webnovel

Hanya Mimpi

Gadis itu menyaksikan sendiri kondisi kakaknya yang terbujur kaku dengan bersimbah darah di jalan. Rasa sakit di siku dan dahinya tak ia tanggapi. Yang ingin ia lakukan hanya mendekat kearah kakaknya dan memeluknya.

"A..abang Nath.." Ia berada di pinggir trotoar dan kakaknya yang dikerubungi oleh orang-orang di tengah jalan.

"Bang Nath!!" Gadis yang lain berlari dan menghampiri kakaknya.

"Huaaa Bang Nath! Jangan tinggalin Ina!"

Ambulans datang setelah beberapa menit lalu dihubungi oleh warga yang lewat dan menyaksikan kejadian. Sedangkan pelaku tabrak larinya sudah pergi meninggalkan lokasi.

Gadis yang memeluk kakaknya berdiri dan menghampiri adiknya yang terlihat syok duduk dengan kaku.

"Gara-gara kamu! Abang Nath berdarah! Kak Ina benci kamu! Kembaliin nyawa Bang Nath!" Gadis yang diketahui Kak Ina menarik kerah bajunya hingga robek.

"B..bang Nath.."

Dikepalanya terbayang wajah kakaknya yang menatap dirinya dengan tajam. "Abang benci kamu."

Gadis itu diam dari tangisnya menatap tubuh kakaknya yang dibawa masuk ke dalam ambulans.

******

Gadis itu terbangun di tengah malam, mengusap wajahnya yang penuh keringat padahal kamar kos nya yang sudah memakai AC.

Ia terengah-engah dan berulang kali berbicara. "Hanya mimpi, hanya mimpi."

Kejadian yang sama terus terulang, mimpi yang sama selalu berulang kali terjadi. Setiap tengah malam ia akan terbangun dan berada dibawah kucuran air shower. Meredakan kepalanya yang terasa panas begitu pula dengan matanya.

Baginya menangis dibawah kucuran air membuatnya lebih baik, ia tidak akan terlihat lemah dihadapan orang lain.

Apalagi Bundanya, ia tak kuasa jika melihat wajah Bundanya terlihat sedih. Membuat hatinya teriris, cukup kesalahan lalu saja yang membuat Bundanya sedih. Tidak untuk dirinya, ia tak merasa pantas untuk di sedihkan.

Meraba dinding dan mengganti pakaiannya yang sudah basah. Di kamar mandi kos-nya memang sudah di siapkan lemari kecil, untuk menampung baju keringnya. Seandainya ia harus berada di dalam sana saat tengah malam.

Persiapan yang sangat niat bukan?

Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat, wajahnya yang sudah putih ditambah kondisinya yang kedinginan membuatnya terlihat seperti mayat hidup.

Membaringkan dirinya di atas kasur dan mengotak-atik ponsel-nya. Lalu menempelkannya di samping telinga.

"Hmm.. halo?"

Gadis itu diam dan berusaha menyusun kata-kata yang ingin ia ucapkan.

"Halo? Sha?"

"H..halo, La?"

"Iya kenapa?"

Ia hanya diam, memandangi pergelangan tangannya.

"Halo? Ashaqilla lo disana kan?"

"Iya La.."

"Kenapa Sha? Lo gak bisa tidur?"

Gadis yang di ketahui bernama Ashaqilla tersenyum singkat.

"I..iya gue kebangun, gak bisa tidur lagi. Apa yang harus gue lakuin?"

"Gue curhat aja deh, mata gue juga udah seger."

Rasa tak enak merambat ke hatinya, tak enak menganggu sahabatnya di tengah malam.

"Gak usah La.. lo tidur aja, maaf gue ganggu."

"Eh! Ngak! Ngak! Gue tadi jam 7 mau curhat sama lo. Tapi, hp lo gak aktif."

"O..oh Oke."

Waktu antara kedua gadis itu diisi dengan curhatan dari Zola, sahabat dari Asha yang setia menemaninya kemana pun dia pergi.

Mendengar suara Zola membuat Asha tenang dan membawa dirinya untuk meninggalkan alam sadar.

Di sebrang telepon Zola berdecak tapi, dilanjut dengan senyuman.

"Selamat tidur Sha. Gue akan selalu di sisi lo."

*****

Asha gadis itu terbangun setelah menyadari waktu menunjukkan pukul 7 pagi, waktunya berangkat ke kampus, Ia baru ingat kalau ada kelas pagi.

Ia bergegas dengan terburu-buru. Mengenakan sweater maroon dan celana jeans, tak luput dengan tas selempangnya dan tote bag yang isinya laptop juga buku kampusnya.

