2 Malam Perayaan Berdarah 1

Membuka mata, terbelalak, dengan suara napas terengah-engah karena sesak. padahal ia tidak melakukan apapun selain hanya tertidur selama delapan jam, setelah berkeliling kota untuk memastikan keamanannya. entah apa sebabnya, namun ini sudah terjadi sangat sering bahkan sejak ia tinggal di kota ini. ia bermimpi sangat buruk, benar-benar sangat buruk.

Seraya meredakan sakit kepalanya, ia berusaha sesegera mungkin melupakan mimpi itu. mimpi yang mengganggu malamnya, mimpi yang selalu menerornya setiap saat, mimpi yang membuat emosinya bergejolak tidak karuan.

Tubuh terasa sangat panas, padahal cahaya sang fajar masih muda untuk naik ke puncak singgasananya. kordeng jendela-jendela belum dibuka olehnya karena belum sempat melakukan itu. ia masih berusaha untuk melupakan semua cerita di mimpi itu sebagaiamana ia melupakan penyesalannya di masa lalu.

Namun mimpi itu tidak seperti mimpi orang-orang, yang ia hadapi nyatanya jauh lebih besar. mungkin orang-orang perlu beberapa menit untuk melupakan semua itu. tetapi baginya, satu jam saja masih belum cukup untuk melupakan segalanya.

Padahal... ini sudah waktunya sarapan pagi. seharusnya sudah ada yang mengetuk pintu.

Tuk...tuk...tuk... suara ketukan pintu. suara dengan nada hangat turut berseru di baliknya:

"Tuan muda, apakah anda sudah bangun?"

Tangan yang menyentuh dahi dengan dingin, akhirnya lepas menjawab panggilan dari balik pintu, bukan mulutnya.

"Sarapan paginya sudah siap, saya akan menunggu anda di ruang makan."

Begitulah akhirnya, ia tak meneruskan kata-katanya sama sekali. terdengar suara ketukan sepatu menepuk lantai dari kayu menuju lantai bawah, dia tahu kalau kakek itu sudah pergi meninggalkannya dan benar akan menunggu untuk sarapan bersama.

Bangkit dari ranjang dan merapihkan selimut, lalu memakai seragam pelayannya yang berbalut jubah berwarna hitam legam. kata Yang Mulia, ia wajib memakainya agar orang-orang tidak mengetahui hawa kekuatan yang dia miliki. tapi jujur saja, baginya ini sangat mengganggu. sayangnya, ia tidak tahu bagaimana mengatakannya... melawan perintah atasan adalah kesalahan besar, bahkan kepada seorang raja negeri ini.

Diam dan menurut, itu jauh lebih baik. setidaknya ia bisa berbaur dengan beberapa orang di luar sana, tidak banyak.

Menutup pintu kamar ia segera menuruni tangga menuju ruang makan. tidak perlu banyak melangkah, ia sudah bisa melihat banyak sekali makanan tersaji di atas meja. semuanya bervariasi, roti, bubur, sup, dan sebagainya kecuali satu, nasi.

Di Varaashia tidak ada yang namanya padi, tidak peduli para petualang menyusuri seluruh kota di negeri ini tidak akan mereka temui yang namanya beras. di sini, orang-orang menjadikan gandum sebagai makanan pokok mereka. gandum-gandum itu akan diubah menjadi tepung, lalu akan diolah menjadi gandum atau bubur.

Mungkin jika bubur ayam yang disajikan, ia sangat mau. tapi... lain ceritanya dengan bubur gandum sereal. di lidahnya terasa terlalu manis.

"Duduklah Tuan Muda, biar saya yang menyiuknya untuk anda."

Sebelum kakek tua itu berdiri dari kursinya, ia sudah mengangkat tangan setinggi dada dan menggelengkan kepalanya.

Sepertinya ia tahu bahwa Tuan Muda tidak ingin merepotkannya. maka ia kembali duduk, disusul anak itu.

Tangan anak itu mengambil dua lembar roti, dan di satu sisi setiap roti itu ia oleh selai kacang yang tersaji di atas meja dalam sebuah toples kaca kecil. menggerakkan pisaunya maju dan mundur hingga seluruh permukaan roti itu berwarna kecokelatan. setelah itu, kedua roti itu disatukan. sisi yang dioles selai berada di bagian dalam sehingga rasanya tidak terlalu manis.

Kakek tua itu juga mulai memasukan makanannya ke dalam mulut. bubur gandum sereal yang ia buat perlahan masuk ke kerongkongan dan mengalir menuju lambung. meskipun sudah tidak tersisa di mulut, namun rasa manis gurih darinya masih tertinggal. inilah yang mengganggu anak itu ketika memakannya dan ia sangat tidak menyukainya.

Begitulah seterusnya... mereka hanya makan, mengunyah, dan telan. tidak ada satupun yang berani berbicara.

Jujur saja, makanan yang ia makan jadi terasa hambar melihat anak itu tak berbahasa sepatah katapun.

