Tampak seorang cowok datang ke lapangan, menjelang bel istirahat dibunyikan. Dengan sebotol minuman dingin, yang dibawa di tangan kanannya.
"Buat gue?" Aslan mengernyitkan dahi.
"Iya, cepat ambil."
"Heh, dari siapa emangnya? Jangan bilang sekarang Lo, penggemar rahasianya Aslan?" tanya Edo menyahut.
Mereka tampak lemas bersandar pada tiang bendera.
"Udahlah, jangan banyak omong, gak tahu apa gue lagi haus. Thanks, Bro!" Cowok itu menerimanya lantas meminum beberapa teguk hingga menyisakan separuhnya.
"Kalau gitu gue cabut dulu, ya."
"Hey, kemari. Siapa yang ngijinin Lo, pergi?"
"Memangnya ada apalagi, Lan?" Kakinya gemetaran, tampaknya cowok itu takut berdiri di depan seorang ketua geng menyeramkan yang ada di sekolahnya.
"Gak usah grogi gitu, santai aja. Gue cuma mau tanya, dan Lo harus jujur. Ini dari, Lo beneran?"
Cowok itu terlihat sangat gugup, sesekali menoleh ke arah tangga. Tapi, ketika Aslan mengikuti arah pandangnya, dia tak menemukan keberadaan seorang pun di sana.
"Awas aja, kalau dia sampai buka mulut. Percuma dong, gue bayar dia buat lakuin ini," geram Meysa.
Cewek itu menunduk, dan hanya menampakkan sebagian kepalanya saja.
"Punya mulut gak!" bentak Edo dengan kasar.
Tangannya benar-benar susah payah dia gerakkan menuju ke balik tangga sana.
"Lo kenapa, kayak lihat hantu gitu?" Edo sama sekali tak peka dengan kode yang diberikan.
"Oke, gue paham, thanks!"
Aslan berlari menghampirinya. Meysa ingin kabur, tapi cowok itu sudah lebih dulu, menghadang di depan. Posisi mereka kini, berhadapan, hingga Meysa bisa merasakan hembusan napas Aslan.
"Gue yakin, kalau Lo sebenarnya masih peduli. Kenapa sih, Mey, pakai aja menjauh segala? Lupa sama janji dulu?"
"Gak usah kepedean, gue cuma kebetulan aja bawa minum terus lihat Lo kepanasan jadi kasian, udah itu aja," jawabnya tetap tak mau mengaku.
"Minggir! Gue mau balik ke kelas!" Tangannya dicegah, hingga tubuhnya terbentur ke dinding yang ada di belakangnya.
"Gue gak bakalan nyerah, apapun rintangannya bakalan gue hadapi," tegas Aslan sebelum akhirnya melepaskan genggaman tangannya.
Dalam setiap langkahnya pun, ingin rasanya Meysa menoleh, tapi dia menekan egonya, agar cowok itu tak menaruh harapan lebih padanya.
"Meysa!!!" Seorang cewek berlarian membawa selembar kertas untuk ditunjukkan kepadanya.
Elsa, kakak tingkatnya sekaligus bendaraha OSIS, yang selama beberapa hari ini mulai dekat dengan Meysa, karena tugas mereka yang saling membantu dalam mengemban tanggung jawab.
"Ada apa, Kak?"
"Kak Aldo nitip ini buat Lo, katanya pulang sekolah, Lo harus temui dia di ruang OSIS nanti. Oh iya, tadi Lo juga dipanggil sama kepala sekolah, sekarang. Sama si cowok ganteng temen Lo itu," jelasnya.
"Cowok ganteng?"
"Maksud Kakak, si Bima? Astaga Kak, cowok kayak gitu dibilang ganteng? Ah, mandi sehari aja cuma sekali," jawab Meysa.
"Bukan. Itu yang satunya kemaren bareng Lo, berangkatnya."
Meysa rasa tak bersama cowok manapun, selain ..., Bima dan Aslan?
"Masa lupa sih, Mey. Itu yang kepilih mewakili sekolah kita yang tadi ada di sana, tapi sekarang udah gak ada," tunjuknya ke tengah lapangan.
Tidak salah lagi, yang dimaksud barusan memang Aslan.
"Iya Kak, nanti gue sampaikan ke dia."
"Baguslah, kalau punya nomornya jangan lupa bagi ya, lumayan ganteng loh," bisiknya lantas pergi.
"Orang-orang pada kenapa sih, suka sama Aslan, bikin kesel aja," cetusnya.
