webnovel

Tambah Saingan?

Beberapa anggota lain sudah datang di sekolah. Untung saja Meysa selalu membawa jaket, tak lupa minyak wangi yang selalu ada dalam tasnya.

Di aula OSIS.

Pertama kali bagi Meysa, duduk di depan, bersanding dengan ketua. Ini hal yang cukup membanggakan baginya.

"Jadi, siapa di antara kalian sudah tahu tujuan kita berkumpul di sini?" tanyanya.

Hening, tiada yang menyahut. Meysa sendiri saja, tak tahu tujuannya ada di tempat itu.

"Kalian tahu, lusa adalah tanggal ulang tahun sekolah kita. Jadi, kepala sekolah memberikan tanggung jawab kepengurusan OSIS untuk membuat acara," jelasnya.

"Siapa yang punya usul, bisa disampaikan sekarang."

Meysa masih berusaha untuk adaptasi dengan hal ini. Gadis itu memberanikan diri untuk mengangkat tangannya.

"Iya, kamu Meysa, katakan saja," suruh ketua itu.

"Gimana kalau kita buat acara bazar saja, semua kelas bisa berpartisipasi dalam hal ini, jadi mereka bisa ikut serta memeriahkannya," ucap Amira.

"Ide yang cukup bagus, bagaimana dengan yang lain?"

Hanya beberapa anak saja yang berani mengutarakan suaranya. Ketua itu membagi beberapa kelompok anggotanya untuk menjalankan persiapan ini, kecuali Meysa dan ketua. Mereka punya tugas tersendiri.

"Eh, kalian mau ke mana?"

"Pulang Mey, udah sore ini masa mau nginep di sini," jawab beberapa teman yang baru Meysa kenal beberapa jam yang lalu.

"Gue juga ikut bareng ya," pintanya.

"Sorry banget, bukannya kita gak mau, tapi mobilnya gak muat kalau Lo ikut."

Menyesalnya Meysa, tak membawa kendaraan sendiri tadi pagi.

"Ya udah, gapapa, gue bisa cari taksi aja nanti."

Meysa berdiri sendirian di depan pagar sekolahnya. Ditemani seorang satpam rese, yang tak pernah akur bila bertemu dirinya.

"Nih, minum, saya kasihan melihat kamu sedari tadi."

"Bapak kena angin dari mana? Tumben baik, gak ada niat terselubung, 'kan?"

"Sebenarnya sih, ada."

"Dih, perasaan gue jadi gak enak nih," gumam Meysa.

"Jadi, begini saya lagi berantem sama istri. Kamu 'kan sesama wanita nih, kasih cara supaya saya bisa baikan."

Saran sesederhana itu, sangat kecil bagi Meysa.

"Gampang, tinggal ajak dia ke mall, suruh belanja sepuasnya."

"Masalahnya, uang saya takutnya gak cukup." Ini yang menjadi masalah besar baginya.

Meysa menepuk jidatnya sendiri, lantas mengeluarkan beberapa uang dari dalam sakunya. Oh, salah. Itu bukan uang, melainkan sebuah voucher gratis belanja, yang dia dapat saat menang undian saat ikut mamanya ke mall.

"Nih, ambil Pak."

"Ini beneran?"

"Gak, bercanda. Iyalah beneran, Bapak ini gimana sih," kesalnya.

"Gak nyangka ternyata kamu gak juga, kalau istri saya udah baikan, saya janji bakalan kasih hadiah ke kamu."

Meysa melirik ke arah angkot yang melintas, langsung berlari untuk menghentikannya.

"Penuh, Neng!"

"Satu tempat aja Pak, saya harus pulang, ini udah mau malam," pintanya memohon.

"Boleh aja kalau mau duduk di atas."

Meysa mendongak, tak bisa terbayangkan kalau dia ada di sana, pasti banyak ranting yang nyangkut di tubuhnya nanti.

"Mey." Sekilas gadis itu seperti mengenal suaranya.

"Kak, ketua OSIS," jawabnya sedikit berjalan mundur untuk menjaga jarak.

"Kenapa kayak ketakutan gitu? Gak pulang?"

"Iya Kak, duluan aja," jawabnya mempersilahkan.

"Bareng saya aja."

"Gak usah Kak, malah merepotkan nanti kalau ...."

Jari telunjuknya menempel di bibir Meysa, membuat gadis itu serasa ingin menjerit.

"Saya gak menerima penolakan."

