"Beneran udah selesai semua?"
"Astaga! Gue kira hantu atau penampakan, bikin kaget aja," kesalnya.
"Ayo balik ke basecamp!"
Aslan tak mau pulang malam ini, selama papanya masih ada di rumah. Tak sudi dia bermalam di rumahnya.
Semua anak buahnya sudah berhamburan pergi dari tempat itu. Lagi-lagi hanya ada dirinya dan Edo.
"Lo gak pulang? Di sini kalau malam serem loh," ucap Edo tak rela meninggalkannya.
"Males."
"Pasti ada masalah lagi nih, anak. Pulang ke rumah gue aja kalah gitu," ajaknya.
"Lo, yakin? Bokap Lo gak marah?"
"Dia lagi di luar negeri, gue ditinggal sendirian di rumah, udah gak masalah."
"Thanks, Do! Lo adalah sahabat gue yang paling baik." Aslan memeluknya dengan bangga.
"Ya, harusnya Lo berterima kasih sama Tuhan karena sudah menurunkan gue," jawabnya menyombongkan diri.
Di perjalanan.
"Lan, gue rencananya pengen pindah ke kelas Lo, boleh gak ya, kira-kira sama Bu Rena?"
"Lo yakin? Udahlah di kelas lama aja, ngapain pindah segala. Gue aja nyesel pindah," jawabnya keceplosan.
"Lo seriusan? Bukannya mau ngejar pujaan hati?"
"Gue gak tahu Do, bisa berjuang lagi atau gak. Meysa semakin hari, kayak ngejauh dari gue," jawabnya.
"Lo yang sabar, kalau jodoh gak bakalan ke mana kok." Hanya ucapan itu yang bisa Edo berikan untuk menyemangati sahabatnya.
Pagi harinya.
Aslan tak perlu bingung sebenarnya, karena dia sudah membawa seragam sekolahnya. Niatnya akan mandi dan bersiap di basecamp, karena tempat itu dibangun dengan fasilitas yang lengkap.
"Lan, buku Lo gimana?"
"Gampang, dihukum juga gue udah kebal," jawabnya.
"Oh, ya udah, kita berangkat sekarang?"
"Iyalah, kecuali kalau mau sengaja bolos, biar dapat belaian hangat dari Bu Rena," jawabnya disusul tawa terbahak-bahak keduanya.
"Bisa aja, Lo!"
Edo melemparkan remot game miliknya, mengajak cowok itu bermain.
"Nekat juga Lo," sahut Aslan.
Mereka sudah sepakat akan bermain sampai pukul tujuh lebih sepuluh menit. Diperkirakan sampai ke sekolah tepat pukul setengah delapan nanti.
Di sekolah.
"Bangku Aslan sebelah mana?" tanya Meysa berbisik.
Pagi ini, dia memutuskan untuk berangkat dengan motornya sendiri. Untung saja, kedatangan Aldo berhasil membuat papa Meysa mengijinkan dirinya untuk mengendarai motor kembali.
"Di belakang gue," jawabnya.
"Lo seriusan? Tapi, kenapa dia gak masuk?"
"Mana gue tahu, kangen Lo?"
"Dih, bukan gitu sudahlah Lo gak bakalan paham," kesalnya.
Dua orang cowok, dengan santainya berjalan memasuki kelas itu. Kebetulan, hari ini adalah pelajaran Bu Rena. Yah, mental Aslan sudah sangat kuat mendengarkan semua ocehan guru itu.
"Bagus, ini jam berapa?" sindirnya.
"Aslan, kenapa sih, hobi banget buat sama marah?"
"Ibu aja yang emosian kalik," jawabnya membuat seisi kelas tertawa.
"Jawab terus kalau dimarahi. Ini juga, Edo ngapain ada di sini, kelas kamu di mana?"
"Bu, saya juga pengen pindah di sini bareng sama Aslan," jelasnya.
"Gak boleh! Ibu curiga jangan-jangan kalian punya hubungan sampai gak bisa dipisahkan kayak gini?" balasnya membuat Edi ditertawakan.
Cowok itu hanya diam, pasrah dengan semuanya.
"Ibu gak mau menghukum kita?"
"Ya, harusnya, tapi Ibu rasa hukuman yang biasanya tidak akan membuat kalian jera. Bagaimana kalau kita lakukan hal baru?"
"Lan, perasaan gue gak enak," bisik Edo.
"Sama."
