webnovel

Pemburu dan Iblis - 4

"Mika!" Terdengar seruan Bapak. "Bantu aku membersihkan ini!"

Aku hendak menyela kalau itu bisa jadi tugas Raka, namun kulihat saudaraku sedang sibuk menyapu lantai. Mau tidak mau, aku turuti kehendaknya.

Selagi mencuci piring, kuperhatikan Bapak yang sibuk dengan gelas dan minuman. Melihat tangannya yang agak kekar membuktikan bagaimana dia berhasil membunuh gadis itu hanya dengan sekali langkah.

Ya, sekali.

Tepat ketika mengucapkan "dengan senang hati" dia melesat dan berhasil menikam gadis itu hingga roboh.

Aku tidak percaya, dia dengan mudah membunuh seseorang yang dianggap sebagai penyelamat bagi sebagian orang. Namun, tentu wajar bagiku jika Bapak memilih menghabisinya. Dia barangkali takut kalau kami bakal diserang ketika mulai berbaur dengan masyarakat akibat satu saksi.

Begitu selesai menghabisi gadis itu, Bapak menyeret mayatnya. Di balik kain pelindung, kulihat dia melempar mayat gadis itu ke jurang layaknya sebuah barang buangan.

Dia berpaling ke arahku. Membantu berdiri sambil memegang bahu, seakan melindungi. "Saudaramu menunggu."

Aku diam saja. Agak lega jika yang dimaksud ternyata Raka dan Louis selamat. Setidaknya mereka aman.

Kami pun pulang, menuju rute yang sama seperti tadi. Sepanjang perjalanan, diam membisu selagi menyaksikan mentari semakin tinggi. Di hari itu, aku kembali ke panti dalam keadaan malu dan takut. Sementara Bapak terus menuntun ke tempat yang kuhindari. Begitu sampai, aku mendapat ceramah dari Mama.

Di hari itu juga, aku memutuskan untuk mengurung diri di sana. Menolak untuk bicara dengan siapa pun, termasuk penyelamatku.

Begitu malunya aku hingga keluar meminta makan saja rasanya seperti sebuah kejahatan. Namun, untungnya Mama meletakkan daging di depan kamar sewaktu-waktu jika aku lapar.

Di kamar, aku hanya diam memandangi dinding dan lantai. Merenungi nasib. Hingga beberapa hari kemudian, aku berani keluar dan diizinkan pergi sekali lagi.

Kembali ke saat ini, aku meletakkan gelas terakhir dan membiarkannya kering.

"Sudah selesai?" tanya Bapak.

"Sudah," sahutku sambil menata gelas.

Bapak pun duduk di tempat dia biasanya kerja. Kami berdua mendekatinya dan menatap pria itu dengan wajah penuh permintaan.

"Apa?" balas Bapak, tampak terganggu. Tentu saja dia mencium niat kami dari awal. Hanya saja, dia belum tentu mau.

"Bapak, izinkan kami berjalan di dunia luar," pinta Raka.

"Kami tidak akan jauh," sahutku.

Tidak butuh waktu lama bagi Bapak mengatakan "ya" dan kami hendak langsung pamit dengannya.

"Tunggu." Dia berdiri lalu pergi selama beberapa saat. Rupanya dia mencari sesuatu dari salah satu ruang rahasia yang dibuat di kedai ini.

Bapak kembali sambil membawa dua baju kelabu tua dan dua bilah pedang panjang. Tampak seperti baju bekas alih-alih baru dijahit.

"Pakai ini." Dia menyerahkan baju itu ke kami. "Kalian bisa berbaur dengan mereka tanpa dicurigai."

Ketika aku perhatikan, baju ini memang biasa dipakai para Pemburu Iblis, atau kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Kesatria Rembulan. Mereka yang sering meneror kaum kami bahkan setelah keluar dari panti. Dan Rama adalah salah satu korban mereka

Kami pun pergi ke suatu ruangan untuk berganti dan langsung memakainya. Ternyata Bapak memang sudah berencana memakaikan kami baju ini. Tapi, aku tahu betul ini baju bekas karena dari baunya. Tapi, aku yakin niatnya agar tidak mudah dicurigai.

