webnovel

He's My Billionaire (Te Iubesc)

Tidak pernah terpikirkan oleh Marsha untuk memiliki sebuah hubungan dengan seorang pria kaya nan tampan. Marsha sungguh tidak berniat memiliki masalah dengan pria mana pun itu, terutama pada Alland. Marsha Charlotte adalah artis terkenal yang sedang ditimpa sebuah skandal dengan seorang direktur di tempat ia bekerja. Perkara skandal itu, Marsha melakukan hal bodoh lainnya. Ia tanpa sengaja melakukan hubungan One Night Stand (ONS) bersama seorang pria yang tidak dikenalinya. Hingga lima bulan kemudian, Marsha dipertemukan kembali dengan pria itu. Dan parahnya, pria itu adalah seorang CEO di tempat ia menjalin kerja sama menjadi seorang bintang iklan di perusahaannya. Alland Ray Standford, seorang billionaire muda yang melakukan hubungan ONS dengan Marsha. Pertemuan kedua mereka membawa keduanya ke dalam sebuah hubungan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Hubungan keterikatan kerja yang seharusnya terjadi antara CEO dan model iklan berubah menjadi hubungan yang lebih menarik. Penolakan Marsha terhadap Alland benar-benar menggores ego Alland. Apalagi Marsha berpura-pura tidak mengingat kejadian malam itu, membuat Alland benar-benar kesal. Ia pun melancarkan aksinya untuk membuat Marsha mengakui kesalahannya itu, hingga akhirnya tanpa bisa dicegah mereka kembali melakukan kesalahan itu lagi.

Puantrgn_ · Teen
Not enough ratings
275 Chs

Part 20

Seminggu sudah berlalu. Namun, kejadian itu masih menjadi ingatan kuat bagi Marsha. Ia bahkan tidak berani masuk ke tempat kerjanya keesokan harinya. Untung saja Alland masih mau memakluminya, tapi tidak untuk kedua kalinya karena pria itu dengan tiba-tiba menjemputnya di apartementnya. Marsha sendiri sebenarnya masih terasa malu pada dirinya sendiri, walaupun Alland sudah mengatakan jika tidak seharusnya Marsha bersikap demikian. Apalagi mencoba untuk menghindarinya.

Marsha mendesah kasar. Hidupnya sudah terlalu rumit dan kini semakin berat untuk menjalaninya.

"Huwek..." Marsha memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mual.

Saat ini Marsha sedang berada di sebuah restaurant untuk menikmati makan siangnya bersama Alland, tetapi karena pria itu masih mempunyai jadwal meeting bersama seorang clientnya jadilah Marsha harus menunggu Alland datang seorang diri.

"Huwek...Huwek..."

Lagi, tanpa bisa dicegah Marsha merasakan mual yang luar biasa di perutnya. Dan suara muntahannya terdengar cukup keras membuat dirinya menjadi bahan perhatian. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Marsha berjalan menuju ke kamar mandi. Ia membuang seluruh isi perutnya di wastafel, kemudian menatap dirinya yang terlihat sangat pucat di depan cermin.

"Ada apa denganku?" Gumamnya.

"Huwek..."

Astaga!

Marsha menggelengkan kepalanya lemah untuk mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerangnya. Dengan perlahan, Marsha mengambil ponselnya kemudian menghubungi seseorang disana.

"Hallo Hans, kau dimana?"

"Aku masih di ruanganmu. Menentukan pakaian apa yang akan kau gunakan untuk pemotretan nanti. Apa kau sudah selesai lunch bersama Mr.Stanford?" Terdengar suara Hans yang menggoda Marsha di ujung sana.

"Aku tidak bersamanya, Hans. Dia masih ada keperluan. Apa kau bisa datang kemari? Tidak jauh dari lokasi Stanford Grup." Katanya sembari menahan gejolak di perutnya yang kembali mual.

"Kau menyuruhku kesana? Tidak mau, Mr.Standford pasti akan kesal jika aku mengganggu acara kalian berdua." Katanya yang memang sengaja menggoda Marsha.

Marsha kembali menatap dirinya di depan cermin. Wajahnya bahkan lebih pucat lagi dari yang sebelumnya.

"Hans aku--- Huwek..."

