31 HARUS TETAP BERSAMA

"Tra… gue nggak mau loe pergi dari hidup gue. Apapun yang terjadi berjanjilah, loe bakal tetep sama-sama gue."

Kinan tak bisa menahan tangis.

Sebenarnya ingin memeluk gadis ini, tapi Putra urung melakukan. Kejadian tadi pagi sudah cukup menjadi kesalahan yang sulit sekali dilupakan.

Putra hanya menepuk bahu Kinan, lembut, sambil memberikan tisu padanya.

"Gue nggak bisa berjanji, Nan. Gue takut ingkar, tapi seperti yang gue bilang ke loe, gue akan menjaga loe sekuat yang gue bisa. Jadi loe tenang aja. Gue akan berusaha selalu ada buat loe."

Kinan menatap Putra penuh harap, meski pun jawaban yang diberikannya, terdengar tidak begitu ingin berjuang. Putra seolah tak yakin akan kekuatan cinta yang dimiliki untuk Kinan. Tapi, setidaknya, mendengar ia akan berusaha untuk selalu ada, sudah cukup dirasa.

🌬 Kamu nggak boleh terlalu dekat sama dia! Kalau sampai aku mengetahuinya, kamu akan dapati akibatnya, Kinan! 🌬

Tiba-tiba ucapan Toni terngiang-ngiang di telinga. Kinan menutup pendengaran dengan kedua telapak tangan. Kinan bahkan sampai berteriak, saking tak inginnya mendengar suara-suara bernada ancaman itu.

"Nan…"

Putra yang berada di sampingnya, terlihat heran. Tadi gadis ini menangis, namun tiba-tiba menutup telinga dan berteriak.

Kinan tersentak saat mendengar suara Putra memanggilnya. Ia menurunkan tangan. Wajahnya sedikit cemas bercampur marah, tampak tegang.

"Loe baik-baik aja kan?" tanya Putra memastikan.

Apa lagi sih penyakit cewek ini? Putra sampai menahan nafas beberapa detik, gara-gara terlalu khawatir.

Kinan tak ingin Putra mencemaskan keadaannya. Ia lalu mencoba menenangkan diri, perlahan menarik nafas dalam, lalu mengeluarkan juga pelan-pelan.

"Udah baikan?"

Kinan mengangguk menjawab tanya Putra.

"Loe ada rencana lain atau langsung pulang aja?"

Sebenarnya ia masih ingin lebih lama lagi dengan Putra malam ini. Tapi, tampaknya pemuda ini sudah lelah.

"Kalau gue masih pengen sama loe, loe mau nurutin kemana gue pergi nggak?" tanya Kinan sambil menatap Putra.

Awalnya, Putra sempat meragu, ia tak ingin Kinan meminta yang aneh-aneh.

"Loe mau kemana?"

"Jawab dulu!"

"Kalau gue rasa baik buat loe, gue turutin. Tapi kalau nggak. Nggak gue turutin."

Jawaban idealis semacam apa itu. Kinan mencebik.

"Pulang aja lah kalau gitu!"

"Loe ngambek?"

Kinan kembali mengangkat wajah. "Nggak sayang." Ia sempat mendekatkan wajah ke Putra, yang refleks memundurkan kepala menjauhi Kinan.

"Loe kenapa? jijik sama gue!"

Kinan tersenyum kecut. Perlakuan Putra terlalu berlebihan padanya. Ciuman, pelukan, pegangan tangan, hal biasa saja menurutnya.

"Sikap ini adalah bentuk penjagaan gue ke elo, Nan," jawab Putra kemudian.

Ia lalu menghidupkan mesin mobil, dan langsung menuju arah rumah Kinan.

"Besok loe kemana, Tra?"

"Hmm, ke kantor. Bokap udah nyuruh masuk."

"Malik Estate?"

"Ya. Kenapa?"

"Berarti, besok nggak kemana-mana dong?"

"Emang loe mau kemana?"

"Gue mau sama-sama loe seharian kayak hari ini lagi."

"Mana bisa, Kinan. Gue kan juga ada kerjaan."

Kinan cemberut.

"Kalau gue nggak kerja, gimana gue bisa nikahin loe. Ntar ortu loe langsung nolak gue."

Ortu? Putra sendiri bahkan belum tahu orang tua Kinan dimana? Siapa? Tentang keluarganya lah, Putra belum mengetahui apa-apa.

"Emang nikah perlu orangtua?"

Putra melongo, "Ya perlu, Kinan. Ntar siapa yang bakal nikahin kita?"

"Kan ada wali hakim!"