Mungkin saja mereka, pemakai terdahulu, telah tewas dan Bapak pun merasa ini baju yang pas untuk badan kami. Dia bahkan menjarah pedang mereka.

Meski tidak tahu bagaimana cara menggunakan pedang, aku merasa lebih aman dan perkasa ketika memegangnya.

Kami keluar dan Bapak sudah berdiri di depan pintu. "Untuk kali ini, sebaiknya aku awasi."

Kami mengiakan. Tidak ada yang keberatan jika kamu baru tiba di sebuah tempat asing jika ada pemandu. Rencananya, kami akan pergi ke pasar untuk melihat-lihat. Aku sudah sangat lapar.

Kami pun keluar.

***

"Kamu mau makan apa?" tanya Raka padaku setibanya kami di pasar.

Bapak berjalan mendahului kami. Berhenti setibanya di tempat yang dipenuhi cahaya lampu serta kerumunan orang dari berbagai rupa dan ras. Di antaranya, ada beberapa yang tengah mengejar jelmaan kucing yang mencuri dagangan mereka.

"Jaga harta kalian," ujar Bapak. Tanpa diberitahu pun kami juga tahu.

Aku memastikan baju ini punya sebuah kantong yang cukup dalam. Untungnya ada di bagian dada yang cukup untuk menyimpan beberapa keping. Nanti aku bakal memesan kantong kecil yang biasa diikat di punggung agar tidak mudah dicuri.

Raka tampak sibuk memperhatikan sekitar. Mata kelabunya menatap berbagai barang yang dijaja dengan sorotan kagum, tidak sekali kudengar dia mengungkapkan kegaguman dengan suara "wah" pelan.

"Kalian mau apa?" tanya Bapak.

Aku pun melihat makanan demi makanan yang dilalui. Semua tampak menarik dan mengunggah selera.

"Ini?" Jemariku terarah pada sebuah mangkuk berisi benda panjang kuning yang aneh. Aku kadang melihat Mama memakannya, tapi kami belum diberi itu.

"Mie?" Bapak terdengar ragu. "Hanya itu?"

"Mungkin dengan tambahan daging?" sahutku ragu. Apa daging di sini berbeda dengan yang di panti?

Bapak kemudian memesan lalu mencari Raka yang sibuk menganggumi sekitar. Aku disuruh menunggu di sebuah meja yang dipilih.

Asap mengepul, seketika hidungku terasa diberkahi bau yang begitu lezat. Perutku langsung minta diisi, sementara ludahku perlahan hampir memenuhi isi mulut.

Raka tampak sudah memesan dan duduk menghadapku. Sudah kuduga dia bakal duduk di sisi Bapak setelahnya.

Bapak kemudian menjelaskan bahwa makanan di sini merupakan campuran dari beberapa daerah. Salah satunya mie yang ternyata dulu berasal dari negeri di Timur sana, Kikiro dan sekitar.

Sementara di Danbia yang jaraknya bahkan memakan waktu berbulan-bulan tibanya di sini, tentu membuat harga mie jadi lebih mahal. Tapi, Bapak tidak terdengar mengeluh soal harganya. Aku pun berniat makan yang lain jika ditawari lagi, mendengar harganya saja sudah membuatku gentar.

Seusai menyuap mie yang begitu lezat, kami melanjutkan perjalanan entah ke mana. Tujuan utama kami hanya demi mengenali lingkungan di luar panti.

Mataku menangkap bayangan aneh.

Aura yang dipancarkan seseorang, terasa tidak asing. Dia sedikit lebih tua dari kami, seorang pemuda dengan wajah pucat dan beberapa senti lebih tinggi. Begitu tenang tapi waspada. Sorot matanya yang tajam membuatku kian yakin bahwa dia sebenarnya ...

"Hysa, coba ini!" Seorang gadis berambut hitam menyuapi sebuah roti kecil ke mulutnya. Jelas dia kenal betul pemuda tadi.

Pemuda yang dipanggil Hysa itu mau memakan roti berian tadi dan membiarkan gadis itu menyeretnya ke tempat lain.

"Mi-Mikayla?" Raka memanggil nama samaranku.

Aku menyahut.

"Kenapa?" tanya Raka lagi.

Aku menyuruhnya untuk mengabaikan lalu kami teruskan langkah.

Tanpa menyadari ada tatapan mengintai.