"Tuan Muda, saya sangat memahami anda tidak menyukai makanan ini. tetapi, hari ini adalah tugas anda untuk melayani Yang Mulia. saya minta Tuan Muda makan sebanyak-banyaknya, agar anda bisa melayani beliau dengan baik."

Anak itu terus memakan rotinya -mengunyahnya pelan-pelan- seolah-olah tak mendengar apapun.

Ini membuatnya semakin merasa tidak enak.

Iapun mendorong kursinya ke belakang dan berdiri, membuat perhatian anak itu akhirnya tercuri karena decit kaki kursi dengan lantai.

"Tuan Muda, apakah ada sesuatu yang mengganjal hati anda? sampaikanlah pada Kakek Halim pelayanmu ini."

Anak itu hanya menggelengkan kepalanya.

Iapun mendekati anak itu. "Jangan tutupi nak, saya sudah bersama anda selama satu tahun lamanya ketika berada di El Dunya. meski saya melihat anda seperti waktu itu, saya yakin anda sedang menanggung kesedihan yang mendalam-"

Braaaakkkk!!!

Tangan anak itu menggebrak meja makan, hingga beberapa tetes kuah dari sup bercipratan ke mana-mana.

Padahal suara itu cukup keras, namun kakek tua itu tidaklah terkejut sama sekali.

Ia hanya memegang bahu kiri anak itu. dari gerakannya nampak seperti terkejut, lalu mengarahkan pandangannya ke sosok hangat kakek tua itu yang memandang wajahnya.

Merasa malu dan menyesal, ia menundukkan kepalanya...

"Tidak apa-apa nak, tidak perlu anda sesali. saya yang harus minta maaf karena terlalu memaksa anda. sebaiknya, kita bersiap-siap. saya yakin Yang Mulia tengah menanti kehadiran kita."

Anak itu menangguk, pertanda setuju.

****

Pintu megah terbuka, nampak di mata beliau tengah bersujud seseorang yang sangat setia padanya. padahal, beliau tidak memanggilnya sama sekali dan memang tidak ada tugas yang bisa diberikan padanya hari ini.

Wakil kepala jenderal juga sudah melapor jumlah kejahatan yang terjadi di kota akhir-akhir ini. kebanyakan semuanya adalah pencopetan yang digagalkan oleh Gustaph. seluruh pedagang yang melaporkan itu padanya dan akhirnya masuk dalam salah satu dari lima puluh delapan laporan yang dibuat oleh bagian pasukan pertahanan dan keamanan kota. Itu hanya sedikit dari banyaknya laporan yang harus beliau tangani setelah kota ini masuk dalam kekuasaannya setahun lalu. semua itu harus segera diatasi sebelum malam perayaan tiba.

Kondisi politik yang memburuk karena kehadiran Gustaph membuat beliau harus mengurus semuanya sendiri, dibantu oleh pelayan-pelayan setianya. Perdana menteri pun tidak mau ikut andil dan berpihak pada para bangsawan. meskipun memang dari pihak mereka tidak ada satupun yang mau berkomitmen memajukan kerajaan selain hanya karena tirani.

"Ada apa kepala prajuritku? aku tidak merasa sedang memanggilmu."

"Hamba datang atas kehendak sendiri Yang Mulia, Hamba ingin menghadap anda."

Beliau mulai melangkahkan kaki menuju singgasana, pintu megah itu tertutup dengan sendirinya.

Sebenarnya, ini bukan pertama kalia kepala prajuritnya menghadap seperti ini. bisa dibilang, hampir setiap ia menyelesaikan tugasnya selalu memohon izin untuk menghadap dan menyampaikan semua yang ingin disampaikannya. meskipun prajurit bawahannya sudah melaporkan segalanya, ia merasa akan jauh lebih baik jika melaporkan semua itu langsung di hadapan Yang Mulia. itu memang inisiatif yang bagus, bukan?

Tetapi hati beliau merasa tidak enak. ia takut bahwa prajurit itu akan melalukan sesuatu yang membuatnya semakin kerepotan.

Berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, Beliau duduk dengan anggun dan menaruh pandangan kepada prajuritnya itu. terlihat di matanya begitu berwibawa dan siap mendengar keluh kesah yang dirasakan.

"Katakanlah padaku, prajurit setiaku. sampaikanlah apapun yang kau mau."

Ketika ingin mengatakannya, terasa sangat berat. prajurit itu tidak bisa mengeluarkan suaranya seakan-akan telah terbelenggu oleh sesuatu yang berat.

Ia menundukkan kepala dalam-dalam...

"Ada apa?"

Ia menggigit bibirnya, berusaha untuk mempertanyakan pertanyaan yang seharusnya mungkin tidak perlu ditanyakan.

"Yang Mulia... masih pantaskah hamba sebagai kepala prajurit anda?"

"Apa maksud pertanyaannya itu?"

"Ampunilah hamba, Yang Mulia. tetapi, bukankah tugas kepala prajurit dalam membimbing dan melindungi para prajurit bawahannya?"