Untung saja sehabis sholat subuh ia mencharger ponsel-nya. Andaikan tidak, sudah pusing kelabakan dia.

Mengambil kunci mobil dan ponsel-nya lalu mengenakan sneakers putih. Tak lupa mengunci kamar kos-nya.

"Loh Asha? Tumben baru berangkat?" Tanya tetangga kosnya.

Asha tersenyum. "Iya Yu, kesiangan. Duluan ya?"

Yulian mengangguk dan kembali masuk ke dalam kamar kos-nya, sedangkan Asha menuruni tangga dengan terburu. Kamar kos perempuan memang letaknya di lantai dua. Di lantai bawah untuk kamar kos laki-laki.

Semasa ia tinggal disitu, ia sama sekali belum berbicara dengan penghuni kos laki-laki. Menyapanya saja tidak, pernah ada yang menyapa Asha, tapi Asha justru mengabaikannya dan pergi begitu saja masuk ke mobil.

Setelah berada di perjalanan dengan mengendarai mobil miliknya, ia mendapatkan telepon. Mengetahui siapa yang menelpon ia tersenyum cerah.

"Halo Bunda?"

"Kamu lagi dimana sayang?"

"Asha lagi di jalan ke kampus Bun."

"Eh? Yasudah Bunda matikan ya, bahaya mengendarai sambil bertelponan."

"Iya Bun, nanti kalo Asha udah sampe kampus. Asha chat Bunda."

"Iya sayang. Hati-hati ya. Assalamualaikum."

"Iya Bun, Waalaikumsalam."

Bundanya terlalu baik, tak pantas untuk Asha lukai. Yang Asha pantas berikan adalah kebahagiaan, tapi sepertinya Asha telah merenggut kebahagiaan itu.

Mobil ini pemberian ulang tahun ke 17 dari Ayahnya. Begitupun dengan semua aset yang dimiliki Asha, semuanya milik orang tuanya. Jadi sekali lagi ia menegaskan pada dirinya sendiri, bahwa ia tak pantas membuat sedih Bunda ataupun Ayahnya. Terlalu memalukan, setelah sekian lama bernaung dibawah keduanya.

******

Asha sampai di kampus tepat waktu, dosennya belum masuk tetapi, sudah banyak mahasiswa yang mengisi kelas.

Zola melambaikan tangan melihat kehadiran Asha. Lantas, Asha menghampiri  Zola diikuti tatapan aneh ke arahnya.

Tatapan yang sudah ia rasakan hampir setahun lebih. Sekarang ia telah menginjak semester 3 di jurusan Manajemen, begitupun dengan Zola.

"Lo tidur duluan ya tadi pagi?" Tanya Zola setelah Asha duduk disampingnya.

Asha hanya menyengir dan mengecek ponse-nya lalu mengetikkan pesan kepada Bundanya.

"Bentar, gue chat Bunda dulu." Zola mengangguk.

Beberapa menit, Zola di abaikan oleh sahabatnya ini. Karena jengah, ia menjahili Asha dengan berbisik.

"Sha! Dosen Sha!" Berhasil, Asha kelabakan dan memasukkan ponsel-nya ke dalam tote bag.

Asha melihat sekitar, kelasnya masih ramai dan sahabatnya ini mengatakan sudah ada dosen? Sepertinya ia ditipu oleh Zola.

"La.. gak lucu deh."

Zola menyengir. "Lagi lo! Asik banget ngacangin gue. Lagi ngapain sih?"

"Gue dapet email dari petugas perpus kampus, kalo gue diterima magang disitu." Zola membelalakan mata.

"Hah?! Serius?" Asha mengangguk. Sekarang mereka tengah menjadi tontonan seisi kelas.

"Gue seneng Sha!!" Asha mengangguk, ia juga senang. Senang memiliki sahabat yang pengertian seperti Zola.

"Zola!" Panggil seseorang dari belakang mereka.

"Kenapa?"

"Lo gak takut apa kena sial sama Asha?" Rumor yang telah tersebar hingga satu fakultas mengetahuinya.

"Gak usah ngomong sok tau deh. Lo kan gak kenal Asha, jadi gak usah banyak komentar." Jawab Zola berusaha se-sopan itu.

"Udah La.. gue gak papa."

"Lo sih gak papa, gue tau lo kuat. Tapi merekanya, kalo di diemin makin jadi." Ucap Zola meninggikan suaranya, sengaja agar didengar oleh semua yang ada di kelas itu.

Zola bukan hanya baik padanya, ia juga sudah dianggap sebagai saudara oleh Asha. Saudara yang mengerti dirinya, bukan seperti saudara lainnya yang berusaha ia jauhi.

*****