ARMAN POV
Shubuh itu ... Masih di rumah kontrakanku. Ayu sudah berkecimpung di dapur untuk menghangatkan masakan ayamnya kemarin, juga memasak nasi pada Rice Cooker yang sudah ada. Dia membangunkan Ayahnya, sedangkan aku memang sudah terbiasa bangun sendiri dengan alarm pada ponselku. Setelah menyelesaikan semua, juga sholat Shubuh bersama dengan ayah Ayu sebagai Imamnya. Ayu berpamitan kepada ayahnya untuk lari pagi denganku. Sebenarnya Pak Syams juga diajak, tapi dia menolak.
"Ayo, Mas ... Segera, yuk! Biar terkena sejuknya aroma pagi, mumpung matahari belum keluar," ajak Ayu sambil meraih tanganku mengajak lari pagi sekitaran kompleks.
Wajahnya sangat bahagia dan tampak berbunga hati. Pakaian setelan olah raga ditambah sepatu berwarna putih membuat ia tampil percaya diri dan memang tampak Ayu sih, sesuai namanya.
"Kalau aku sudah bekerja akan sulit mendapat moment ini, karena pasti aku repot persiapan berangkat kerja," tambah Ayu.
Aku hanya diam saja namun aku tetap ikut berlari-lari kecil di samping Ayu, namun hati dan fikiranku melayang teringat kepada Inez. Sedang apa dirinya? Aku merogoh saku-ku untuk mengambil ponsel dan mulai mengetik sesuatu.
[Pagi ini Ayu mengajakku lari pagi, di sekitaran kompleks. Kata dia besok dia sudah kerja, jadi tak mungkin lagi bisa keliling pagi seperti ini, tapi kalau kamu tak suka. Aku bisa pulang sekarang]
Kami berlari-lari sampai keluar dari gang dan menyusuri samping jalan kecil yang masih banyak pepohonan juga rerumputan hijau bergoyang-goyang terkena tiupan angin dan embun pagi yang berupa titik-titik.
"Mas, sejuk juga disini. Aku kira Surabaya hanya kota yang penuh padat pemukiman dan bangunan saja, tak ada udara sesegar ini, meskipun tak sama dengan kawasan desa, tapi ini cukup menyegarkan, Mas." Ayu memulai pembicaraan dan sambil berlari kecil mundur karena berbalik ke arahku.
"Ya, lihat daerahnya. Kalau kota banget ya sulit menemukan kondisi yang begini. Kalau tempatku, kan pinggiran kota, jadi masih ada yang sejuk," jawabku.
[Humm .. Enak dong, aku enggak ada yang ngajak nih, masih malas-malasan di tempat tidur. Enak, nih kamu ditemenin gadis cantik. Hehee] Dia membalasku, aku tahu dia cemburu.
[Humm ... Meledek apa bagaimana, nih? Jangan begitu dong. Aku jadi merasa bersalah. Sebentar lagi sudah pulang dan siap kerja kok. Aku sudah enggak sabar ingin bertemu kamu] balasku.
[Ya, jalani saja. Mau bagaimana lagi? Dia, kan tamumu? Tamu, kan ibarat raja. Oke! Aku mau mandi dan siap-siap. Kalau kamu mau ketemu aku] Balasnya singkat.
[Siaaap, yang cantik ya ... Hehe, jangan lupa sarapan. I Love U]
[Love U too] balasnya mengakhiri.
Saking semangatnya Ayu, pakai gaya berlari-lari mundur karena mengobrol dan menghadap ke arahku. Dia tiba-tiba terpelanting karena ada dahan pohon berserakan di pinggir jalan yang ia injak. dirinya langsung tersungkur dengan kepala terbentur di aspal jalan raya dan kakinya terkilir kesakitan.
"Grudukh!" Suara tubuhnya yang terjatuh.
"Ya ampun Ayu! Kenapa?" Aku pun kaget tak menyangka.
"Aoow!! Mas, sakit mas." Dia bangkit dan duduk sambil memegang kakinya.
"Eh, kepalamu berdarah! Aku enggak bawa tissue atau sapu tangan." Aku sedikit panik sih. Aku usap pakai tangan saja lalu memijit-mijit kepalanya.
"Kamu enggak apa-apa Ayu?"
"Pusing banget, Mas," jawab Ayu sambil merintih kesakitan. Aku yang kebingungan juga akhirnya ikut memijit-mijit kaki Ayu yang terkilir.