"Hei ada apa denganmu, Marsha?!" Pekik Hans panik kala mendengar suara muntahan Marsha.

"Datanglah segera Hans. Aku membutuhkanmu."

"Beritahu aku ada apa denganmu?!"

"Hans cepatlah!"

"Baik, kau tunggu disana. Jangan kemana-mana!" Katanya yang kemudian sudah memutuskan panggilan itu secara sepihak.

Marsha menghelakan napasnya kasar. Sungguh bahkan untuk sekedar berdiri saja rasanya kakinya terlalu lemas. Ia pun memilih untuk kembali ke mejanya sembari menunggu kedatangan Hans.

"Mungkin aku masuk angin." Batinnya.

***

"APA?!" Teriak Marsha dan Hans bersamaan.

Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit. Sebelumnya Hans langsung segera pergi ke restaurant dimana Marsha menunggunya dan membawa Marsha ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya yang terlihat sangat tidak baik. Betapa terkejutnya dirinya sesudah mendapatkan hasil pemeriksaannya. Dokter itu mengatakan jika...

"Selamat sir, anda akan menjadi seorang ayah. Usia kandungannya sudah 3 minggu." Kata sang dokter dengan senyuman penuhnya, sebagai tanda bahwa pria tua itu turut bahagia akan kabar ini.

Hans menggelengkan kepalanya cepat. Matanya melotot tidak percaya, bahkan mulutnya sudah terbuka lebar. Tidak kalah jauh dengan Marsha yang bahkan lebih terkejut lagi. Marsha benar-benar shock mendengarnya.

"Bagaimana bisa dok?!" Tanya Marsha yang masih tidak percaya.

Dokter itu menautkan kedua alisnya bingung melihat ekspresi kedua sepasang kekasih di hadapannya. Harusnya mereka senang mendengar kabar ini.

"Tentu saja karena benih suami anda berada di dalam rahim anda nyona." Jawabnya.

Marsha dan Hans mengerang frustasi.

"Apa dokter tidak salah periksa?"

Dokter itu menggelengkan kepalanya heran. "Seharusnya anda senang mendapat hadiah dari Tuhan. Tetapi melihat ekspresi anda, saya ragu jika anda berdua bukan sepasang suami-istri." Kata sang dokter.

"Memang bukan dok."

"Lalu siapa ayah dari bayi ini?"

Marsha menundukkan kepalanya dalam ketika Hans menatapnya tajam. Pria itu tampak menyeramkan, aura kegelapan sangat terasa disekitar mereka saat ini.

"Marsha adik ipar saya dok. Calon suaminya masih bekerja." Jawab Hans tidak mau menimbulkan masalah, mengingat Marsha adalah publik figure.

"Ah, syukurlah anda akan segera menikah. Saya harap anda selalu bahagia." Kata sang dokter.

"Terima kasih dok, kami pamit dulu." Pamit Hans yang kemudian menarik Marsha keluar dari ruangan dokter itu.

"Jelaskan padaku Marsha! Mengapa kau bisa hamil?" Tanya Hans dengan napas memburu. Ia sangat tidak percaya hal ini menimpa Marsha. Tidak biasanya Marsha kecolongan seperti ini karena Hans sangat percaya kalau Marsha selalu bisa melindungi dirinya sendiri.

"Aku tidak tahu." Jawabnya pelan dengan pandangan mata yang masih setia menatap lantai di bawah sana.

Hans menghelakan napasnya kasar. Mencengkram kedua bahu Marsha lembut. "Katakanlah, siapa ayah dari calon anakmu itu?" Tanyanya melembut. Tidak ingin Marsha merasa semakin tertekan karena Hans tahu pasti Marsha merasa tertekan saat ini.

"Marsha beritahu aku. Apa kau tidak ingin mengatakannya? Kau mau semuanya semakin rumit? Anak ini membutuhkan ayahnya kelak Marsha. Tolong, jangan keras kepala." Sambung Hans lagi.

Marsha pun dengan terpaksa menceritakan semuanya. Kejadian yang terjadi 5 bulan yang lalu dan juga seminggu yang lalu. Ia bercerita sembari terisak. Ada rasa marah, kesal dan frustasi yang ia rasakan secara bersamaan. Tapi tak bisa Marsha pungkiri, jika ia sangat bahagia mendapati seseorang telah hidup di dalam perutnya.

