Sore ini, Meysa meminta sahabatnya untuk mengantar dia ke toko buku. Ada banyak novel baru di sana, kebetulan penjaga toko itu, keponakan dari mamanya dan sangat akrab dengannya.
"Bim, berhenti!!!" Cewek itu menepuk pundak sahabatnya.
"Ada apa sih, Mey! Gak lihat awan mendung itu?" tanyanya menunjuk ke arah langit.
"Hustt!!" Cewek itu menutup paksa mulut sahabatnya agar tidak semakin berisik.
"Lihat itu, bukannya dia ketua geng yang, Lo maksud. Teman sebangku gue, namanya siapa ..., Aslan!"
Cowok itu melepas tangan Meysa yang masih membungkamnya.
"Terus masalahnya apa? Sudah biasa dia seperti itu, tidak usah dihiraukan. Lebih baik kita pergi sekarang, sebelum hujan turun," sahutnya tak peduli sama sekali.
"Lo gimana sih, mana jiwa kemanusiaannya?"
Tanpa mendengarkan jawaban dari cowok itu, Meysa melompat turun dari atas motor dan berlari. Satu niatnya, tak peduli siapapun dia, Meysa hanya ingin menolong mereka.
Cewek itu langsung masuk ke dalam perkelahian. Bahkan beberapa cowok dari geng sebelah sampai kebingungan, akan kedatangannya.
"Hey, Lan! Sekarang nampung cewek juga? Itu geng apa tempat pengungsian?"
"Banyak omong!"
Brakk!!!
Sekali tendang, Meysa jamin cowok itu menyesal sudah mengatakan hal demikian.
"Ayo pergi!"
"Heh, Lo ngapain lagi sih, ngikutin gue?" Bukannya berterima kasih karena sudah ditolong, Edo malah membentaknya.
"Gara-gara Lo, geng kita jadi dihina!" sahut Tama.
"Kalian pikir pakai otak! Sudah tolong malah kayak gitu," kesal Meysa mengibaskan tangannya yang terasa lelah karena sudah lama dia tak berkelahi.
"Cukup. Kalian pulang duluan ke basecamp. Nanti gue nyusul," suruh Aslan pada anak buahnya.
Tak ada yang membantah, mereka langsung pergi satu persatu, dengan motornya yang memiliki suara hampir merusak telinga orang yang mendengarnya.
"Itu anak buah Lo, bilangin suruh ganti knalpot, berisik banget!"
Cewek itu hendak pergi, tapi tangannya ditahan oleh Aslan. Membuatnya terdiam mematung.
"Ngapain sih, pegang-pegang. Mau cari kesempatan?" tuduhnya.
"Makanya jadi cewek itu jangan banyak negatif thinking!" Aslan menyentil dahi seorang cewek yang kini berdiri tepat di hadapannya.
"Berani banget, Lo!"
"Mau apa?" cegah Aslan dengan tangan Meysa yang siap untuk memukulnya.
"Lepasin gak!"
Melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, Bima yang tengah memperhatikan mereka dari kejauhan, lantas memberanikan diri untuk mendekat.
"Mey, ayo pergi," ajaknya dengan motor yang sudah siap dia naiki.
"Eh, siapa yang mengijinkan Lo pergi," cegah cowok itu kembali.
"Mau Lo, sebenarnya apa sih?"
"Biar gue yang anter, cewek ini. Lo pulang aja," tunjuknya ke arah Bima.
"Heh! Gak bisa gitu dong, gue gak mau dianter sama cowok nakal kayak Lo, mendingan sama si Bima," tolak Meysa mentah-mentah.
"Lo pergi sekarang, atau gue buat hidup Lo menderita," ancamnya pada Bima.
Cowok itu tak mungkin berani menantang Aslan, apalagi dia sudah mempunyai koneksi di mana-mana yang justru akan membuat hidupnya tidak tenang.
"Mey, maafin gue, ya ...." Bima langsung memutar kemudian meninggalkan sahabatnya.
"Eh, Bima! Tega Lo ya, ninggalin gue sendirian awas aja besok, gue bikin Lo nyesel!" teriaknya tak didengar oleh cowok itu.
Bima lebih memilih dihajar oleh Meysa, atau dimarahi olehnya ketimbang berurusan dengan Aslan.
"Sekarang mau pergi ke mana? Biar gue antar." Bahkan cowok itu sudah naik ke atas motornya, menyodorkan sebuah helm kepada Meysa.
"Maksa banget sih, jadi orang. Gue bilang gak mau, ya gak! Angkot, berhenti!"