"Aku enggak berpengalaman dalam hal pijit memijit, tapi aku harap bisa mengurangi rasa sakitnya."
"Aow ... Sssshhhh! Pelan-pelan, Mas," ucap Ayu kesakitan masih sambil memegangi kepalanya, ia menatap tajam diriku yang berusaha memberikan rasa nyaman bagi dia yang sedang kesakitan itu. Entah Ayu tampak tersenyum senang dengan perhatianku atau bagimana?
******
INEZ POV
Kembali lagi ke rumahku. Aku sudah sarapan dan sudah siap untuk berangkat kerja. Aku harus siap lebih pagi agar terkesan sibuk dan penting sekali pekerjaanku di kantor. Padahal aku tak ada kerjaan sepagi ini, kemarin hanya menggertak Royan, eeeh dia sungguhan menanggapi. Nah itu dia, tak lama orang yang janji menjemputku sudah datang ke rumahku. Aku lirik jam dinding yang posisinya berada di atas kepalaku. Hebat juga jam 06.30 tepat dia berhasil sampai rumahku, sesuai janjinya.
Mau tak mau aku harus ikut dengan dia. Aku segera berpamitan dengan Ayah Ibuku untuk berangkat kerja. Dia turut bersaliman kepada kedua orang tuaku.
Dia membukakan pintu mobil itu untuk aku sambil mengembangkan senyumannya. Humm, gayanya kayak di film-film saja, tapi aku tak terharu sedikitpun, memangnya dia siapa? Aku sama sekali menampilkan wajah cuekku tak ada senyum-senyumnya sama sekali. Dia mulai memacukan mobilnya, seperti biasa aku tak mau berkata-kata, menatap dia pun tidak! Semua memang canggung kalau bersama dia.
"Jangan melamun saja, bagaimana aku, enggak telat, kan? Aku bisa diandalkan lho ternyata," entah itu berupa godaan atau sindiran aku tak perduli dengannya.
"Dalam waktu dekat kita bertunangan Nez, jangan seperti ini. Cobalah lebih legowo dengan takdir kita." Penjelasannya sungguh tak berarti, aku tetap tak bergeming sedikitpun.
"Kenapa diam saja, Nez? Kamu lagi enggak sakit gigi atau sariawan kan?"
Tapi aku sama sekali tak menanyakan apapun tentang dirinya, keluarganya, Papa atau Mamanya karena aku tak perduli dan tak ingin tahu. Aku hanya ingin segera sampai di kantor. Otakku sudah tak kuat mencerna kejadian-kejadian pagi ini. Arman yang dengan Ayu dan aku dengan dia. Hening lagi-lagi, aku juga tidak menanyakan tentang dia, jadi kami sama-sama membisu. Aku hanya memikirkan dia yang disana, siapa lagi kalau bukan Arman? Apa kiranya yang sedang dia lakukan dengan gadis itu setelah satu jam yang lalu mengabariku? Meskipun ada Ayah gadis itu? Ataukah aku harus mengirim pesan lagi untuknya menanyakan sedang apa dia disana? Aku cemburu dengan gadis muda itu. Mereka tetanggaan jadi keakraban sedari kecil pasti tidak bisa dihilangkan. Arman sedang galau dengan hubungan kami.
Apa mungkin ... Ishhhh. Aku gedhek-gedhek kepala sendiri memikirkannya, disamping pikiranku yang melanglang buana, ditengah lamunanku yang jauh diatas sana. Betapa terkejut aku dibuatnya. Seketika aku berteriak. Si Royan mengerem mendadak kali ini, hingga tubuhku sedikit mental. Coba aku enggak pakai sabuk pengaman, mungkin aku sudah mencolot keluar dari kaca depan.
"Awassss, Masss!!!" Sambil melotot aku ngos-ngosan. Jantungan aku menyaksikan mobil yang dikemudikan dia tiba-tiba hendak menabrak motor yang menyebrang, "hati-hati dong, bisa nyetir enggak sih?" cerocosku penuh amarah dan dia hanya santai saja dengan mimik wajahku.
hai ... aku enggak tahu ada yang nungguin atau tidak chapter lanjutan novel ini. Tapi aku berusaha untuk tetap Update ya cerita Inez dan Arman ini. selamat membaca ya readers tercinta. Kritik dan saran aku nantikan