webnovel

Penburu Sihir – 3

"Kalau begitu, kenapa tidak tolak saja?" tanyaku. "Kalau tidak ikhlas begitu."

"Gue bukannya enggak ikhlas, Putri," ujar Ezekiel sambil kembali berbaring di sofa. "Tapi, gue terbiasa melihat penyihir kerja sendirian. Kalau berkelompok biasanya bakal kacau."

"Memangnya kenapa?" heranku. "Kalian, Guardian, juga berkelompok, bukan?"

"Kami biasanya kerja sendiri, kok," sanggah Ezekiel. "Kami bakal bergabung kalau kepepet."

"Begitu." Aku bersedekap, setengah percaya dan tidak.

Biasanya kulihat memang kadang mereka bertarung berkelompok saat bersamaku. Tapi, ucapannya memang ada benarnya. Saat kali pertama mengenal mereka, memang lebih sering bertarung sendiri sementara aku berusaha menghindari bahaya. Sementara bekerja sama hanya terjadi sesekali jika Zibaq berbuat onar. Lantas, kenapa Ezekiel menerima tawaran dari Helia untuk bekerja sama?

Ezekiel mengiakan lalu mengubah topik. "Cara bocah itu menatap lo benar-benar meresahkan."

"Iya, kah?" Aku bahkan tidak tahu jika Ascella menatapku selama percakapan tadi.

"Enggak sopan dia natap lo kayak gitu," tegasnya. "Masih untung kalo gue, coba kalo Guardian lain lihat, bakal ribut."

"Memangnya kenapa dengan tatapannya?" tanyaku.

"Lo suka ditatap lama-lama?" balas Ezekiel.

"Tidak," jawabku.

"Nah, itu." Ezekiel pun menatapku. "Lain kali kalau dia begitu, tegur!"

"Baik, baik." Aku tentu saja heran dengannya. Aku bahkan tidak melihat separah apa yang Ascella lakukan. Tapi sudahlah, Ezekiel mungkin tahu yang terbaik bagiku.

Hening lama. Selama itu juga aku duduk di meja kemudian mencoba mencari sesuatu yang menarik. Makanant tidak terlihat, barangkali ludes kemarin.

"Putri mau jalan-jalan?" tawar Ezekiel.

"Mau!"

"Nanti, ya." Ezekiel tersenyum. "Tapi, gue agak sibuk. Jadi lo bakal ditemani sama dia aja."

***

"Sudah berapa lama kamu kerja?" tanyaku agar suasana tidak canggung, meski pertayaan yang ini tidak begitu penting.

"Sudah kubilang, aku tidak tahu berapa lama," jawab Safir yang bahkan tidak menatapku.

Kami tengah berjalan santai di bawah sinar matahari yang tidak begitu terik, sangat nyaman untuk berjalan tapi di sisi lain cukup gelap dibandingkan biasanya. Kota Adrus belum sepenuhnya dijelajahi sehingga banyak misteri terselubung dari sudut pandangku.

"Apa memang setiap hari mataharinya kurang terik di sini?" tanyaku pelan, memastikan tidak membuat warga yang mendengar tersinggung.

"Pernah panas, kok," jawab Safir. "Hanya saja sedikit berbeda dari Aibarab. Asal kamu tahu, di sini terlalu dingin."

Aku bisa menebaknya dari pakaian Safir. Dia kini mengenakan pakaian serba panjang dengan warna cokelat gelap membalut badan rampingnya. Sementara selama di Aibarab dia sudah sering terlihat memakai baju pendek hingga tampak perutnya. Tetapi, kini dia harus memanjangi pakaiannya agar tidak kedinginan, barangkali sampai musim panas nanti. Aku belum merasakan cuaca lebih hangat di dunia bagian Barat. Tapi sepertinya bakal menarik.

Menurutku lebih dingin di Ezilis malah, tetapi aku belum berkunjung ke bagian selatannya. Barangkali di sama jauh lebih dingin. Belum lagi cuaca panas yang belum pernah kurasakan di sini maupun negeri sebelahnya.

Bicara soal Safir, aku sedikit bertanya padanya perihal siapa dia sesungguhnya selama ini. Kukira hanya sebatas teman bersama Mariam atau kedua Guardian lain saat masih kecil, mungkin saja mereka dipertemukan pada suatu kesempatan atau keajaiban. Tetapi Safir hanya menjawab kalau dia berjumpa dengan mereka saat masih remaja dan waktu itu memang sedang di masa labil.

"Si Hijau menyapaku saat aku masih remaja di pasar," ujar Safir.

Bukan bermaksud tidak sopan cara dia menyebut Khidir sebagai 'si Hijau' seakan itu nama kecil, terlebih kesannya seperti menyebut nama teman dekat alih-alih atasan bahkan bisa dibilang majikan. Aku tahu Safir sebenarnya hendak menyamarkan Khidir sebagai bentuk kesepakatan antara mereka yang mungkin belum kudengar langsung. Tapi, aku ingat betul kalimat yang sering para Guardian ucapkan. Lebih baik membingungkan musuh dengan cara begitu.

Safir meneruskan. "Dia menatapku dan di situlah kami mulai mengobrol tentang nasib. Walimu ini cukup berpengalaman bicara dengan orang lain melihat cara dia membalas ucapan dan menanggapi kisahku."