"Kayaknya ada yang cemburu nih ...." Sahutan itu dari belakang arahnya. Rupanya Aslan sejak tadi masih memperhatikannya.
"Mana ada, buruan ikut gue!"
"Ke mana? KUA?"
"Dih! Mimpi!"
Di ruangan kepala sekolah.
Mereka duduk, disambut baik oleh seorang lelaki, tampak berwibawa.
"Jadi, kalian akan berangkat ke luar kota, untuk mengikuti olimpiade. Karena, berdasarkan nilai hasil ujian kemaren, kalian lolos ke tahap selanjutnya," jelas kepala sekolah.
"Syukurlah, mama pasti seneng banget dapat kabar ini," batin Meysa.
"Berapa hari kita ada di sana, Pak?"
"Seminggu. Selama itu, kalian benar-benar dilatih oleh seorang guru khusus, untuk membimbing kalian," jawabnya.
"Seminggu belajar? Hadeh, yang benar saja Pak, lima menit aja udah ngantuk mata saya," tolak Aslan.
"Memang seperti itu aturannya dan Aslan, saya minta dengan sangat sama kamu, jangan buat keributan apapun di sana nanti, bisa?"
"Selama Meysa ada di sisi saya, gak itu tidak akan terjadi," ucapnya melirik ke arah cewek yang duduk di hadapannya.
Jangan anggap kepala sekolah tak tahu semua tentang keduanya. Guru BK sudah menceritakannya. Bahkan dengan detail. Dia hanya berpura-pura tak melihat, menurutnya dengan adanya Meysa, mungkin bisa merubah sikap Aslan menjadi lebih baik lagi untuk ke depannya.
"Baiklah, jadwal keberangkatan kalian, besok sore ya," ucapnya.
"Pak, tapi saya ada kegiatan OSIS. Besok sore, kami akan mengadakan bazar di lingkungan sekolah ini sampai malam, apa gak bisa diundur? Saya gak bisa lepas tanggung jawab begitu saja," protesnya.
"Makanya gak usah ikut gituan ribet!"
"Aslan, kamu jangan bicara seperti itu, dan Meysa tenang saja saya sudah bicarakan ini dengan ketua OSIS kamu, Aldo," jawabnya.
Meski lega rasanya, tetap saja Meysa ingin ada di samping Aldo. Dia juga ingin, menikmati hasil kerja kerasnya. Tapi, sepertinya memang dia harus memprioritaskan hal yang lebih penting.
Mereka berdua keluar setelah mendapat surat undangan untuk ijin kepada orang tua.
"Gak sabar gue, mulai besok sampai seminggu ke depan, kita bakalan bareng terus. Gak peduli, meski harus pusing kepala mikirin materi lomba," ucap Aslan.
Meysa tak menyahut dan malah berjalan lawan arah dengannya.
"Mey, mau ke mana?"
"Aldo lagi!" Tangan Aslan mengepal, menyadari ceweknya menghampiri cowok lain.
"Kak, tadi panggil saya, ya?"
"Nanti pulang sekolah Meysa, bukan sekarang," jawab Aldo.
"Oh iya, lupa hehe ...."
"Kamu habis dari mana?" Cowok itu menarik lembar kertas yang dibawa Meysa.
"Wih, mau berangkat nih, semangat ya, kamu harus banggain sekolah kita," ucapnya.
"Kenapa wajah kamu kayak sedih gitu? Ada masalah?"
"Kak ..., keberangkatan aku sama harinya dengan jadwal bazar kita," jawab Meysa.
"Iya terus?" Aldo terkekeh mendengarnya.
"Sebenarnya saya, pengen ikutan tapi maaf gak bisa bantuin Kakak nanti," lirihnya.
"Astaga Meysa, santai saja masih ada anggota lain yang bakalan membantu. Jangan anggap, tugas kamu sebagai beban, okey?"
Meysa mengangguk, mendapat tepukan pelan dari cowok itu. Dari kejauhan, Aslan semakin tak terima dengan perlakuan tersebut.
"Tidak ada yang boleh menyentuh Meysa! Berani banget, gue aja mau pegang grogi minta ampun. Emang harus dikasih pelajaran tuh, orang!" geramnya siap meluncurkan pukulan keras ke wajah cowok itu.
Bugh!!
Aldo memegangi pipinya yang memar karena serangan tiba-tiba dari Aslan.
"Lo apa-apaan sih, Lan! Sikap Lo, kayak gini yang bikin gue ngejauh!"
Bersambung ....