Guru itu menyuruh mereka untuk mengikuti langkahnya keluar dari ruangan. Kepergian Aslan, diikuti dengan tatapannya ke arah Meysa. Cowok itu seolah tak mau meloloskan dirinya dari tatapan tersebut, bahkan sampai keluar dari ruangan. Beberapa murid lain, mengintip dari jendela, tak banyak juga diam-diam mengikuti dari belakang karena penasaran dengan tindakan Bu Rena kali ini.
"Kayaknya bakalan seru nih, Mey, ikutan keluar yuk," ajak Bima.
"Gak, gue pengen di sini aja," tolaknya.
"Sayang banget, Lo melewatkan momen langka ini."
Meysa tak bisa membohongi dirinya sendiri, sejujurnya dia ingin sekali keluar bersama murid lainnya juga. Tapi, dia tak bisa karena merasa tak enak hati, jika Aslan sampai melihat wajahnya.
"Eh, Bos dihukum!" Suara itu menggegerkan beberapa anak buah Aslan di dalam kelas.
Mereka heboh, dan ikut melihat hal tersebut.
Rupanya, dua cowok itu dibawa ke lapangan.
"Variasinya mana, Bu? Kayaknya tiap hari kita juga disuruh hormat ke tiang bendera," ucap Edo mendapat cubitan keras dari Aslan.
"Kayaknya kalian sudah tidak sabar. Tunggu di sini, dan jangan ke mana-mana!"
Guru itu masuk ke dalam kantor guru. Mengambil spidol dan kertas yang sudah dia gantung menggunakan tali.
"Saya berjanji tidak akan bolos lagi. Kalau saya ulangi, saya bakalan janji lagi." Kira-kira kalimat itu yang dituliskan Bu Rena pada kertas tersebut.
Niatnya memang untuk menyindir dua cowok itu, yang selalu saja mengumbar janji manis kepadanya setiap kali mendapatkan hukuman.
"Bu, gak gini juga kalik. Malu-maluin aja," kesal Edo.
Mereka melihat banyak sekali murid yang tengah menertawakan dirinya.
"Harusnya malu dengan sikap kalian itu!"
Bu Rena mencoretkan spidol itu ke wajah keduanya, bahkan Aslan sama sekali tak protes kepadanya. Dia ingin Meysa menyaksikan semua ini, tapi sejauh mata memandang, bahkan di setiap celah kerumunan para murid baik di lantai atas ataupun bawah, tak juga Aslan menemukan wajah yang dia harapkan.
"Aldo, kemari." Nama itu mampu mengalihkan pandangan Aslan.
"Tolong kamu awasi mereka di sini, saya mau angkat telepon dulu," suruhnya.
"Baik, Bu."
Cowok itu tersenyum licik, bersandar di tiang bendera, dengan dua tangan dia lipatkan di dadanya.
"Apa Lo, lihat-lihat!" Dari semalam Edo ingin sekali memberikan pelajaran kepada cowok itu.
"Kayaknya ada yang kurang." Cowok itu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.
"Heh, jangan berani macam-macam, ya!"
Aslan menendang tangan cowok itu, sampai ponsel terbanting ke lantai lapangan.
"Ini baru bos, gue," ucap Edo dengan bangganya.
"Ada apa ini!" Bu Rena tak melihat kejadian secara langsung, tapi di sini Aldo terlihat sebagai korban, apalagi dengan kelicikannya yang semakin menjelaskan bahwa dirinya tersakiti.
"Aldo, apa mereka yang menjatuhkan ponselmu sampai kacanya retak seperti ini?"
"Em, gak Bu, saya yang kurang hati-hati tadi, kalau gitu saya permisi ...."
"Sok baik," umpat Aslan.
"Saya yakin, pasti ini ulah kalian. Aldo itu anak baik, pasti dia sengaja berbohong demi menyelamatkan kalian," omelnya.
"Kalian tetap berada di sini, sampai jam istirahat selesai."
Kayu yang dibawa olehnya, dipukulkan ke tiang bendera, hingga keduanya terkejut. Selepas kepergiannya, barulah Aslan duduk.
"Lan, nanti ketahuan cepet bangun!"
"Gue gak peduli. Capek!"
"Masalah cinta lagi, emangnya orang kalau lagi patah hati, semuanya bisa dikaitkan. Sampai sekolah aja males, kayak kehilangan rasa semangat," ejeknya.
"Lah, bukannya tiap hari emang kita malas?"
Bersambung ....