"Astaga! Kenapa kau begitu ceroboh Marsha." Pekik Hans.

"Ini memang salahku Hans. Seharusnya aku tidak terpancing akan ajakan Starla. Seharusnya aku tidak menyetujui ajakan Noah. Aku memang anak pembawa sial." Lirihnya semakin terisak. Hans menatap Marsha dengan prihatin. Ia pun membawanya ke dalam pelukannya. Mengecup puncak kepala Marsha untuk menenangkan wanita itu.

"Jangan berkata begitu Marsha. Kau bukan anak pembawa sial. Jangan menyesalinya, semua sudah terjadi." Kata Hans mencoba menghibur Marsha.

"Daddy benar Hans. Aku anak pembawa sial." Marsha menangis semakin menjadi. Rasanya ia sangat merindukan keluarganya.

"Hei Marsh, listen to me. Kau bukan anak pembawa sial. Kau itu hadiah terindah yang diberikan Tuhan kepada kami. Kau tidak sendirian Marsha, ada aku. Jangan dengarkan kata mereka yang ingin membuatmu menyerah akan hidupmu." Kata Hans yang membuat hati Marsha sedikit membaik. Hans memang seorang manager sekaligus teman terbaik bagi Marsha. Ia bahkan sudah menganggap Hans sebagai saudara kandungnya, begitu juga sebaliknya.

"Aku harus apa Hans?" Lirihnya bimbang.

"Tidak ada cara lain. Alland harus mengetahuinya." Jawabnya membuat mata Marsha membulat sempurna.

"Tidak! Jangan beritahu dia Hans."

"Kenapa tidak? Anak itu miliknya juga Marsha."

"Aku takut."

"Tidak perlu takut. Akan aku pastikan dia menerima anak yang kau kandung itu. Jika ia berbuat sebaliknya, maka ia harus menghadapi aku dulu. Aku akan melindungi kalian Marsha." Kata Hans membuat air mata Marsha kembali mengalir, terharu.

"Apa menurutmu dia akan menerimanya?" Tanyanya takut-takut.

"Kau tenang saja. Lagipula, ini saat yang terbaik untukmu Marsha. Jika kau bersama dengan Alland, maka tidak akan ada yang berani menyentuhmu. Maksudku, kau akan aman untuk saat ini." Kata Hans dengan seulas senyuman di bibirnya.

"A...apa orang-orang itu kembali melakukan sesuatu?" Tanyanya dengan nada bergetar.

"Tidak, hanya saja mereka seperti mendapatkanmu kembali."

"Apa itu alasanmu sempat menghilang beberapa hari?" Tanya Marsha lagi yang mendapat anggukan kepala dari Hans.

"Hans. Aku...aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan anakku." Katanya sembari mengusap perutnya yang masih datar.

"Sudah kukatakan, kau tenang saja. Itulah mengapa Alland harus mengetahui hal ini, Marsha." Kata Hans yang kembali membuat Marsha tenang.

"Baiklah. Demi anakku."

"Dan demi kebahagiaanmu." Katanya menggoda Marsha.

Marsha melayangkan tatapan tajamnya. "Tidak seperti itu, Hans!"

Hans terkekeh geli. "Tapi yang aku lihat seperti itu. Kau terbuai akan pesonanya Mr.Stanford."

"Hans!"

Hans tergelak. Sungguh, ia lebih menginginkan Marsha yang seperti ini daripada yang sebelumnya.

"Baiklah, kau tidak terbuai oleh pesonanya, tapi kau sudah mencintainya."

"HANS!"

"Ah, aku sudah tidak sabar menunggu surat undangan pernikahan kalian." Godanya lagi tanpa henti.

Marsha menggeram kesal, ia pun menginjak kaki Hans dengan keras kemudian meninggalkan pria itu sendirian disana.

"Hei, Marsha!" Pekiknya sembari meringis kesakitan.

"Kau pulang saja sendirian!"

Hans kembali tergelak. Melupakan sejenak rasa sakitnya.

"Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi kalian Marsha. Aku berjanji."

***