Semuanya sudah selesai termasuk menyediakan seorang penghulu dan beberapa saksi. Ronald juga telah menemukan persembunyian yang tepat untuk Guina. Di mana tak akan ada satu orang pun dari rekan-rekan mereka yang akan mengetahuinya. Ronald mencarikan rumah khusus wanita itu yang jaraknya lumayan jauh.
Guina tampil cantik dengan kebaya putih yang membungkus tubuhnya serta beberapa bunga yang melekat sebagai hiasan kepala. Tinggal selangkah lagi, maka Guina akan resmi menjadi istri Ronald. Dia tidak menyangka jika rencananya akan berjalan secepat dan semulus ini.
***
CRANG!!!
Sebuah gelas mendadak jatuh dari tangan Karin. Aneh sekali. Padahal benda itu dipegangnya dengan erat. Karin kaget. Malangnya setelah itu pikirannya berlabuh pada sosok Ronald.
"Kok perasaanku jadi tidak enak begini, ya," batinnya.
Karin segera membereskan pecahan kaca tersebut sebelum ada yang menginjaknya dan menjadi korban. Setelah semuanya selesai, Karin mencoba menghubungi suaminya. Karin takut terjadi sesuatu dengan lelaki itu.
Tut tut tut…
"Hah, kenapa tidak diangkat?"
Karin melakukan beberapa panggilan, tapi tak satu pun ada yang dijawab oleh Ronald. Hal itu justru mengundang kecemasan di diri Karin. Bagaimana jika lelaki itu sakit? Atau, apakah Ronald sedang mengalami musibah di jalanan? Pikiran Karin semakin liar.
Selanjutnya Karin kembali duduk di sisi brankar. Niat hati ingin menemani sang ibu sampai wanita itu sadar, tapi ibu Karin seketika mengalami kejang. Karin yang barusan duduk di kursi spontan berdiri karena terkejut. Gegas ia memanggil ayahnya yang berada di luar bersama Isha dan Aru.
"Ayah! Ibu kejang-kejang. Tolong panggilkan dokter!" ucapnya.
Karin membawa buah hatinya sementara sang ayah mencari keberadaan dokter. Karin tidak tahu harus berbuat apa. Dia juga tak mengerti apa yang terjadi dengan sang ibu, padahal perempuan itu tadinya hanya tertidur.
"Silahkan keluar dahulu, karena saya akan memeriksa ibu Anda," kata lelaki berkacamata yang barusan masuk ke ruangan pasien.
Keluarga Karin pun menanti di luar. Mereka harap-harap cemas, bahkan Isha dan Aru yang masih kecil pun dapat merasakan bahwa Oma mereka sedang tidak baik-baik saja.
"Oma tenapa, Ma?" tanya Aru.
"Do'akan saja Oma ya, Nak. Semoga Oma lekas pulih," balas Karin disertai nada khawatir.
Karin jadi tak semangat menjalani hari-harinya. Perasaan tidak enak akibat kepikiran Ronald semakin parah saat ia melihat sang ibu kejang-kejang.
15 menit berlalu. Akhirnya sosok yang ditunggu-tunggu keluar juga. Keluarga Karin langsung menghampiri sang dokter yang telah selesai memeriksa ibu Karin.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" ucap Ayah Karin.
Dokter itu menarik napasnya dalam, lalu berkata, "Mohon maaf, Pak. Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi kondisi istri Anda sudah sangat parah dan dia tidak bisa diselematkan lagi,"
Perkataan pria itu sontak mengundang kebingungan bagi Karin dan Ayahnya. Apakah dia sedang memberi kode bahwa ibu Karin telah tiada?
"Maksudnya apa, Dok? Berbicaralah yang jelas!" Nada Karin jadi tinggi.
"Ibu Anda sudah meninggal dunia,"
Dezing!
Seakan ada sebuah pedang yang menghunus dada Karin ribuan kali. Bahkan, dia sampai berlari ke kamar pasien saking tak percayanya dengan ucapan sang dokter. Begitupun dengan Ayah Karin. Lelaki itu spontan meneteskan air mata dan bergegas menyusul putrinya. Tanpa sadar keduanya meninggalkan si kembar. Untung saja dokter itu berbaik hati dan mau mengantarkan Isha dan Aru menemui ibu mereka.
"Ibu! Bangun!" pekik Karin.
Wanita itu terus saja mengguncang bahu manusia yang sudah tidak bernyawa dengan harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi di siang bolong. Isaknya memenuhi seisi ruangan. Membuat si kembar paham bahwa Oma mereka telah tiada.
"Mama! Oma meningggan, Mama?" tanya Isha yang ikut penasaran dengan keadaan.
