Di ruang kepala sekolah.
Mereka bertiga dikumpulkan.
"Pak, saya gak mau ikutan lomba gak jelas kayak gini. Saya tuh, maunya ikut basket, sepak bola," tolak cowok itu.
"Maaf Aslan, tapi nilai kamu saat ujian kemaren masuk dalam kategori ini," jawab kepala sekolah.
"Itu mungkin cuma keberuntungan aja Pak, ganti aja udah, itu si juara kelas 'kan ada, lebih pinter lagi," sahutnya tetap menolak.
"Keputusan ini tidak bisa dirubah lagi. Nama kalian bertiga sudah saya kirimkan ke pusat sebagai peserta lomba. Ini buku untuk kalian bertiga, pelajari dengan benar. Besok kalian ke sini lagi, kita latihan soal-soal," jelasnya.
Sementara, Bima dan Meysa, tidak ada penolakan dari mereka karena yakin akan kepercayaan yang kepala sekolah berikan.
"Nih, buat kalian aja." Aslan malah memberikan buku miliknya kepada Bima dan Meysa begitu mereka keluar.
"Gak bisa gitu dong, kita ini tim, dan harus kompak gak boleh saling menggantungkan," tutur Bima.
"Halah, gak penting juga, kalian lulus nanti ini juga gak bakalan berguna," jawabnya meremehkan.
"Lan, cukup ya, jangan kayak gitu gak baik. Bim, ayo pergi," ajaknya menggandeng tangan Bima.
"Eh, jangan pakai acara gandengan tangan segala, lah!" Aslan melepasnya secara paksa.
"Kenapa?" Meysa malah memeluk vima, membuat cowok itu semakin kesal.
"Terserah, Lo!"
"Yakin, dia cemburu," ucap Bima melihat tingkahnya.
"Nanti pulang sekolah kita belajar bersama ya, mama buat kue enak hari ini, karena semalam gue gak mau makan," ajaknya.
"Udah gue duga, kebiasaan emang. Gimana kalau kita ke rumah pohon aja, udah lama gak ke sana." Bima benar, terakhir kali mereka datang, saat ulang tahun Meysa.
"Boleh."
Siang ini, mamanya sudah membawakan makanan dan beberapa cemilan lain, untuk mereka bawa.
"Pulangnya jangan terlalu sore, papa kamu belum berangkat ke luar kota soalnya," tutur mamanya.
"Iya deh."
Begitu sampai di sana, mereka terkejut melihat keadaan rumah pohon yang rusak parah. Ini bukan karena bencana, pasti ada orang yang sengaja mengacak-acak tempat ini.
"Kalau gue ketemu sama tuh orang, pasti udah gue kasih mereka pelajaran," geramnya.
"Sekarang udah gak ada tempat lagi, mendingan kita balik aja, belajar di rumah," ajak Bima.
Mereka mendengar suara orang berkelahi, yang terdengar jelas tak jauh dari tempat itu. Meysa berjalan ke arahnya, meski sudah ditahan oleh Bima, cewek itu nekat.
"Itu bukannya geng si Aslan?"
"Jadi, semua ini ulah mereka! Lihat aja pembalasan dari aku," kesalnya.
"Itu anak bukannya belajar, malah berantem," sahut Bima semakin memanasi.
Setelah perkelahian mereka selesai, Meysa menarik Aslan diam-diam.
"Meysa, Lo ngapain di sini?"
"Jadi, Lo yang udah rusak rumah pohon itu?" tunjuk Meysa.
"Lebih tepatnya anak-anak. Gue cuma bantuin mereka aja."
"Gampang banget jawabnya ya, Lo tahu rumah itu penuh kenangan buat gue," omel Meysa.
"Memang yang buat papa Lo?"
"Iya!"
"Mati gue," gumam Aslan.
"Gue minta pertanggungjawaban sekarang, kalau gak lihat aja apa yang bakalan gue lakukan!"
"Mey, tapi ...."
"Gak ada tapi-tapian," potong Bima.
Sialnya, dia tinggal seorang diri, anak buahnya pun sudah pergi.
"Mendingan telepon mereka aja, buat balik ke sini," ujarnya.
"Lan, ngapain suruh kita ke sini lagi, geng Remon belum kapok juga?"
"Kalian mau uang?" Aslan mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya.
"Mau dong, tapi syaratnya apa?"
