webnovel

Sebuah Kerinduan

Happy Reading

Tanpa disadari oleh Felicia, bayangan James sudah menari di dalam hatinya. Gadis itu mulai senyum-senyum sendiri. Bahkan dia tak tahu jika sang ibunda sudah berdiri di dalam kamarnya. "Apa yang membuatmu senyum-senyum seperti orang tidak waras?" tanya Amelia pada anak gadisnya.

Felicia tersentak kaget mendengar suara ibunya yang terasa begitu dekat dan juga sangat jelas. Dia memandang ke arah di mana ibunya sedang berdiri sambil menatapnya lekat. "Kapan Mama berdiri di situ?" tanyanya penasaran dengan wajah yang malu-malu.

Amelia mendekati anaknya dan mengelus pipinya. "Sejak anak Mama senyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras," jawabnya dengan sebuah senyuman yang merekah indah di wajahnya.

Felicia langsung memeluk sang ibunda tercinta. Merasakan betapa nyaman dan juga sangat tenang berada di pelukan seorang wanita yang sudah melahirkannya itu. Rasanya hatinya menjadi lebih bahagia bisa berdekatan dengan ibunya itu. "Felicia hanya teringat kejadian di sekolah, itu sangat lucu. Membuatku ingin tertawa," kilahnya dengan sedikit ragu.

"Apa kamu yakin Sayang? Ekspresi wajahmu menyiratkan, seorang gadis yang jatuh cinta pada pandangan pertama," goda Amelia dengan senyuman yang hangat.

Felicia sangat terkejut mendengar ucapan ibunya. Dia tak menyangka jika ibunya bisa tahu kalau dia sedang jatuh cinta. Senatural mungkin Felicia bberusaha untuk bersikap biasa. Dia tak ingin wanita di sampingnya itu mengetahui jika dirinya sedang jatuh cinta. "Itu hanya perasaan Mama saja," balas gadis cantik yang masih memeluk ibunya dengan sangat manja.

Amelia pun menarik tangan anaknya. "Ayo kita turun untuk makan malam," ajaknya pada sang anak kesayangannya.

Akhirnya 2 perempuan beda generasi itu berjalan beriringan menuju ruang makan. Sang penguasa rumah besar itu, sudah duduk hampir bosan menunggu 2 perempuan kesayangannya.

"Papa ..." sapa Felicia sambil memeluk ayahnya.

Felix tersenyum, kemudian membalas pelukan anak gadisnya. "Apakah kamu betah tinggal disini?" tanyanya dengan sebuah tatapan hangat yang begitu menenangkan.

Felicia memandang ibunya sekilas sebelum menjawabnya. "Felicia senang tinggal di kota ini," jawabnya dengan sangat antusias.

Mereka sekeluarga menikmati makan malam itu, sambil menceritakan kesan pertama kepindahan mereka dari Jakarta. Felicia juga terlihat sangat bersemangat, membagikan cerita tentang hari pertamanya di sekolah yang baru.

"Papa. Kapan Kak Alvaro pulang? Aku sudah sangat merindukannya," tanya Felicia dengan penuh harap. Gadis itu sudah sangat merindukan kakak lelakinya yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.

"Alvaro pasti pulang jika waktunya tiba. Papa juga ingin dia menyelesaikan pendidikannya, dan segera pulang," jelas Felix tanpa menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya.

Felicia tersenyum kecut, mendengar perkataan Felix tentang Alvaro. Gadis itu sangat tahu, mengapa lelaki yang menjadi kakak satu-satunya itu harus dikirim kuliah sampai luar negeri.

Teringat dengan jelas di benak Felicia, kejadian beberapa tahun silam. Saat itu Felicia berumur 14 tahun dan Alvaro 22 tahun. Malam itu hujan sangat deras, Alvaro datang bersama seorang perempuan yang dikenalkannya sebagai seorang kekasih hatinya. Saat itu Felix sedang menikmati makan malam bersama Amelia dan juga Felicia. Tiba-tiba Alvaro datang bersama Alexa, kekasihnya itu. Perempuan itu terlihat sangat kacau, pakaiannya yang sangat minim terlihat cukup berantakan. Felix langsung menatap tajam kedatangan mereka berdua. "Apa yang sudah kamu lakukan pada perempuan itu, Varo?" tanya Felix pada anak sulungnya itu.

