webnovel

Penyihir Hijau – 4

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Idris menepuk bahuku. "Ayo, kita pulang."

Khidir menatap kami. "Ini giliranku, kalian istirahatlah."

Apa maksudnya?

Mariam lekas-lekas mengenggam tanganku. "Aku pengasuhnya sekarang. Tugas kalian sudah selesai, terima kasih."

Dia lalu menarikku menjauh. Membiarkan Idris menatap kami dengan heran.

Padahal dulu Mariam yang tampak keberatan dan bicara seakan tidak sabar menyerahkanku pada para pria ini.

Idris tampak menyusul. Masih dengan wibawa para bangsawan demi menjaga martabat, meski Mariam jelas tengah menusuknya di depan seorang raja.

"Mariam," ucap Idris. "Kamu tidak ingin beristirahat di rumahku barang sebentar?"

"Kamu punya?" balas Mariam.

"Rumahku di Aibarab ada tiga," ujar Idris. "Silakan mau pilih yang mana."

Mariam hanya menjawab. "Carikan yang paling jauh darimu."

"Kalian ini." Kini Khidir yang mendekat sambil berkacak pinggang. "Tidak perlu repot-repot, aku bisa menjaga Putri selagi kalian bersama."

Kulirik Mariam, tatapannya dingin seperti biasa. "Kenapa tidak sediakan kami kamar saja?"

"Itu yang ingin kutawarkan," sahut Khidir. "Mari istirahat."

***

Mariam tidur sekamar denganku. Sepanjang malam, dia mendengkur namun lebih keras dari biasanya.

Entah kenapa malam ini terasa berat untuk tidur. Mataku menolak untuk terpejam.

Kuhabiskan jam demi jam menatap sekitarku yang gelap gulita disertai rintik hujan di tanah Aibarab. Biasanya, jika terjadi hujan kami langsung keluar dan mandi bebas. Malam ini, kudengar beberapa orang keluar dan mandi sementara aku menatap kosong langit-langit, Mariam justru terlelap seperti bayi.

Mariam tiba-tiba bersuara, tampaknya terbangun karena suara-suata di luar. "Belum tidur?"

"Susah."

Dia beranjak dari kasur lalu duduk di sisiku. Tidak kusangka, Mariam mengelus dahiku secara perlahan. 

Dia berkata dengan perlahan. "Besok kita akan membahas tentangmu."

Aku mengiakan.

Mariam lalu memelankan suara hingga terdengar lembut bagai sutra. "Dulu, di Shan, kamilah yang menyaksikan hujan turun ke bumi. Kami tidak pernah merasakan hujan, namun tanaman tumbuh asri di sana. Aku pernah bermain hujan bersama Idris dan Khidir, saat itu usia kami masih sebaya denganmu."

Dia terus menceritakan pengalaman masa lalunya di Shan bersama dua sahabatnya. Tidak kusangka, seorang pangeran boleh bermain dengan tukang sihir mereka yang kastanya jauh di bawah, setara dengan kesatria. Belum lagi, Khidir dulunya juga seorang pangeran. Mariam tidak menceritakan pengalamannya bersama sang Ibu, ataupun potongan kisah para Guardian yang menjaga sang Putri dan Pangeran dari Shan.

Mariam menuturkan dengan suara lembut sambil terus membelai rambut hijauku.

Perlahan, kupejamkan mata.

***

Idris menyambut kami pagi harinya. Kulihat ia sedang mengobrol di meja makan bersama Khidir.

Mariam didandani oleh pelayan kerajaan sedemikian rupa. Mereka memakaikan gaun putih yang panjang hingga menutupi kaki dengan lengan lebar bagai sayap. Rambutnya dikepang sepinggang, ditambah jepit rambut bunga. Mariam tampak bagai purnama di kelam malam.

Tanpa sadar, aku terpana. "Kamu cantik, Mariam."

Tidak kusangka, Mariam memalingkan muka ke cermin. "Untuk apa aku didandani? Seperti tumbal saja."

Idris tergelak mendengarnya. "Mana mungkin kausambut istana dengan wajah seperti itu? Kyara juga didandani."

Aku dipakaikan gaun hijau, rambutku tidak lagi dicat hitam seperti sedia kala, wajahku tidak dirias. Kendati demikian, aku bangga dengan penampilanku.

Mariam tersenyum melihatku. "Kalau Kyara, baru bagus."

"Kamu juga cantik," balas Idris gamblang.

Mariam, entah berpura-pura tidak mendengar atau sengaja mengabaikan, mengalihkan topik. "Ayo, lekas dibahas! Pakaian ini panas."

Mariam duduk di sisi Idris. Keduanya tampak serasi meski sikap dingin Mariam membuat suasana agak canggung.

