webnovel

Her Sweet Breath

"Menikahlah denganku! Aku yang akan menjagamu menggantikan kakek" Sebuah janji yang terucap begitu saja disaat melihat gadis dengan aroma nafas manisnya yang sedang menangis karena kehilangan satu-satunya keluarga dekatnya. Sebuah janji yang tidak bisa ia penuhi ketika dia harus pergi secara tiba-tiba dan kehilangan jejaknya. "Be my Chika" TIGA KATA Rayuan yang mampu membuat semua perempuan yang memiliki nama panggilan Chika bertekuk lutut dan dengan suka rela memberikan tubuhnya kepada Leo, pengusaha muda yang sukses dengan senyum seksual, merayu perempuan semata-mata untuk mencari seorang gadis dengan aroma nafas manis yang tidak bisa ia lupakan selama 8 tahun lamanya.

KeySiswanto · Urban
Not enough ratings
21 Chs

DUA: HILANG INGATAN

Tes...Tes... Suara tetesan air terdengar begitu keras. Samar-samar aku bisa mendengarkan rintik hujan dan embusan angi yang berhasil membuat jendela saling beradu yang mengganggu tidur. Aku mencoba memiringkan badanku yang ketika itu terlentang dengan mata yang masih terpejam. Rasa sakit di kepalaku seketika menyerang dan berhasil membuatku membuka mata. Seorang gadis perempuan dengan tubuh ramping, kulit bening dan rambut panjangnya yang berwarna hitam sedang berbaring di hadapanku. Ia menatap lurus ke arahku dengan mata bulatnya yang berwarna hitam pekat dan terdiam mengamatiku yang saat itu sedang beradaptasi dengan cahaya remang di sekitarku.

"Selamat pagi!"sapanya dengan memberikan senyum manis yang menonjolkan lesung di pipi sebelah kanannya, saat ini.

"Dimana ini?" tanyaku sambil kembali terlentang menatap sekelilingku, "Aduh!" Aku mengerang saat kepalaku terasa sakit setiap aku gerakan, refleks aku memegang pelipisku yang ternyata saat ini berbalut semacam kain kasar.

Gadis itu bangun dari tempatnya, menumpukan badannya ke tangan kanannya yang berada di dekatku sembari mendekatkan wajahnya kepadaku sehingga aku bisa mencium aroma segar dari tubuhnya.

"Jangan banyak bergerak. Belakang kepala kakak masih terluka,"ucapnya dengan tangan kirinya menjulur dan menempatkan tepat di atas tanganku, "Kata pak Wiro, jangan terlalu bergerak atau terkena gesekan. Lukanya masih belum terlalu kering" lanjut gadis itu yang saat ini menatap wajahku dan menyisakan jarak beberapa senti dariku sehingga hidung kami hampir bersentuhan.

Aroma segar tubuhnya saat ini memenuhi rongga paru-paru melalui kedua lubang hidungku. Aromanya begitu memabukkan dan berhasil menyihirku yang saat ini mengangguk pelan mendengar perkatannya. Gadis itu tersenyum kembali kepadaku dengan bibir mungilnya yang berwarna merah jambu dan duduk diatas ranjang tepat di samping tubuhku.

"Dimana ini?" tanyaku sekali lagi ketika menyadari sekitarku, dimana saat ini aku berada disebuah kamar yang begitu kecil mungkin ukurannya setengah dari kamar mandiku dengan dinding kayu.

"Di rumah kakek," jawabnya polos sambil memiringkan kepalanya. Ini anak tolol atau idiot, aku tanya dimana bukan rumah siapa? Sabar Leo, aku mencoba menenangkan diri. Aku pun bangkit dan duduk bersamanya saat ini.

"Kamu siapa?"

"Chika."

"Kenapa aku bisa ada disini?" pertanyaanku kali ini seakan pertanyaan kejutan baginya. Karena saat ini mulut mungil itu terbuka sedikit dan dengan cepat dia tutup dengan kedua tangannya. Tanpa menjawab pertanyaanku, gadis itu, Chika, turun dari ranjang dan berlari keluar kamar meninggalkanku sendirian penuh kebingungan.