Meysa malah menaikinya, dan meninggalkan Aslan sendirian.
"Menarik. Baru kali ini ada cewek yang menolak tawaran dari gue," gumamnya lantas mengikuti angkot tersebut.
Meysa merasa tak tenang, begitu tahu Aslan masih saja mengikutinya.
"Pak, lebih cepat lagi," pintanya pada sopir angkot itu.
"Emang kecepatannya segini, Neng. Kalau mau cepet naik ojek saja, lagian saya juga masih mau cari penumpang," jawabnya malah enak-enakan mendengar musik.
Cewek itu tak mungkin bisa menghindar jika terus-menerus seperti ini. Sudah dia duga, Aslan akan menghadang angkot yang dinaiki olehnya. Lagu lama, bahkan beberapa kali adegan itu muncul pada drama yang sering Meysa tonton.
"Itu orang waras gak sih, menghalangi jalan saja! Hey, minggir!" teriak sopir itu.
"Maaf Pak, saya cuma mau jemput pacar saja di angkot Bapak," ujarnya mengaku-ngaku.
"Neng, turun sana ganggu perjalanan kita, saya sudah telat ini mau ke kantor!"
"Iya Neng, cepatan turun, anak saya lagi sakit ini," protes beberapa penumpang dalam angkot itu.
Meysa berdecak kesal, terpaksa dia turun dengan wajah cemberut. Angkot itupun pergi, kembali hanya ada mereka berdua di pinggir jalan sana.
"Rese banget jadi cowok!"
"Gue cuma mau balas budi karena Lo, udah bantuin gue tadi. Mau ke toko buku, 'kan? Ayo, gue antar," ajaknya menarik tangan Meysa, dan tak bisa lagi dihindari oleh cewek itu.
Dalam hatinya, bingung, dia bahkan belum mengatakan tujuannya kini, tapi cowok itu sudah terlebih dulu mengetahuinya.
Di atas motor pun, tangannya ditarik agar dilingkarkan ke pinggang cowok itu. Dengan kasar, Meysa menepisnya. Dia pikir, cewek apaan seenaknya dipegang-pegang.
"Gak usah cari kesempatan!"
"Gue cuma takut kalau Lo jatuh nanti, cepetan pegangan!" perintahnya.
"Gak! Ogah banget!"
Terpaksa Aslan harus menggunakan caranya, cowok itu menginjak gas untuk menambah kecepatan laju motornya, lalu menginjak rem tiba-tiba. Membuat tubuh Meysa, menubruknya.
"Sengaja, Lo? Gila banget nih cowok, turunin gue sekarang!" pintanya.
"Makanya pegangan, atau mau kayak tadi lagi?"
"Iya-iya, ini pegangan!" Tangannya hanya diletakkan di atas pundak cowok itu, malas sekali jika harus menuruti kemauannya.
Sampai di depan toko buku.
Meysa melepas helm yang dia kenakan, hendak langsung masuk ke dalam. Langkahnya tertahan, begitu mengingat sesuatu.
"Makasih, udah pulang aja sana, gue bisa balik sendiri nanti," suruhnya.
"Ayo masuk." Bukannya mendengarkan perintah dari Meysa, cowok itu malah berjalan merangkulkan tangannya membawanya masuk ke dalam toko itu.
"Gak waras, nih orang."
"Hai Mey, siapa tuh, cowok baru?" Goda Niken, penjaga sekaligus keponakan dari mamanya.
"Apasih, gak tahu siapa gak kenal."
"Astaga gak baik ngomong kayak gitu sama pacar sendiri. Sabar ya, Meysa emang kayak gitu orangnya," bisik Niken lantas pergi membiarkan keduanya menjelajahi toko tersebut.
Cewek itu kini merencanakan sesuatu diam-diam. Dia sengaja berlama-lama ada di toko itu, meski semua buku yang dia cari sudah didapatkan, tapi niatnya untuk mengerjai Aslan, baru akan dia jalankan.
"Buku macam apa sih, isinya bacaan semua," ujarnya begitu membuka salah satu novel yang ada di sana.
"Namanya juga novel. Emangnya Lo gak pernah baca kayak gini?"
"Buat apa, mending juga nongkrong sama anak-anak," jawabnya.
"Makanya otak Lo, agak gesrek. Jarang belajar sih, hati-hati kalau bodoh gak ada cewek yang mau sama Lo," sahutnya menakuti.
Meysa sengaja membuat cowok itu berpikir, dengan senyum remehnya dia kembali merapikan buku-buku yang hendak dia beli.
Bersambung ....