Khidir duduk di sisiku. Ia tampak tenggelam dalam benaknya sedari tadi. Wajahnya tampak datar dan dingin. Menyadari tatapanku, ia tersenyum kembali. Aku membalas senyumnya.

"Aku sudah lama tidak ke Aibarab." Mariam berbasa-basi, sepertinya lelah menunggu. "Adakah yang mengingatku?"

"Banyak," sahut Idris. "Mereka kadang menanyakan kabar. Mereka jelas menyukaimu."

Mariam menunduk, mengamati lengan Idris. "Kamu ingat obrolan kita di bawah pohon sakura?"

Idris mengiakan. "Tentu, aku masih ingat."

Mariam menghela napas. "Maaf, aku belum siap menunaikan janji itu."

Idris tersenyum tipis. "Bilanglah kalau siap nanti. Aku akan menunggu."

Sisa waktu dihabiskan dengan percakapan ringan antara mereka berdua sementara aku hanya menyimak.

Takut semakin canggung, mau tidak mau akhirnya aku memberanikan diri bicara.

"Jadi." Aku menatap Mariam. "Selama ini, kamu bukan sekadar pengelana?"

Mariam membalas, "Tidak juga. Awalnya, Khidir yang mengutusku membunuh kadal peliharaan Sakhor. Setelah mendengar kabar tentangmu, sikapnya berubah, ia terus mendesak agar terus melindungimu. Apa yang dia harapkan dari sosok sepertiku?"

Sakhor? Kok tidak asing?

Idris menimpali, "Saat kamu tinggal di Kikiro, Khidir berniat menemuimu, tapi ia sibuk saat itu. Setelah aku pulih, kita akhirnya bisa ke Aibarab disusul Mariam."

Jadi, surat-surat itu ...

"Ketika kamu di Kikiro," ujar Idris. "Ia mengirim serangkaian surat perintah yang jelas membuatku pusing. Beruntung hanya beberapa yang wajib kulaksanakan."

Aku kian skeptis. Memangnya selama ini dia yang menjadi otaknya?

Idris menghela napas. "Kauingat waktu Sada Kyoki sampai ke Kikiro? Khidir mengetahuinya terlebih dahulu dan mengabariku sehari sebelum kedatangannya."

"Ia selalu mencari kabar tentang putri dari Shan," ujar Mariam.

Khidir selama ini mengaturnya, sementara Mariam dan Idris ibarat boneka yang mengikuti jemari dalangnya. Namun, aku masih tidak paham dengan ucapan si Kembar–Delisa dan Delina. Apa maksud mereka? Apa hanya untuk menakuti?

Selama beberapa saat, lagi-lagi canggung. Lebih tepatnya, Khidir tampak tenggelam dalam dunianya entah apa yang dipikirkan. Barangkali membiarkan kedua temannya mengobrol kembali setelah sekian lama berpisah.

Aku pun memberanikan diri bertanya. "Raja Khidir?"

Ia menatapku. "Ada apa, Putri?"

Aku merasa aneh dipanggil begitu. Apanya putri?

"Kamu kenapa?" tanyaku. "Diam terus dari tadi."

Ia tersenyum. "Aku melihat Mariam dalam dirimu."

Aku tidak tahu jika itu pujian atau hinaan.

Demi mencairkan suasana lagi, aku amati kalungku yang masih bersinar. "Setahumu, apa saja kekuatan kalung ini?"

"Selain untuk membedakan 'orang yang tepat,' juga memberitahu keadaannya. Misal, jika sinarnya perlahan redup, padahal kamu berada dekat dengan orangnya, ia bisa saja sakit parah atau tewas," tuturnya.

Aku mengamati kalungku, sinarnya masih sama seperti biasa. Syukurlah.

"Memangnya, siapa saja 'orang yang tepat' itu?" tanyaku. "Aku ingin tahu lebih banyak."

"Orang-orang ini disebut 'Guardian,' tugas mereka adalah menjaga sang Putri dan Pangeran. Jumlah mereka ada tiga belas."

Selagi Khidir bertutur, tatapanku juga tertuju pada ruangan tempat kami duduk saat ini dan kedua orang berambut putih ini.

Bukannya tidak mau mendengarkan, hari ini terlalu banyak hal baru bagiku. Ini tetjadi begitu cepat dan aku bahkan tidak menyiapkan apa-apa melainkan tekad yang bahkan tidak jelas kuatnya. Meskipun sudah dijelaskan secara rinci, aku mungkin tidak akan paham melainkan jika terjadi langsung saat ini.

"Kyara?"

Suara Mariam menyadarkan lamunanku.

Seluruh tatapan tertuju padaku.

Mariam tampak berdiri dari duduknya, menghampir. "Ikut aku. Biarkan kedua pria ini bicara berdua."

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