Alvaro menggenggam tangan Alexa dan berjalan mendekati Felix. "Aku ingin menikahi Alexa, dia butuh perlindungan," jawabnya.

"Apa kamu sudah gila? Pernikahan bukan untuk main-main. Aku tak akan mengijinkanmu menikahinya," protes Felix dengan nada suara yang cukup tinggi.

"Aku akan tetap menikahinya. Dengan atau tanpa restu dari Papa!" Alvaro berteriak di hadapan ayahnya, seolah dia ingin melawan keinginan dari sang kepala rumah tangga.

Felix semakin geram dengan sikap keras kepala anaknya. "Bukankah Alexa adalah gadis yang bekerja di bar, dan juga pernah di lecehkan oleh seorang tamu yang sedang mabuk?" tanya Felix. Pria itu sangat tahu kejadian buruk yang menimpa Alexa. Karena malam itu, Alvaro membawa Alexa ke rumah sakit tempat Felix bekerja dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Perempuan itu juga mengalami kekerasan seksual yang mengerikan.

Perkataan Felix tadi menjadi sebuah tamparan yang sangat keras bagi Alexa. Tanpa pamit, Alexa berlari keluar dari rumah itu karena merasa sangat malu dengan seluruh anggota keluarga Alvaro.

Amelia dan Felicia hanya bisa menyaksikan kejadian malam itu. Alvaro berlari sekencang mungkin untuk mengejar Alexa. Namun lelaki itu tak pernah menemukan perempuan yang sedang dikejarnya. Bahkan ketika Alvaro masih kuliah di Jakarta, kuliahnya sampai terbengkalai gara-gara mencari Alexa. Oleh sebab itu, Felix memaksa Alvaro untuk melanjutkan pendidikannya di Singapura. Mau tak mau Alvaro pada akhirnya mengikuti keinginan ayahnya itu.

Felicia masih termenung memikirkan kejadian beberapa tahun silam. Gadis itu masih bisa merasakan rasa sakit yang begitu menyesakkan dada saat harus merelakan kakak lelaki satu-satunya harus pergi meninggalkannya dirinya.

Amelia yang melihat anaknya tenggelam dalam sebuah lamunan langsung mendekatinya. "Felicia, cepat habiskan makananmu," serunys sambil menyentuh pundak sang putri kesayangannya.

Felicia langsung terkejut mendengar Amelia memanggil namanya. Gadis itu pun harus mengakhiri lamunannya, tentang kejadian di masa lalu. Dia pun langsung menghabiskan makanannya di depannya dengan kesedihan yang mendalam karena sebuah ingatan di masa lalu. "Aku akan kembali ke kamar." Gadis itu setelah berlari menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Dia pun langsung duduk di atas ranjang sambil memandangi sebuah foto yang terpasang di dinding kamarnya. "Aku merindukanmu, Kak. Tidakkah kamu juga merindukanku? Sudah terlalu lama kamu meninggalkan aku sendirian, Kak." Tanpa terasa butiran air mata mengalir membasahi pipi Felicia. Dia tak sanggup lagi membendung kesedihan di dalam dirinya. Seolah dia sedang dipaksa untuk melupakan sosok saudara lelaki yang sangat dicintainya itu.

Di meja makan, Amelia masih terus menatap wajah suaminya. Dia masih belum mengerti mengapa sang suami masih melarang anak sulungnya untuk kembali bersama keluarganya. "Mas. Apa kamu tak pernah kasihan melihat Felicia? Dia sangat terluka saat Mas Felix mengirim kakak lelaki satu-satunya untuk ke luar negeri. Bisakah Mas Felix membawanya kembali? Aku tak ingin melihat Felicia terus menderita karena keputusanmu itu," ujar Amelia dengan wajah yang sangat serius. Wanita itu sudah tak tahan melihat anak gadisnya yang selalu sedih ketika merindukan kakaknya.

"Aku akan memikirkannya." Hanya jawaban itu yang terucap dari mulut Felix sebelum meninggalkan meja makan. Pria itu langsung masuk ke dalam ruang kerjanya tanpa mengatakan apapun pada Amelia yang masih duduk di meja makan seorang diri. Wanita itu hanya bisa mengelus dadanya sendiri melihat betapa kerasnya Felix terhadap anak-anaknya.

Next chapter