"Sudahlah, nggak ada habisnya kalau kita membahas masa lalu. Sekarang lihat ke depan dan semangat!" Ia mencoba menyemangati Jade yang murung.

"Cerialah, seperti bukan dirimu saja" Ara menepuk bahu Jade pelan "Coba tebak apa yang kubawa untukmu"

"kau mau memberiku kejutan?" Ara mengangguk "Itu sebabnya kau kemari?"

"Tentu saja"

"Apa?" Jade menengok ke arah depan, tempat dimana mobil Ara diparkirkan "kau tidak membawa kotak sebesar kulkas lagi, kali ini apa?"

"Ini bukan tiga lusin canvas lagi" Ara menggeleng.

"Satu kotak kuas?" Ara menggeleng

"Lima set cat?"

"Lukisan M*n*lisa" Ara memegang bahu Jade, memberhentikan Jade yang mencoba menebak.

"Dengar, kau perlu sehebat T*m Cr**se untuk sekedar menyentuh lukisan itu" Jade mengangguk polos "Bisakah kamu menebak lebih tepat? Apa ini akibatnya nggak masuk sekolah selama delapan hari?" Ara menggeleng pasrah, bermain tebak-tebakan dengan Jade hanya akan membuang tenaganya. Seharusnya Ara menyadari itu lebih awal.

"AkumendapatkantiketEgyptArs" bahkan mungkin kalimat Ara satu itu mengalahkan Rap God yang bahkan Ara tidak tahu siapa itu.

Jade hanya membuka mulutnya lebar "Ara kau bukan si rapper Namj**n, jadi bicaralah lebih normal" rasanya rahangnya akan copot jika dia seperti itu terus.

"Baik, baik. Kau menyebalkan" Ara memutar bola mata, sepertinya Ara mulai menggantikan kebiasaan Jade itu. "Aku dapat tiket Egypt Ars"

Hening

"Kenapa diam saja?" satu alis Ara diangkat "kau nggak mau?"

"Kau bercanda? INI ADALAH HAL FANTASTIS DALAM HIDUPKU KAU TAHU?"

"Baguslah. Nikmati selagi bisa Jade" Ara memberikan selembar tiket pada Jade "Aku pergi dulu, sampai ketemu dua hari lagi" Jade terkekeh mendengarnya.

"Hei" panggilan itu membuat langkah Ara berhenti dan kembali menengok ke belakang "Hubungi aku jika kau mendapatkan nomor telepon Darren!"

Ara mengangkat kedua tangannya di atas udara dan berkata tanpa mengatakannya Gila-setan-cari-tau-saja-sendiri-! Katanya dengan mata yang sedikit melotot.

"Pokoknya beritahu aku kalau dapat!" Jade melambaikan tangannya ke udara tanpa menghiraukan tatapan Ara. Ara hanya membalasnya sambil memutar bola mata. Dasar gila cowok.

"Setelah ini, ingin pergi ke mana Miss?" Joon membukakan pintu seat penumpang, saat Ara sampai di samping mobil.

"Tentu saja pulang Joon, aku nggak ingin kena omel Nana lagi" gerutunya sambil masuk ke mobil. Joon yang melihat itu langsung menutup pintu berlari kecil menuju kursi kemudi.

"Bisakah kita bicara secara informal? Satu lagi, tolong jangan panggil aku 'Miss', itu akan seperti pengasuh anak di sekolah dasar"

"Baiklah jika itu maumu.." Joon berhenti "...Ara" lanjutnya ragu.

"Oh ya Joon" Joon melirik spion, Ia mengklakson untuk Jade yang melambai ke mobil.

"ya?"

"Berapa umurmu?"

"Sorry?" Joon melirik ara dari spion, terlihat ragu.

"maaf kalau nggak sopan, tapi berapa umurmu?" ulang Ara.

"Tidak apa Ara. 22th tahun ini"

"Kau masih muda, kenapa nggak kerja di tempat lain"

"Selain supir maksudku" Lanjut ara mulai memperhatikan pemandangan luar mobil.

Joon berbelok tajam untuk menghindari pengguna motor yang berhenti mendadak di depan, jadi agak lama untuk menjawab pertanyaan Ara.

"Nggak terpikirkan saat Ny. Zena menawariku pekerjaan ini dengan gaji yang tidak bisa disebut gaji seorang sopir" ujar Joon tenang "Itu tidak buruk, lagipula dia majikan yang baik"

"Segi mana kau mengatakan baik?"

"Kau hanya belum tau Ara, dia wanita yang penyayang" bela Joon.

"pada anjingnya, tentu saja"

"Jaga bicaramu Ara, dia nenekmu"

"Dia adalah Boss Game" sarkas Ara.

***

"Sedang apa kau Ara" katanya pada diri sendiri "Sadarlah dan tutup bukunya" apa yang keluar dari mulutnya berbeda dengan apa yang dilakukannya, ia tetap membolak-balikkan buku tebal itu dan mencari nama seseorang dibalik banyaknya nama yang tertera.