Dalam hati Beliau seperti berkata: "Sudah ku duga!". sepertinya prajuritnya merasakan kesedihan mendalam karena kekalahannya di waktu itu.

"Ketika di medan pertempuran, hamba yakin bisa mengalahkan mereka semua hanya dengan kemampuan yang hamba dapat dari anda. tetapi, kesombongan hamba membuat hamba lupa jika mereka bersekongkol dengan para iblis jahat itu. hingga akhirnya seluruh pasukan anda terpencar ke sembarang arah dan tanpa tujuan, terpojok oleh para makhluk demihuman dan jin."

"Jadi kau pikir, kau bisa melindungi prajurit-prajuritku begitu?! apakah kau benar bisa menjaga hidup mereka dan membawakan kemenangan untuk negeri ini selalu, itukah yang kau pikirkan Chakravatin Ashoka Samrat?!"

Kepala prajurit terdiam, kepalanya masih tertunduk. ia tak mau mengangkatnya karena merasa malu.

"Angkatlah kepalamu tinggi-tinggi, hadapkanlah wajahmu padaku! tunjukkanlah padaku bahwa kau benar kepala prajuritku, Ashoka!!"

Mengikuti perintah, ia menampakkan wajahnya di hadapan Yang Mulia.

"Sekarang, aku akan bertanya. siapa yang memaksa mereka untuk bergabung menjadi prajuritku? jawablah!"

"Tidak ada Yang Mulia, termasuk hamba sekalipun."

"Bagus. Lalu, bukankah mereka sudah bersumpah untuk siap mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk negeri ini? bukankah aku sudah menawarkan mereka untuk mundur jika mereka merasa enggan?"

"Iya Yang Mulia."

"Lalu siapa di antara yang memaksa mereka untuk ikut dalam pertempuran itu? bukankah sudah ku izinkan mereka untuk mundur bila tidak bersedia?"

"Tidak ada yang memaksa, Yang Mulia."

Yang Mulia tersenyum hangat mendengar semua jawaban dari prajurit setianya itu.

"Bagus. dari semua jawaban yang kau berikan, apakah kau tahu maksudnya?"

"Ampunilah Hamba, Yang Mulia. hamba tidak tahu apa-apa. mohon penjelasan anda!"

"Ashoka prajuritku, bukankah setiap ksatria memang harus mengorbankan nyawanya di medan pertempuran? dari semua pertanyaan yang ku sampaikan padamu, aku peringatkan setiap mereka bahwa tugas ini adalah serius dan bukan main-main. seharusnya kalian para prajuritku juga tahu, menjadi prajurit artinya bersiap untuk mati dan keluarga yang kalian tinggalkan juga seharusnya tahu akan hal itu."

Kepala prajurit masih menghadapkan wajahnya pada beliau dan memikirkan setiap kata-katanya yang hangat.

"Aku memilihmu sebagai kepala prajuritku karena prestasi yang kau berikan dari hasil latihanmu selama ini. kau memang kuat, karena aku mengajarimu. tapi bukan berarti kau bisa menanggung nyawa mereka semua hanya dengan pedang dan perisaimu. kau harus tahu, kehidupan dan kematian hanyalah milik Sang Penguasa, kau tidak punya kewajiban atas kematian mereka."

Yang Mulia berdiri dari singgasananya dan kembali berujar:

"Jika kau khawatir dengan keluarga-keluarga yang ditinggalkan, biarlah itu menjadi tanggunganku untuk memelihara anak-anak dan istri mereka. juga prajurit yang selamat, seluruh pengobatan luka-luka mereka akan menjadi tanggunganku."

"Hamba tidak begitu khawatir dengan mereka, tetapi yang paling hamba takutkan adalah...."

Tiba-tiba ada suara ketukan lima kali di pintu megah itu.

"Masuklah, nak."

Yang Mulia sudah tahu siapa yang akan memasuki ruangannya. sebenarnya kode ketukan lima kali itu khusus hanya diberikan untuknya sebagai pertanda memohon izin untuk masuk.

Ketika pintu megah itu terbuka, maka jas hitam yang membaluti kemeja putihnya terlihat memancarkan pesona pelayannya. meskipun wajahnya harus tertutupi jubah yang dijahit sendiri oleh beliau, tetap Yang Mulia bisa merasakan kalau anak itu siap untuk melayaninya hari ini. ya... itu hanya sekedar dugaan saja.

Anak itu melangkah pelan-pelan, membuat suara ketukan keras dari sepatunya menggema ke seluruh ruangan. ketika berada di suatu jarak tertentu, anak itu bertekuk lutut dan menundukkan kepala dalam-dalam tanpa bicara sepatah katapun.

"Aku sudah menunggumu, nak. aku yakin kau siap bertugas hari ini."

Anak itu diam tidak membalas apapun. kepalanya masih tertunduk.

"Kebetulan sekali kalian berdua hadir di hadapanku, karena aku sebenarnya ingin membicarakan sesuatu dengan kalian..."

****

avataravatar
Next chapter