Seorang laki-laki tua, mungkin kakek-kakek, muncul dari arah pintu bersama Chika yang mengikutinya dari belakang. Kakek itu berdiri mengamatiku yang masih duduk di atas kasur.

"Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaanmu?" tanya kakek itu.

"Kepalaku sakit," jawabku jujur, karena saat ini kepalaku masih terasa sakit.

"Dimana ini? kenapa aku ada disini?" tanyaku pada kakek-kakek di depanku, pertanyaan sama yang aku ajukan pada Chika sebelumnya dan dia meninggalkanku begitu saja tanpa menjawabnya.

"Kamu tidak ingat?" Aku terdiam sambil mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Ingatan terakhirku adalah saat aku berada di klub malam bersama yang lain, minum dan bermain seperti biasa. Namun secara samar aku mengingat sedikit grombolan orang berbadan besar yang tak kukenal menyerang dan setelahnya aku terbangung diatas ranjang tipis ini.

"Tuh kan kakek, kakak tidak bisa mengingat. Kakak itu hilang ingatan," suara Chika berhasil membuyarkan lamunanku, aku menatap bingung dengan apa yang ia bicarakan saat ini. Kakek itu memegang janggut putihnya yang tipis dan mengangguk saat mendengar ucapan Chika.

"Dua hari yang lalu, Chika menemukanmu di pesisir pantai dan membawamu kemari dengan kepala bercucuran darah," jelas kakek itu. Seketika aku memegang kepalaku yang menjadi sumber rasa sakit yang aku rasakan sedari tadi.

"Namamu siapa?" pertanyaan kakek saat ini berlalu begitu saja di telingaku. Saat ini aku sedang berpikir apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Bagaimana mungkin aku terdampar di rumah peyot yang mana atapnya bocor, jendela berderit seperti rumah hantu, air hujan dapat masuk dan menghasilkan bunyi berisik sedari tadi di atas wadah besi seperti sebuah rantang.

"Surya. Nama kakak sekarang adalah Surya," ucapan Chika berhasil mengalihkan pandanganku dari tetesan air ke arahnya yang tersenyum lebar. Aku memandangnya tak mengerti apa yang dia bicarakan.

"Kakak setuju bukan?" tanyanya. Aku mengangkat sebelah alis tebalku karena tidak tahu arah pembicarannya saat ini.

"Karena kakak hilang ingatan dan tidak tahu nama kakak sendiri, aku kasih nama kakak Surya. Seperti sang surya yang menyinari tubuh kakak di pesisir pantai." Aku menatap tajam seperti melotot akan ucapannya. Siapa juga yang hilang ingatan? Anak ini dengan seenaknya memutuskan sesuatu yang tidak masuk akal. Kurasa dia terlalu banyak menonton drama picisan di televisi.

Chika pun berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang sembari menatapku seperti seekor anak kucing yang meminta makanan.

"Kakak tidak suka dengan nama pemberian Chika?" tanyanya dengan nada memelas sambil mendekatkan tubuhnya kepadaku sehingga aroma segar seperti percampuran buah jeruk dan stroberi muncul kembali di sekitarnya yang merhasil membuatku mabuk kembali karena aromanya.

"Suka," tanpa aku sadari, kata-kata yang harusnya muncul di pikiranku terucap begitu saja dari mulutku. Senyuman Chika semakin lebar mendengar jawabanku, dia berdiri dan meloncat-loncat seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan sekantong permen.

Sang kakek hanya berdiri diam di tempatnya sembari tersenyum melihat cucunya dan ikut menari saat Chika mengayunkan tangannya. Setelah puas, Chika terdiam masih dengan senyum mengembang menunjuk dengan jari telunjuknya.

"Mulai hari ini nama kakak adalah Surya."

'WHAT?! 'batinku berteriak tak percaya mendengarkan perkatannya.

Yay, akhirnya punya waktu terbit dimari. cerita lama dari lapak sebelah yang rencana aku pindah sini semua dan aku sisakan disebelah beberapa bab aja.

Jujur, saya masih beradaptasi dengan sistimnya yang tidak ada menu bold, italic etc,

Selamat membaca dan jangan lupa dukungannya

KeySiswantocreators' thoughts