Detik kemudian Ara menutup buku, sadar apa yang dilakukannya tidak berguna sama sekali dan membuang waktu. Ia meraih benda pipih di atas nakas dan mulai memainkannya, mencoba mengusir niatnya untuk menjelajah buku itu.

"Aku benci penasaran"

Ia melempar benda pipih itu asal, beruntungnya tidak sampai jatuh. Ara meraih buku itu lalu mencari huruf D pada samping buku. Buku itu berbentuk seperti kamus spanyol milik Nana, bedanya jauh lebih tipis dan berwarna biru tua seperti warna rompi sekolahnya dengan ukiran emas di setiap sisinya. 'Lawsen Highschool' juga terukir disana dan logo sekolah kebanggaan kota Wellsade terpampang jelas di atas sampul hitam buku itu.

"...ren"

Mencarinya harusnya tidak sulit, huruf kedua pada nama itu adalah 'a' yang artinya dekat dengan Guide D. Telunjuk Ara terus naik turun mengabsen cepat setiap nama yang ada di sana, sampai akhirnya berhenti tepat yang terakhir sebelum lembar selanjutnya adalah Guide E. Kenapa di akhir?

Mengabaikannya ia membaca setiap kata yang tersaji, sedikit mengerutkan kening karena menurutnya aneh. Marganya parker, tidak tertera alamat rumahnya di sana, identitas yang dicantumkan sedikit. Ara jadi teringat mengenai segelintir orang yang disebut-sebut VVIP Student oleh rumor yang beredar belakangan ini, gadis-gadis Lawsen yang sering membicarakan topik tentang ini. Apakah ia salah satunya?

Karena penasaran ia menutup buku itu dan membacanya ulang dari awal, barangkali ia menemukan kasus yang sama seperti si Parker. Mungkin yang dibicarakan gadis-gadis itu ada benarnya . Halaman demi halaman ia sisihkan, namun sampai pada catatan kaki nihil hanya Parker sendiri yang berbeda dari yang lain. Kenapa? Bukankah itu konyol?

"Ah, hampir lupa" ujarnya tersadar dan kembali menjangkau benda pipih dan menyalakannya. Mengeja setiap angka, kemudian mengirimkannya kepada jade.

Jade Horrison (online)

Arabella Roussel : +1 (7xx) xxx-xxxx

Arabella Roussel : Pesanan Anda Putri

Jade Horrison : ASTAGA AKU NGGAK PERCAYA INI

Jade Horrison : Anggota VIP memang mudah banget mencari hal seperti ini

Jade Horrison : Dua pancake blueberry, kutraktir.

Arabella Roussel : Hanya itu?

Jade Horrison : Dengan susu kocok medium

Arabella Roussel : Diterima.

Ia meletakan benda pipih itu di atas nakas dan bersiap untuk menikmati tenangnya kamar mandi dan berendam hangatnya air mawar. Lensanya tak sengaja menangkap jadwal harian yang tergeletak di atas meja, ia mengambilnya nyaris tidak membaca jadwal satu hari ia mengingat satu hal.

Diambil benda pipih itu kembali dan segera mengirimkan pesan kepada Jade.

Arabella Roussel : Aku akan kesana besok, setelah sekolah usai.

Arabella Roussel : Kau keberatan jika aku menginap?

Jade Horrison : Tentu saja nggak, menginaplah kapanpun kau mau.

Jade Horrison : Bawa snack Bell! Aku suka keripik.

Arabella Roussel : typing...

Baru saja Ara akan membalas handphonenya itu sudah terlelap, jadi ia putuskan untuk menchargernya dan pergi berendam untuk satu jam. Tubuhnya itu benar-benar butuh istirahat.

"Biarkan aku pergi ke surga sebentar" monolognya sambil memposisikan dirinya di bathtub yang dipenuhi mawar merah, lilin-lilin kecil sudah menyala di sekitar bathtub dengan lampu yang dimatikan menambah suasana tenang.

***

"bisakah kau memainkannya dengan baik?" tanyanya dengan kedua tangan didepan dada "Ada apa denganmu hari ini, bad for today honey" lanjutnya sambil memegang pundak Ara.

Ara tetap diam kala wanita paruh baya itu berbicara, kedua tangannya dirunkan ke paha dengan tatapn menerawang ke depan.

"Aku membiayaimu les piano bukan untuk bersenang-senang honey" ia masih berbicara, setelah membenarkan gelang mutiara di pergelangan tangannya ia menyentuh pundak Ara "Dan aku tidak menerima kegagalan apapaun darimu, mengerti?" tidak ada pilihan bagi ara selain mengangguk dan membenarkan.

"Bagus jika kau mengerti, aku tidak mau ada lagi kegagalan di Roussel selain Victoria ibumu"

Shut up.

"Aku benar-benar marah padanya, dia sama sekali tidak becus dalam hal apapun" Ara tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya di atas paha.

"dia benar-benar bo—

BRAK

Like it ? Add to library!

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

dounatcreators' thoughts