2 Bayi Mirip Kera?

Pukul Sepuluh malam, Pusat kebugaran tempat aku bekerja sudah ditutup. Para anggota yang yang selesai latihan menghampiri mejaku untuk mengambil kartu membernya dan pulang . Tidak banyak orang yang latihan hari itu karena hujan tidak berhenti sejak siang tadi. Mungkin Lebih baik di rumah bercengkrama dengan keluarga.

Setelah membereskan meja dan memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal di dalam. Aku menunduk untuk mengambil tas dan sweeter di bawah meja tatkala suara yang menjengkelkan itu menyapaku.

"Hay Din, Kamu mau langsung pulang? "

Aku menghela nafas. Pasti tua bangka yang tidak tahu diri itu menghampiriku. Kenapa sih harus dia yang datang untuk menutup tempat ini? Kenapa bukan istrinya alias bos ku atau anaknya saja? Batinku kesal.

Aku menegakan badan, tidak segera menjawab pertanyaannya. Dengan cuek, Aku meletakkan tas di atas meja dan menggunakan sweeterku. Ekor mataku bisa melihat Pria berumur lima puluh tahun itu, berbadan tambun, berkepala botak di atas tetapi gondrong di sisi samping dan belakang, Hampir setiap kemeja yang dipakainya selalu tidak muat sehingga kancingnya yang menutup pusarnya lepas sehingga menampakan bulu-bulu keriting yang tidak terawat.

Dia adalah Pak Sugeng, Suami dari Bosku. Semenjak aku bekerja di sini setahun lalu, dia yang sering datang untuk menutup tempat ini, menggantikan anaknya yang sulung. Keluarga mereka tidak pernah mempercayakan kunci tempat itu kepada karyawan, mengingat pernah ada seorang karyawan sebelum aku yang mengadakan pesta sesama jenis tanpa sepengetahuan pemilik. Hal itu mencoreng nama baik dan citra dari keluarga Pak Sugeng.

Bosku adalah Bu Wiwin. Dia adalah Wanita hebat yang memiliki banyak usaha di antaranya hotel bintang tiga, toko bangunan, dan Pusat kebugaran tempat aku bekerja. Aku sangat mengaguminya. Berbanding terbalik dengan suaminya yang seorang pengusaha gagal. Sebenarnya dia yang memiliki toko bangunan itu, tetapi karena tidak pandai mengelolanya dan hampir bangkrut, istrinya yang mengambil alih hingga berjalan sukses sampai sekarang.

"Iya Pak, saya janjian dengan suami saya untuk teleponan selepas pulang bekerja." Dustaku, Padahal Dua jam yang lalu suamiku mengabariku bahwa dia sudah sampai Taipei untuk kemudian dilanjutkan ke penerbangan di Los Angels. Tentu tidak mungkin aku telfonan dengannya ketika dia sedang di pesawat. Tentu, aku harus bersabar menunggu kabarnya setelah dia sampai ke negeri Paman Sam nanti.

"Oke, Lain kali kalau free, kita jalan yuk." Dia mengedipkan mata dan mengerakan mulutnya yang tertutup kumis berwarna putih, membuatku spontan memutar mata jengah. Sikapnya yang menjijikan itu membuatku kehilangan respek dengannya. Aku tidak perduli walaupun dia suami dari bosku sendiri.

Setelah berkemas diri dan closing penghasilan hari ini, aku langsung berjalan keluar Pusat kebugaran itu dengan tergesa-gesa menuju parkiran, meninggalkan pria tua itu yang akan menutup pintu.

Aku masuk kedalam mobil sembari membanting pintu. Sejenak aku tertegun, Aku pikir hidupku akan bebas pria hidung belang setelah menikah, ternyata aku salah.Terlebih ketika mereka mengetahui jika suamiku adalah pelaut yang jarang pulang, Mereka tidak ubahnya buaya-buaya kelaparan yang mengintaiku setiap saat, terutama anggota-anggota gym dan suami bos yang keganjenan itu.

Pak Sugeng yang sudah menutup pintu, menoleh ke arah kaca mobilku. Sial, jangan sampai dia mendekatiku lagi. Terburu-buru menghidupkan mesin untuk segera cabut dari tempat itu.

Mobil avanzaku melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Kecepatan yang di anjurkan hanya empat puluh kilometer, berhubung jalanan sepi aku menambah kecepatannya menjadi enam puluh kilometer. Emosi berpacu dengan adrenalin. Bahkan tidak kuhiraukan dering suara ponselku. Kesal dan Muak dengan kelakuan Pria-pria itu yang selalu menganggapku wanita lemah yang kesepian.

Tidak berapa lama, sampailah di depan rumahku yang terletak di kawasan Kertajaya. Rumah yang sudah di siapkan oleh Mas Angga jauh sebelum pernikahan kami. Aku adalah istri beruntung yang tidak perlu menemani perjuangan pria itu dari nol. Namun, sebagai gantinya aku berjanji akan menjadi istri yang baik dan setia untuknya.