Susah payah Meysa menelan ludahnya. Belum sempat tubuhnya naik sempurna di mobil cowok itu, sebuah motor berhenti, tepat di depannya, pengemudi turun menarik tangan Meysa dengan kasar.

"Pulang sama gue!"

"Aslan, apa-apaan sih, gak enak sama Kak ketua," omelnya menepis tangan cowok itu.

"Pacar kamu?"

"Bukan Kak, cuma temen."

Sakit rasanya mendengar jawaban itu keluar dari mulut Meysa, meski memang itu kenyataannya.

"Maaf, saya yang harus mengantar dia pulang, karena keterlambatan ini terjadi karena organisasi di bawah bimbingan saya," ucapnya.

"Gue gak bakalan biarin, Meysa itu punya gue!" cegah Aslan, memegang tangan Meysa agar cewek itu tidak pergi.

"Lan, plis! Jangan nyari masalah lagi. Mendingan Lo pulang aja."

Untuk kedua kalinya, Aslan terpaksa menarik tangannya. Meysa sudah berlalu, dengan cowok itu. Aslan tak terima, dia menendang ban motornya, tanpa merasa kesakitan sama sekali.

"Patah hati, itu sakit, lebih baik sendiri, daripada kecewa." Seorang satpam membacakan karya puisinya membuat Aslan tersindir.

"Bisa diem gak!" bentaknya.

Cowok itu tak mau menyerah, dia memilih untuk mengejar motor yang Meysa naiki.

"Mey! Turun! Pulang sama gue aja," teriaknya.

"Pegangan Meysa," suruh ketua OSIS demi memanasi Aslan agar semakin termakan api cemburu.

Cowok itu mempercepat laju kendaraannya.

"Kak, hati-hati," pinta Meysa karena ketakutan.

Meysa tak tahu saja, jika cowok itu pernah menang lomba balap motor, bahkan menjadi juara tiga tahun berturut-turut.

"Kenapa gaya berkendaranya, seperti gue kenal," gumam Aslan.

Terlambat, motor itu sudah masuk ke dalam pekarangan rumah Meysa. Dan, papa Meysa tampak tengah menyirami bunga di sana. Membuat Aslan, memilih untuk pergi, karena sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi bila dia datang ke tempat itu.

"Pa, udah pulang gak ngabarin Meysa?"

"Ini siapa, ganteng banget," pujinya.

"Halo Om, saya Aldi, maaf Meysa jadi pulang terlambat karena harus rapat OSIS tadi," jawabnya berjabat tangan.

"Kamu ketuanya?"

"Iya Om, saya baru saja menjabat hari ini. Kalau begitu, saya permisi sudah sore," pamitnya.

Dari tatapannya, Meysa seperti merasa, bahwa papanya tertarik dengan gaya bicara dan kesopanan cowok itu. Pandangannya begitu dalam, seperti menyimpan rasa kagum.

"Iya, kamu hati-hati, kalau ada apa-apa hubungi Meysa segera ya," jawabnya.

"Iya, Om." Meski Aldi sebenarnya belum punya nomor gadis itu, tapi dia berpura-pura agar tidak semakin ribet urusannya.

"Pa, kenapa dilihatin terus Kak Aldi, orangnya udah pergi," tegur Meysa.

"Kamu kalau cari cowok tuh, yang kayak gitu. Papa suka, daripada si berandalan, kayak Aslan dulu," jawabnya.

"Pa, Aslan itu ...." Tangan papanya menunjuk, karena tahu apa yang akan dikatakan oleh putrinya.

"Masih berani membela dia?"

"Gak, Pa, kalau gitu Meysa masuk duluan." Dengan wajah cemberut, Meysa nyelonong ke dalam kamarnya, menutup pintu dengan keras.

Membanting tas, dan tubuhnya ke atas ranjang.

"Sampai kapan, gue dipantau terus kayak gini? Gue pengen kebebasan," kesalnya.

Di perjalanan.

Aslan sudah berada di persimpangan depan, setelah mengabari beberapa anak buahnya, untuk datang membantu dirinya. Niatnya ingin memberikan pelajaran, kepada cowok yang sudah berani-beraninya merendahkan harga dirinya di depan Meysa.

"Mana Bos, orangnya gak lewat juga, jangan-jangan dia ke jalur lain?"

"Gak mungkin, cuma ada satu jalur dari rumah Meysa," jawabnya masih menunggu.

"Itu dia," tunjuknya saat Aldi melintas.

"Stop! Turun Lo!"

Bersambung ....