Namun, tidak ada yang menjawab pertanyaan mereka. Semuanya berbelasungkawa, sedangkan sang dokter sudah pergi untuk mengurus pasien yang lain. Nantinya akan ada beberapa perawat yang membantu ibu Karin untuk dimasukkan ke ruang jenazah.
Ayah Karin terduduk lemas seraya meratapi kepergian istri yang begitu ia cintai. Pria itu bingung harus dengan siapa dirinya menetap, karena selama ini mereka hanya tinggal berdua di kampung.
***
Hari ini Guina benar-benar resmi menjadi Nyonya Ronald kedua. Ya, meskipun pernikahan mereka adalah pernikahan siri. Sejak tadi Guina tiada henti menghayalkan sosok Ronald, sampai-sampai dia sering tersenyum sendiri.
Ronald membantu Guina membereskan barang-barangnya di rumah baru mereka. Ronald berjanji tak akan sering mengunjungi Guina, karena dia tak pernah menganggap perempuan itu ada. Dia melakukan semua ini hanya karena keterpaksaan.
Ronald memilih untuk menonton televisi di ruang keluarga. Dia tidak memedulikan Guina yang sibuk menyiapkan makanan untuk mereka. Lalu, tiba-tiba saja ponsel Ronald berdering. Dilihatnya nama Karin tertera di sana.
"Ya, ampun. Aku bahkan sampai lupa mengecek Handphone karena kesibukan hari ini," kata Ronald sambil menepuk jidatnya.
"Halo, Sayang,"
"Kau ke mana saja, Mas? Aku berulang kali menghubungimu,"
Ronald menubrukkan sepasang alisnya. Suara Karin terdengar parau. Apakah wanita itu sedang menangisi dirinya? Pikir Ronald.
"Maaf, Sayang. Handphoneku berada dalam mode silent. Kebetulan sekali hari ini ada beberapa kali pertemuan dengan kolega yang berbeda-beda,"
Terpaksa Ronald membohingi Karin demi melindungi hati istrinya tersebut. Apa jadinya jika ia mengatakan bahwa dirinya sedang melangsungkan pernikahan dengan Guina? Otomatis Karin akan mati berdiri di sana.
"Ibu sudah tiada, Mas. Jenazahnya sudah dikebumikan tadi siang,"
"Hah? Apa aku tidak salah mendengar?"
Ronald terperanjat di kursinya sendiri. Dia langsung mematikan televisi supaya bisa mendengar suara Karin lebih jelas lagi.
"Tidak, Mas. Semuanya benar,"
Jawaban Karin sontak mengiris batin Ronald. Betapa kejam dirinya. Di saat Karin berduka, Ronald malah menikah dengan sahabat istrinya.
"Besok aku segera ke sana, ya!" pungkasnya sebagai penutup obrolan.
Ronald masih penasaran dengan cerita Ibu mertuanya. Dipikirkan wanita itu akan kembali sehat setelah melakukan rawat inap di rumah sakit. Namun, Ronald tak ingin menambah rasa sesalnya dengan banyak bertanya tentang kondisi di kampung istrinya. Ronald ingin merenung. Pasalnya dia telah melakukan kesalahan besar hari ini.
***
Sampailah Ronald di sebuah tempat yang beberapa bulan lalu ia kunjungi. Namun, kali ini dengan suasana yang berbeda. Sebuah bendera merah berkibar di depan rumah Ayah mertua. Beberapa sanak saudara mulai berpulangan di saat Ronald tiba.
Karin yang melihat kedatangan suaminya langsung memeluk lelaki tersebut. Dia menumpahkan air mata di bahu Ronald. Cairan asin itu seketika ikut luruh juga membasahi pipi Ronald. Malang sekali nasib Karin. Sudah kehilangan ibunya, kini harus berbagi suami dengan sahabatnya pula.
Ayah Karin pun menjamu menantunya dalam keadaan sedih. Tak lupa ia membagikan kisah mereka selama berada di kampung. Kesedihan Ayah Karin kian bertambah, tatkala rumahnya kembali sepi. Pria itu benar-benar kehilangan sosok sang istri.
Tak ingin ayahnya kesepian, Karin pun mengambil inisiatif untuk membawa ayahnya ke kota. Namun, sebelum itu dia harus meminta izin terlebih dahulu pada Ronald.
"Mas. Ayah kan sudah tidak punya teman lagi. Aku khawatir jika Ayah sakit, maka tak akan ada orang yang mengetahui apalagi mengurusnya. Bagaimana jika Ayah menetap di rumah kita saja? Tenang, Mas. Ayah tak akan merepotkan," ucapnya meminta persetujuan dari Ronald.
Maka, akankah Ronald merestui mertuanya untuk tinggal bersama mereka?
***
Bersambung