Turun sejenak, membuka pintu pagar dan garasi, lalu memasukan mobil ke dalam. Hidup yang keras membuatku menjadi wanita mandiri, bahkan aku menolak tawaran suamiku untuk mempekerjakan pembantu.

Di tengah kegelapan lampu teras, aku merogoh kunci dari tas dan memasukannya di lubang pintu. Setelah pintu terbuka lantas aku menghidupkan semua lampu dan menghempaskan tubuhku di sofa. Pandanganku menerawang ke awang-awang. Kesunyiaan seketika menyergapku. Ketakutan karena kesepian di atas segala-galanya. Kalau cuma dengan bangsa lelembut? Aku sama sekali tidak takut dengan mereka.

Terdengar jumawa, tetapi memang itu kenyataannya, aku sama sekali tidak takut denga hantu atau demit. Karena sudah terbiasa berurusan dengan mereka.

Tanganku meraba-raba saku celana, dan menarik ponsel dari dalam. Tubuhku yang semula menyender seketika menegak tatkala melihat ada tiga puluh panggilan tidak terjawab di layar ponselku. Dari ibu.

Semenit kemudian, ada panggilan dari ibu lagi. Dengan malas aku mengangkatnya.

"Halo."

"Nduk, kenapa kamu tidak angkat telepon dari ibu!" sahut ibu yang langsung ke inti pembicaraan dengan suara khasnya yang medok. Deru nafasnya seperti menahan emosi.

"Tadi Dina di jalan, Enggak denger telepon dari ibu." Kilahku. Padahal sengaja aku tidak mengangkatnya.

"Kamu kapan pulang? Udah setahun kamu tidak pulang, Anakmu demam tinggi Nduk, kayaknya dia kangen sama kamu. "

"Bu, Sudah ku bilang berapa kali, dia bukan anakku. Bentuknya saja lebih mirip kera! daripada manusia!'

"Jaga mulut Dina! walaupun bentuk fisiknya tidak sempurna, kamu tidak boleh menghardiknya seperti itu. Dia itu anakmu! lahir dari rahimmu!" sergah ibu dengan nafas terengah-engah. Inilah alasan kenapa aku malas mengangkat telfon dari ibu, pasti yang di bahas adalah anak kutukan itu.

"Tidak, dia bukan anakku! Dia anak setan! Anak kutukan! Kenapa ibu tidak membuangnya ke hutan saja sih! Dina malu bu sama semua orang!" elakku dengan nada bicara tidak kalah tinggi. Terdengar suara terisak-isak di seberang sana.

"Malu mana sama ibu! Ibu yang melahirkan dan membesarkan kamu! tetapi kamu malah keblabasan berhubungan dengan bangsa demit sampai terlahir Satriyo. Sekarang kamu harus bertanggung jawab dengan perbuatanmu Dina!"

Bahkan aku tidak menamai anak itu, ibu yang memberi nama Satriyo.

"Sekali Tidak tetap tidak! Sampai kapanmu aku tidak akan pernah menganggapnya sebagai Anak! Titik!"

"Baik kalau begitu keinginanmu, Mulai sekarang, kamu bukan anak ibu lagi dan jangan pernah cari ibu!" ujarnya seolah seperti kutukan. Sekeras apapun hati anak, kalau seorang ibu sudah berkata begitu, Pasti hancur rasanya. Lantas kesialan demi kesialan pasti akan terus menimpaku, dan aku tidak mau sampai hal itu terjadi.

"Bu, bukan maksudku seperti itu Bu, Dina hanya ingin..."

Tuttt..tutttt

Kata-kataku terhenti ketika ibu memutuskan telfon secara sepihak. Padahal, aku hanya ingin supaya anak itu enyah dari bumi ini. Pasti kebanyakan orang akan menganggapku ibu yang tidak waras. Sekarang coba bayangkan! Ibu mana yang mau anaknya berwujud separuh manusia dan kera! Tentu sebuah aib yang harus di simpan rapat-rapat atau kalau perlu dibuang jauh-jauh. Namun, Sialnya ibuku lebih memilih merawat cucu pertamanya itu. Bahkan, Ibu tidak mau menganggapku anak gara-gara anak kutukan itu!

Tidak, aku tidak mau sampai kehilangan ibuku. Cuma ibu harta yang paling berharga setelah suamiku tentunya. Meskipun sampai detik ini, Ibuku tidak tahu menahu kalau aku sudah menikah lagi, dan suamiku yang menyangka aku hidup sebatang kara. Semuanya sudah sesuai dengan rencana yang aku jalankan.

Kuputuskan untuk pulang, setidaknya menghargai ibuku supaya dia tidak marah. Sudah setahun lebih sejak aku meninggalkan rumah, Bagaimana wujud dari bayi itu? Apakah semakin menyeramkan? Bulu kudukku seketika berdiri.

Note:

penasaran enggak sama anaknya Dina?

baca bab selanjutnya ya bund 🙏🙏🙏

avataravatar
Next chapter