webnovel

Tahu Diri

"Gue minta sama Lo, buat tutup mulut!" ancamnya.

"Kalau gue gak mau gimana?" tantang Edo.

Bughh!!

"Lo bukan tandingan gue, jadi jangan sok bisa! Lebih baik turuti permintaan gue sekarang, atau Lo bakalan terima akibatnya nanti dan juga ..., jangan berpikir hanya Aslan yang bisa ditakuti karena ancamannya. Sepatutnya Lo juga harus merasakan itu ke gue," gertaknya.

Aslan yang tak paham apa-apa, tapi melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, rasa tidak terima dalam dirinya melonjak.

"Berani banget nyakitin Edo," sindirnya.

Kerah baju Aldo, ditarik sekuat-kuatnya hingga cowok itu rasa tercekik akan tingkahnya.

Balasan yang Aslan berikan, dua kali lipat lebih parah. Pukulannya tak hanya sekali, tapi sampai cowok itu tak bisa lagi melawan. Anehnya, tak ada perlawanan.

"Lan, ada yang video!" tunjuk Edo.

"Kejar!"

Rupanya ini adalah rencana, agar Aslan masuk ke dalam jebakannya. Edo jamin, video itu tak sampai ke tangan kepala sekolah ataupun guru BK. Aslan sudah menyelamatkan dirinya, ini waktunya untuk balas budi.

"Berhenti! Mau ke mana Lo?"

"Lapor ke kepala sekolah dong!"

"Udah berani? Mentang-mentang gue adek kelas, jangan pikir takut sama modelan kayak Lo gini," tunjuk Edo.

Sejujurnya cowok itu juga tak berani, dia dipaksa oleh Aldo melakukan ini. Perjanjian awal Aldo akan menjamin keselamatannya, tapi kini cowok itu malah kalah dengan Aslan.

"Rasain!" Edo mengambil tong sampah untuk dituangkan ke kepala cowok itu. Ponsel yang dipegang berhasil direbut.

"Handphone Lo, gue sita. Lo bisa ambil kalau berani datang ke basecamp nanti sore," ucapnya sebelum pergi.

"Gimana, dapat?"

"Aman Lan, gue udah hapus, sekarang ini ada di tangan gue," jawabnya.

"Bisa diandalkan juga, Lo."

"Ngomong-ngomong, kenapa Aldo bisa nyerang Lo, kalau gak ada masalah harusnya ini gak terjadi. Apa yang Lo, lakuin?"

"Kenapa nuduh gue, sih. Ya, tadi itu gue jahil sama adek kelas, habisnya dia ngeselin, terus si Aldo lihat dihajar deh," jawabnya beralasan.

"Lo, gak lagi bercanda, 'kan?"

"Sama sekali gak." Keduanya jarinya diangkat, agar cowok itu percaya.

"Lo tau, gue paling gak suka dibohongi. Gue percaya sama, Lo," ucapnya merangkul bahu Edo mengajaknya pergi.

"Maafin gue, Lan. Seharusnya gak kayak gini, yang namanya sahabat. Tapi, gue masih was-was sama ancaman Aldo, gue takut keluarga juga kena imbasnya nanti," batin Edo.

Langkahnya mendadak dipelankan, saat mereka tahu, Meysa berjalan ke arah keduanya.

"Pura-pura ajak bicara gue, cepetan!" pinta Aslan.

"Bicara apaan?"

"Oh iya, jadi gimana kelanjutan hubungan Lo, sama si itu?" tanyanya sedikit melirik saat Meysa berjalan melewatinya.

"Gila, Lo! Kenapa harus nanya kayak gitu coba topik lain juga ada!" omelnya.

"Gimana salah mulu, aku juga bingung yang muncul di kepala cuma itu," jawabnya.

Di lorong yang tampak sepi, saat Meysa kembali dari kantin, cewek itu melihat Aldo masih bersandar lemas di dinding aula.

"Kak! Kenapa bisa kayak gini? Aku bawa ke UKS, ya?"

"Tidak perlu Mey, ini sudah lebih baikan," tolaknya.

Kedua tangannya tak sengaja berpegangan membuat kedua orang itu saling bertatapan mata.

"Siapa yang melakukan semua ini? Kalau saya tahu orangnya, udah saya marahi pasti. Berani banget dia mencelakai ketua OSIS di sekolah ini," kesal Meysa.

"Kamu yakin mau marahi dia?"

"Kecuali, kalau badannya gede, bisa remuk tulangn saya. Makanya didengerin dulu hehe," jawab Meysa cengengesan.

"Bisa saja bercandaannya. Kamu mau ke mana, bukannya udah jam masuk kelas?"