"Pintar sekali. Kalian benerin tempat ini, baru uang ini buat kalian," suruhnya.
"Hah? Gak salah? Ini tempat udah hancur kayak gini, ngapain juga dibenahi udah tinggal aja nanti juga ada yang benerin," jawab Edo.
"Sekarang gue tanya, yang rusak semua ini siapa?"
"Geng Remon," jawab anak buahnya.
"Kalian juga ikutan! Udah pokoknya gak mau tahu harus kalian kerjakan!"
Sampai di rumah Bima, cewek itu merebahkan tubuhnya di sofa menunggu Bima membereskan buku-buku mereka.
"Gara-gara Aslan dan teman-temannya waktu belajar kita tersita," kesal Meysa.
"Udah, gapapa, berdoa aja semoga besok kita lolos seleksi itu."
Meysa pulang sekitar pukul lima sore, hanya perlu berjalan kaki untuk sampai rumahnya. Dia datang, papanya sudah membereskan koper, dalam hatinya begitu senang pastinya sang papa bakalan lama di luar kota.
"Pokoknya kamu ingat pesan Papa yang kemaren," tegasnya.
"Iya Pa," jawabnya.
"Papa berangkat dulu ...."
"Huh!! Akhirnya aku bebas!!" Meysa melompat-lompat di atas kasurnya, merayakan kebahagiaan ini. Mamanya yang baru saja masuk sampai terkejut, melihat kelakuan anaknya.
"Meysa, nanti kasur kamu rusak! Lebih baik sekarang kamu belajar sana, cepetan!"
"Iya, Ma."
"Mama bangga sama kamu, karena terpilih dalam ajang seleksi ini. Mama harap, kamu bisa membanggakan sekolah dan keluarga. Kalau kamu memang, Mama belikan kamu motor baru."
"Mama serius? Motor yang kayak Meysa pengen dari dulu?" tanyanya kegirangan.
"Iya ...."
"Meys sayang banget sama Mama!" Gadis itu memeluk erat sang mama.
Malam ini, Meysa pastikan akan menyelesaikan semua materi. Tapi, sebelum itu dia membuka pesan di ponselnya. Dia yakin, nomor asing itu milik Aslan. Iseng-iseng dia simpan nomornya, tak lama story cowok itu muncul, membuatnya bahagia tapi Meysa tak mau melihatnya langsung, dan memilih mendiamkan beberapa saat terlebih dulu.
Grup sebelah terlihat ramai, banyak yang tag atas namanya. Membuat perhatian Meysa teralih.
"Apa-apaan ini, kenapa mereka jadi salahkan aku karena jarang nimbrung, dan malah mau keluarkan aku dari grup! Dikira hidup cuma buat mereka aja apa!"
"Keluarin aja sana, gue gak peduli!" kesalnya.
"Meysa! Belajar sayang jangan main terus," teriak mamanya.
"Iya, Ma!"
Tinggal satu buku lagi, tebalnya sih, lebih dari seratus halaman. Meysa rasa dia butuh minuman yang bisa menolak rasa kantuk dalam dirinya. Tengah malam, gadis itu menuju dapur untuk membuat kopi. Dia merasakan angin malam masuk ke dalam rumah, setelah dilihat jendela rumahnya terbuka.
"Mama ini kebiasaan, pasti lupa," gumamnya segera menutup jendela itu.
Meysa merasa ada seseorang yang lewat, dengan baju serba hitam. Awalnya dia takut, karena dipikir itu adalah hantu, setelah diamati itu lebih mirip dengan ....
"Maling!!" teriaknya membuat sang mama terbangun.
"Ada apa sayang?"
"Ada maling di luar, Ma! Kita harus kejar!"
"Meysa jangan, bahaya, biar anggota pos ronda yang menangkap mereka," cegah sang mama.
"Biar Mama hubungi mereka."
Padahal Meysa ingin sekali ikut menangkapnya, malam-malam begini olahraga sepertinya seru juga.
"Lagian kamu ngapain malam-malam di dapur, belum tidur juga?"
"Meysa masih belajar Ma, tadi bikin kopi supaya gak ngantuk," jawabnya.
"Belajar boleh, tapi jangan lupa sama kesehatan kamu sayang," tutur mamanya.
"Meysa takut mengecewakan Mama ...."
"Apapun hasilnya, Mama ikhlas terpenting kamu sudah bersungguh-sungguh."
Bersambung ....