"Kalian bahas apa? Kalau boleh tahu," kataku. Membayangkan Khidir dan Safir mengobrol bersama untuk kali pertama terasa manis juga. Bisa jadi karenanya juga akhirnya Safir ingat masa lalunya.

"Aku membahas soal ... Hm." Safir terdiam, tampak berpikir. "Bahas ... Seingatku dia mengeluh soal betapa mahalnya harga ikan waktu itu."

Ah, sampai sekarang sepertinya harga ikan bisa lebih mahal dibandingkan ternak. Tidak heran sering terjadi pencurian ikan di pasar, terutama Aibarab. Tapi, itu hanya berlaku untuk beberapa jenis ikan. Sementara yang biasa kami makan pun cenderung lebih murah. Hanya saja, penyebab mahalnya harga ikan tidak lain dan tidak bukan, karena kelangkaan semata. Ada juga yang memburu putri duyung yang harganya jauh lebih fantastis ketimbang hewan laut lain. Tetapi, kini para nelayan hanya berani menangkap ikan ketimbang penghuni laut seperti tadi.

"Sejak saat itu kalian jadi dekat?" tebakku.

"Aku tidak yakin," balas Safir. "Sampai sekarang obrolan kami hanya sebatas perintah dan kesepakatan lainnya."

"Begitu," kataku. "Lalu, anak buahmu?"

"Mereka hanya sewaan," kata Safir. "Tidak ada pegawai tetap, sih. Mereka datang dan pergi saat diperlukan saja."

Kukira dia dan anak buahnya cukup dekat layaknya keluarga seperti kisah-kisah yang biasa kudengar. Biasanya mereka bersatu karena nasib dan bertahan karena saling menyayangi. Tapi, Safir sepertinya tidak mengalami. Terkesan sedih tapi mungkin dia tidak memedulikannya. Toh, itu semua hanya urusan bisnis.

Kami tiba di dekat perumahan sunyi didominasi rumah yang terbuat dari batu bata dan beberapa kaca tajam menghias layaknya rumah-rumah di Ezilis. Jangan bilang vampir sudah menyebar hingga ke sini. Tapi, aku tidak seharusnya kaget lantaran mereka sudah meneror dunia sejak awal peradaban.

Setiap negeri di dunia ini memiliki masalah yang serupa, kalau bukan karena ekonomi pasti karena bahaya yang mengintai. Itulah mengapa profesi memburu sihir seperti ini sangat diperlukan. Tapi, aku pernah berpikir, kenapa para pelindungku memilih pekerjaan kedua yang sama secara bersamaan pula. Apa sekadar kebetulan atau disengaja? Sayangnya, aku kerab lupa bertanya.

Safir meletakkan tas kecilnya ke tanah dan mengobrak-abrik hingga keluar sebuah pasak yang cukup besar untuk digenggam. Dia menyerahkan benda itu kepadaku.

"Nah, Gadis Kecil." Sampai sekarang Safir akan tetap memanggilku dengan sebutan itu. Kadang dia ganti, tapi dengan makna yang sama. "Kau diam di sini selagi aku mencoba menjalani tugasku. Kalau dia mendekat, jangan lupa tusuk di jantung. Jangan lupa juga untuk teriak sekencang mungkin, pastikan aku mendengar."

"Lho? Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu dengar?" balasku.

Tepat ketika menoleh, dia lenyap.

Aku menyusuri tempat ini. Sangat janggal jika sebuah tempat menjadi begitu sepi. Apalagi di abad di mana orang-orang sudah mulai tersebar. Mestinya di tempat seperti ini sudah dipadati penduduk. Padahal beberapa meter jauhnya di sana sudah terlihat lumayan banyak orang.

Kembali terlintas dalam benakku. Kenapa aku dibiarkan di sini? Kenapa Safir begitu yakin membiarkan aku berdiri seorang diri? Mungkin karena dia menilaiku memiliki potensi sama dengan dirinya.

Ah, aku tidak boleh berserah diri terlalu cepat. Tapi, di sisi lain juga harus waspada kalau-kalau lawanku ternyata jauh lebih melampaui.

Ada beberapa rumah di sini yang bisa dihitung dengan jari, terlihat beberapa tampak sudah cukup lama dibangun. Aku tidak bisa membedakan rumah mana yang masih berpenghuni dengan terbengkalai kalau tidak langsung memeriksa.

Maka, kucoba dekati beberapa rumah yang diduga masih ada penghuninya. Terlihat dari jendela yang berlapis kayu penghalang, tampaknya rumah ini masih layak huni dan memang ada yang mendiami. Alasan dipalangi kayu, kuyakini demi berlindung dari berbagai serangan makhluk luar.

Jika di Ezilis masih memiliki masalah tentang vampir, maka di Aibarab juga bermasalah dengan ghoul, jin, bahkan siluman. Sepertinya semua negara punya makhluk sejenis, hanya bentuknya sedikit bervariasi menyesuaikan tempat.

Aku jauhi rumah tadi dan berpaling. Sambil mencengkeram pasak dari Safir, kembali meneruskan langkah.

Terlihat bayangan tinggi di belakang.

Jemari panjang mencengkeram kepalaku.