"Iya, tapi kepala sekolah suruh saya buat kembalikan buku ini sekalian ambil yang baru. Nanti sore 'kan saya berangkat jadi harus cepet selesaikan beberapa bab lagi," jelasnya.

"Ya sudah, kalau gitu saya ikut kamu."

"Ke mana?"

"Kamar mandi. Ke perpustakaan dong, katanya tadi mau ke sana?"

"Iya Kak, tapi ...." Aldo sudah berjalan mendahuluinya, jauh sebelum Meysa menyelesaikan perkataannya.

Di bangku panjang perpustakaan sekolah mereka, cowok itu duduk. Sementara Meysa, harus mengurus beberapa hal dengan penjaga di sana.

"Haus banget," keluh Aldo.

"Minum, Kak?"

"Lupa apa gimana, lihat itu," tunjuknya kepada papan larangan makan dan minum di dalam perpustakaan.

"Hehe, iya. Saya sudah selesai, Kak Aldo mau langsung kembali?"

"Masih pengen di sini, lagian di kelas juga masih jam kosong," jawabnya terlihat cuek, dan masih fokus dengan ponsel yang ada di tangannya.

"Kak Aldo tahu dari mana?"

"Temen."

Cewek itu bangkit, menghampiri penjaga yang melintas dengan kereta dorong yang mengangkut banyak tumpukan buku di atasnya. Sepertinya itu buku baru, untuk menambah jumlah koleksi di perpustakaan sekolahnya.

"Bu, butuh bantuan?"

"Aduh Meysa, gak perlu repot-repot segala, kamu belajar saja sana, bukannya mau lomba?"

"Gak apa-apa kok, Bu. Gak repot sama sekali, saya malah seneng kalau bisa bantu kayak gini," jawabnya tetap nekat.

"Ya sudah, terima kasih ya, kamu baik banget. Ini tolong taruh di rak baru pojok sana. Saya pegang yang lain dulu," suruhnya.

Mengingat, Meysa tak kunjung kembali sedari tadi. Aldo lantas bangkit untuk mencarinya.

"Tinggi banget, mana gak bisa aku jangkau. Panjat aja kali, ya? Daripada kelamaan juga," gumamnya.

Satu kakinya sudah ada di tingkat kedua karena kurangnya keseimbangan dan juga rak tersebut belum memiliki muatan, hingga roboh.

"Meysa awas!" Aldo berlari menangkap tubuh cewek yang hampir saja terjatuh, hingga keduanya tertubruk di lantai. Rak tersebut menyusul jatuh. Aldo memasangkan punggungnya, agar Meysa tidak terluka. Sayangnya kepala cewek itu masih kejatuhan buku.

"Astaga! Satpam tolong!!" teriak penjaga perpustakaan.

"Ayo kita angkat ini."

"Kalian tidak apa-apa?"

"Aman Bu, cuma punggung saya habis ini kayaknya perlu direbahkan seminggu," jawab Aldo.

Dia baru menyadari, kalau kepala Meysa mengeluarkan darah. Cewek itu memeganginya, jarinya sampai terkena aliran darah tersebut.

"Tolong ambilkan kotak obat!" Perintah Aldo.

Cowok itu menuntunnya untuk duduk.

"Tahan ya, mungkin ini agak sedikit perih," tuturnya.

"Sakit, Kak!" pekik Meysa.

"Sabar, bentar lagi selesai." Perban sudah berhasil dibalut. Terlihat rapi, saat Meysa amati di depan kaca.

"Kak Aldo jago juga ya, bagus," pujinya.

"Tapi, saya malu pakai ginian pasti dikira cari perhatian sama anak-anak lain," lanjutnya.

"Gak akan ada yang berani kayak gitu. Lagipula, kamu tambah cantik kalau diperban gini," jawab Aldo.

"Apaan sih, Kak. Ini yang dibilang bagus? Aneh bener," kesalnya.

Kring!!

Semenjak mendapat ancaman dari Aslan waktu itu, dan karena Meysa sudah menjauh darinya, kini tak ada lagi yang berani menganggunya di sekolah tersebut. Saat berpapasan pun, mereka hanya diam saja, tanpa melirik karena tahu yang bersamanya bukanlah Aslan, melainkan Aldo.

"Kamu punya masalah apa sama mereka?"

"Gak tahu, emang gak jelas mereka itu," jawabnya.

"Lan, itu kepala Meysa kenapa?" Mendengar teguran dari temannya yang lain, cowok itu langsung mengepalkan tangan penuh emosi. Dia pikir, Aldo tak bisa menjaga Meysa hingga membiarkan cewek itu terluka.

"Ingat Lan, Lo udah gak dianggap sama Meysa," bisik Edo mengingatkan.

Dengan pernyataan itu, Aslan lebih memilih untuk pergi.

Bersambung ....