"Ya, wali hakim kan perlunya kalau emang bener-bener nggak ada bokap, sodara laki-laki loe yang bisa nikahin. Kalau masih ada, ya mesti mereka."

"Kalau gue nggak mau mereka ikut campur urusan pernikahan kita?"

Putra tergelak, pembicaraannya sudah semakin berat. Hubungan ini belum apa-apa. Malah sudah bicara soal menikah, pernikahan kita. Padahal dia duluan yang mulai.

"Kenapa?" tanya Kinan heran.

"Udah ah, bahas yang lain aja."

Putra mengibaskan tangannya. Terdengar seperti dia memang tak ada niat untuk menikahi Kinan saja. Ya kan? Tapi sejatinya, ia justru tak sabar untuk menikahi gadis itu, agar bisa berbuat sesuka hati.

Hanya saja. Ah berat lah pokoknya.

"Kenapa? Loe nggak mungkin nikahin gue!"

Tak disangka Kinan terbawa perasaan. "Loe yang mulai ngomongin masalah nikah ke gue, loe juga yang bilang udah."

"Aduh, maksud gue tu…"

"Gue tau loe nggak bakal mau nikahin barang bekas kayak gue, iya kan?"

Kinan bahkan berteriak histeris.

Putra menatap Kinan tak mengerti. Mudah sekali emosinya berubah.

"Nan…!" Panggil Putra tegas.

"APA!? Apa lagi yang loe mau? Loe ajak gue melayang tinggi, trus tiba-tiba loe jatuhin gue gitu aja. Sakit tau, Tra."

Putra lalu mengetepikan mobilnya, di pinggir jalan. Sepertinya, masalah ini harus ia selesaikan dengan tenang.

"Kinan, dengerin gue. Gue salah, gue minta maaf. Tapi, maksud gue, bukan nggak bakal mau nikahin loe. Pembicaraan ini terlalu dini buat kita bicarain, Nan. Banyak yang harus kita lewati dulu, terutama restu orangtua. Gue nggak mau main nikahin loe, tanpa diketahui keluarga loe. Gue perlu kenal keluarga loe, loe pun perlu gue kenalin ke keluarga gue dulu. Biar kita sama-sama enak nantinya menjalani rumah tangga."

Kinan tak peduli, hal awal yang ia terima, sudah menancap dalam di hati, bahwa Putra tampak tak akan menikahi. Ia hanya dijadikan sebatas pacar saja selamanya.

"Loe cuma banyak alasan, kan?"

"Kinan, sayang. Gue nggak main-main sama perasaan gue ke loe. Gue bener-bener cinta sama loe. Tapi, jalan kita masih panjang, halangan… hmm maksud gue…"

Putra seperti kehilangan kata-kata, halangan itu, Bundanya sendiri. Yang jika tahu Kinan gadis seperti apa, ia akan menentang keras, dan tak bisa dinego lagi.

"Apa? APA?"

Kinan kembali berteriak histeris. Ia tidak bodoh, dia tahu Putra pasti akan ditentang keluarganya, jika menikahi pelacur seperti dirinya.

"Kinan…"

Putra menggapai wajah gadis itu. Ia memejamkan mata sejenak. Mereka sudah berhadap-hadapan.

"Biar gue selesaikan dulu rintangan yang ada di pihak gue. Dan untuk itu, loe cuma perlu tenang, tetap berkegiatan seperti biasa. Namun, jangan lakukan hal yang sama lagi. Tolong loe ingat posisi gue di hati loe, yang akan tersakiti atas pengkhianatan yang loe lakuin."

Putra menatap Kinan penuh harap. Bola mata gadis itu tampak bergerak seakan mencari-cari kejujuran di mata Putra.

"Kita hadapi bersama, Tra," ucapnya kemudian.

Putra menunduk selama beberapa detik. Lalu kembali mengangkat wajah.

"Dengar, ini nggak mudah. Gue nggak mau loe ngerasa sakit karena menghadapi halangan itu sama gue. Posisi gue adalah pelindung buat loe, bukan sebaliknya. Jadi loe percayakan ini ke gue."

Kinan tak langsung menjawab, ia diam sejenak. Menunduk.

"Tapi, loe harus usaha keras untuk itu, Tra."

Putra mengangguk. Tentu saja ia akan berusaha agar hubungan mereka mendapatkan restu dari orang tua.

Putra manatap Kinan yang tertunduk lama. Hah! Lagi-lagi ia melakukan kekhilafan. Pemuda itu menarik Kinan ke dalam dekapan. Mencoba memberikan rasa nyaman pada gadis itu.

🍁🍁🍁

avataravatar
Next chapter